Share

Bab 4 : Emosi

Begitu tiba di rumah, Divya semakin bertekuk muka. Semangatnya sudah tidak membara sama sekali. Membayangkan dirinya terkurung di kamar. Makan malam membosankan, ia ingin berteriak sekencang yang dia bisa. 

"Mari makan dulu, Nak!" panggil Greta, ia sudah siap dengan segala macam olahan ikan kesukaan Divya dan juga suaminya. 

"Divya mau mandi. Kalian makan duluan aja, nanti kalau Div laper juga bakal makan," celetuknya tanpa menghentikan langkahlangkah ataupun menoleh pada sang ibu. 

Wanita bertubuh kecil, tetapi seksi itu menapaki satu demi satu anak tangga menuju ke kamar. Membanting pintu dengan cukup keras saat berhasil menghilang di baliknya. 

"Biarkan saja, Ma. Dia kembali saja sudah untung. Biar dia lakukan sesukanya, Divya tidak akan mengurung diri semalaman." 

Hendery mencoba menenangkan istrinya. Greta juga meyakini akan hal itu. Pasalnya anak semata wayang mereka tidak akan pernah bisa tidur jika kelaparan. Entah itu tengah malam, Divya tetap akan makan. 

"Dia belum makan malam, kan Ghaz?"

"Belum, Tuan." Ghazi membalas dengan cepat dan tenang. 

"Baiklah, kamu bisa bersihkan diri dulu. Kemudian ikutlah makan bersama kami," ajak Greta. 

"Terima kasih, Nyonya. Sebaiknya Anda dan Tuan terlebih dulu. Saya bisa nanti," timpal pria berjas hitam itu dengan sopan. 

Pria itu memilih untuk meninggalkan ruangan tersebut. Ia keluar, begitu tiba di halaman depan, Ghazi mengendurkan dasi serta melepaskan satu kancing baju yang sudah mencekiknya seharian penuh. 

Ia mengambil sebatang rokok yang ada di mobil kemudian duduk di depan taman tepat di bawah jendela kamar Divya. Pria itu mendongak dan bisa melihat sorot lampu kamar milik majikan mudanya. 

Kursi terletak di emperan halaman tersebut. Ghazi menikmati isapan nikotin dengan damai di sana. Sedikit racun yang menenangkan meski hanya sesaat. 

Semilir angin yang terbawa malam ini, seolah membawa rasa penat Ghazi menguar. Laki-laki itu merentangkan kedua tangannya meniti sandaran kayu dan memejamkan matanya. Rokok yang sebelumnya bersarang di bibirnya sudah ia singkirkan. 

"Huh—" rintihnya. Seperti sebuah keluhan yang tidak terucap secara langsung. 

Tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang janggal. Ghazi membuka mata dan menegakkan posisi duduknya. Pria itu melihat sesuatu bergelantung di hadapannya persis. 

Ghazi merapatkan bibirnya dan melipat kedua tangan di dada tanpa mau beranjak. Ia bahkan menumpangkan sebelah kakinya di satu kaki yang lain. 

Benda yang dia yakini sebagai sarana tali itu bergerak, disertai dengan suara napas yang semakin lama semakin jelas. 

Kemudian suara derap kaki melompat. Pelaku berhasil mendarat dengan sempurna. 

"Huh! Berhasil. Divya, Lo emang pemain andal!" serunya tertahan. Bangga dengan pencapaiannya yang bisa kabur dan mendarat dengan selamat. 

Posisi yang membelakangi Ghazi tidak membuatnya sadar bahwa seseorang telah mengintainya. Memerhatikan setiap gerak-geriknya. 

Perempuan berambut curly warna cokelat itu membenarkan pakaiannya. Jeans belel dengan tanktop dibalut jaket. Ia membiarkan angin meniup untaian surai lembut nun indah. 

"Waktunya berpesta, Divya," gumamnya. Ia melangkahkan kaki dan—

"Tidak untuk hari ini." Ghazi berdiri, dia tetap melipat tangannya di dada dengan santai. 

Seringai setan kini tampak di mukanya. Jauh berbeda dengan penampilan Ghazi pagi hingga sore tadi. 

"Ll— Lo?! Ngapain di situ? Mo maling, Lo?!" tuduh Divya. Matanya berapi-api seolah melihat musuh bebuyutannya. 

"Gajiku sudah cukup besar. Kenapa musti maling?" jawab Ghazi enteng. Ia mendekati Divya dan mencekal pergelangan tangannya. 

"Waktunya kembali ke kamar." Ghazi menyeret wanita mungil itu. Di mata Ghazi, Divya memang sekecil itu. 

