LOGIN“Kalau Aqila itu nggak pernah menghargaiku. Rumah tanggaku sama dia juga sama rumit dan retaknya seperti hubungan kamu dengan Ervan.”Rina terdiam. Netra mereka masih saling menatap satu sama lain.“Dengar, Rin,” kata Fahmi, suaranya sedikit lebih serius. “Hubunganku dengan Aqila mungkin lebih berbeda, tapi ceritanya hampir sama. Dan aku menghormatinya sebagai istriku, sebagai ibu dari anak-anakku, tapi perasaanku pada Aqila … tidak sama dengan perasaanku padamu. Perasaan aku udah mati.”Rina tetap diam, hatinya berdenyut nyeri mendengar pengakuan Fahmi. “Nenekku itu orangnya peka, Rin,” lanjut Fahmi. “Dia tahu aku tidak bahagia sepenuhnya dalam pernikahan itu. Dia tahu aku butuh seseorang yang bisa mengisi