"Nggak! Gue nggak bakal mau ndekem di kamar sialan itu! Lepas atau gue bakal teriak maling!"

Ghazi lagi-lagi menarik sebelah sudut bibir mengejek wanita itu. 

"Berteriaklah, bukan aku yang harus khawatir, tapi justru kamu," tandasnya. 

Divya mengepalkan tangan dengan mimik muka yang murka. Bibirnya mengatup erat siap untuk berperang melawan pria di hadapannya. 

"Oh— oke, gue bakal masuk. Ayo!" Ia mengulurkan tangannya pada Ghazi secara suka rela. 

Ghazi memicing mencari tahu pemikiran licik yang dimiliki oleh Divya. 

"Oh, ayolah! Lo mau gue balik ke kamar, kan? Ya udah, ayo!" desaknya.

Ia mendekati, Ghazi. Mendongak seolah menantang pria itu, tetapi dengan wajah yang dibuat sepolos mungkin. 

Ghazi masih tidak mudah untuk percaya. Ia tetap mematung tanpa kesiapan. 

Sampai kaki kecil Divya terangkat menendang sesuatu yang ada di antara kedua paha pria tersebut. 

"Akh! Div—" Ghazi memekik, meringis kesakitan seraya membungkuk memegang bagian yang terasa lara. 

"Gadis, sialan!" umpatnya. 

Sementara itu, Divya lari terbirit-birit meninggalkan halaman samping rumahnya. Membuka gerbang dengan mudahnya dan menghentikan taksi tepat di depan pagar. 

Ghazi kembali menegakkan tubuhnya. Ia bergegas mengejar Divya. Jika dirinya kehilangan wanita itu, maka bukan tidak mungkin Hendery akan memenggal kepalanya. 

Mobil kembali melaju di jalanan. Bersalipan dengan pengendara lain dan matanya fokus pada satu titik. Taksi yang membawa Divya. 

"Gadis cilik, sialan! Ke mana kamu, huh?!" gumam Ghazi geram. Dia terus menekan gas dengan dalam. 

Sayangnya rambu lalu lintas menghentikannya secara paksa. Rem terinjak dengan dalam. Mobil merah Ghazi berhasil berhenti tepat di belakang garis. 

"Sial!" kesalnya. Ia memukul kemudinya. Sementara taksi di depannya. Menjauh secara berkala. 

Bukan hanya itu, Divya melongokkan kepalanya, tersenyum lebar dan mengacungkan jari tengahnya pada Ghazi. Tawa itu benar-benar tampak penuh dengan kemenangan. 

"Aku bakal seret tubuh kecilmu dan kumasukkan ke bagasi!" geram Ghazi. 

Dia hanya tinggal mencari ke kelab yang biasa Divya datangi. Ghazi juga yakin bahwa gadis itu akan mengajak rekannya. 

Lampu hijau menyala, Ghazi lekas melaju cepat. Memutar setir menuju ke kediaman Ivy. Ia turun dan mengetuk pintu guna memastikan kebenaran pemikirannya. 

"Abang ganteng? Ada perlu apa?" tanya Ivy. 

Ghazi menaikkan sebelah alisnya, menilik raut muka Ivy mencari kebenaran apakah wanita di depannya benar-benar tidak tahu keberadaan sahabatnya. 

"Di mana, Divya?" tanya Ghazi datar. 

"Divya? Bukannya kalian pulang bareng tadi, kan?"

"Dia tidak di sini?" Ivy menggeleng polos. Wajahnya tampak jujur. 

"Sial!" decak Ghazi. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pria tinggi besar itu membalikkan badan dan meninggalkan Ivy. 

"Mau aku bantu cari?!" teriak Ivy. Ia bisa membaca situasi yang terjadi dan dia juga sangat mengenal temannya itu. 

Namun, Ghazi sama sekali tidak menjawab. Ia dengan cepat mengendarai mobilnya dan langsung melesat pergi. 

Kelab langganan Divya. Ghazi merangsek masuk memutar pandang ke segala penjuru demi mencari sosok yang dia cari. Pria berjas hitam tidak terkancing itu menyibak kerumunan. Satu demi satu wanita dia tatap untuk memastikan agar dirinya tidak terlewat. 

"Di mana, kamu, Div?!" erangnya menahan gejolak emosi. Ini sudah bukan lagi jam kerja seharusnya. Namun, dia tetap melakukan tugasnya demi Hendery yang telah membayarnya dengan harga yang tidaklah murah. 

Itu juga sebabnya Ghazi diizinkan tinggal di rumah mereka hanya agar penjagaan Divya paripurna. Hendery tidak ingin anaknya membuat masalah sampai hari pertunangannya dengan Liam Madhava. 

"Sialan! Pergi, Lo!" Suara teriakan yang sangat dikenal oleh Ghazi. 

Tepat di depan meja bartender Divya mencoba menyingkirkan tangan-tangan yang mencoba mencolek-colek tubuhnya. 

Laki-laki bertato itu memegang kedua pipi Divya hendak memaksakan keinginannya untuk meraup bibir Divya. Gadis itu memberontak sebisanya. Kakinya menendang apa pun sebagai tindakan perlawanan. 

Semua orang yang ada di sana layaknya orang buta. Mereka sibuk dengan diri mereka sendiri. Sibuk dengan kesenangan masing-masing. 

Ghazi berderap cepat dan mencengkeram bahu pria kurang ajar tersebut,lalu langsung memberondong mukanya dengan tinju tenaga maksimal. Ia sudah menahan emosi sejak Divya kabur dari pengawasannya, kini amarahnya tersalurkan dengan benar. 

"Mampus, Lo! Laki-laki sampah!" umpat Ghazi. Wajahnya bengis dan emosinya meluap sempurna. 

Laki-laki kurang adab itu sudah jatuh tersungkur. Dia kalah telak, sama sekali tidak mendapat kesempatan membalas. 

"Ghazi! Ghazi, stop! Kita cabut! Kita cabut!" ajak Divya. Wanita dengan dandanan yang sudah acak-acakan itu berusaha menahan lengan keras Ghazi untuk berhenti menghajar pria bajingan itu. 

"Dia harus mati!" teriaknya. 

"Ghazi!" teriak Divya. Dia menampar pipi pria itu. Ini sudah menjadi masalah besar. Dua penjaga di depan pintu mulai mendengar aduan dari pengunjung lain. 

Mata Ghazi yang merah menatap Divya. Wanita itu membalasnya dengan tajam. Bahunya naik turun karena perasaan yang bercampur aduk. Takut, marah, dan juga lelah akibat memberontak. 

Ghazi meninggalkan laki-laki itu. Ia kembali menyeret Divya. Mencengkeram kuat pergelangan tangan wanita kecil itu. 

"Sakit, gila! Lo mau bunuh gue!" keluh Divya. Ia menghempaskan tangannya berharap mampu lepas dari cekalan jemari Ghazi yang besar. 

Setelah tiba di samping mobil mereka. Ghazi baru melepaskan genggamnya. 

"Puas?! Sampai kapan mau memperburuk keadaan, huh?!" bentak Ghazi. Dia belum reda dengan kekesalannya. 

"Tahu apa Lo tentang idup gue, huh?! Lo hanya laki-laki asing yang tiba-tiba datang ngancurin semuanya!"

"Benarkah? Adakah orang-orang teler di dalam sana yang bantu kamu?!"

"Persetan!"

Divya membuka pintu mobil merah itu. Duduk di bangku belakang dan menutup pintunya dengan sangat kencang. 

Ghazi menghela napas kasar. Ia kembali ke balik kemudi dan menyalakan mesin lalu meninggalkan kelab. 

Divya bisa melihat tangan Ghazi yang mencengkeram kemudi itu memerah. Ini karena dirinya. Demi menyelamatkan dia dari pria yang sudah menggunakan wajahnya untuk video murahannya. 

Divya tidak pernah mencoba masuk ke kelab lain selain tempat itu. Dia tahu bakal ketemu dengan pria tempo hari. Niatnya ingin membuat perhitungan dengan laki-laki itu. Namun, ternyata melawan tenaga pria tersebut tidak mudah untuknya. 

Tamparan Divya justru menyulut emosinya. Ponsel yang sudah dia rusak pun menjadi pemicu pria itu bertindak kian nekat dengan Divya. 

Gadis itu membuang napas kasar dan menyandarkan kepala di head board. Terpejam dengan harapan bisa melupakan kejadian ini. 

Sampai di rumah. Divya lekas turun. Dia ingin menghindari Ghazi. Merasa bersalah? 

Ghazi menyusul, dia menuju kamar yang sudah disiapkan tuan rumah untuknya. Ruangan yang berada di sudut rumah. Jauh dari dapur dan menghadap tepat di kolam rumah. 

Pria itu melemparkan tubuhnya di ranjang. Membiarkan badan besar itu mengaso. Ini memang bukan hari yang terberat dalam hidupnya. Namun, ini adalah hari yang menyebalkan di dalam sejarah karirnya. 

Divya pun melakukan hal yang sama. Menelungkupkan tubuhnya membiarkan kakinya menggantung di bibir ranjang. 

Lambat laun ia terpejam karena lelah. Deru napasnya mulai teratur. Divya terlelap dan berhasil menyingkirkan segala kejadian buruk yang menimpanya malam ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status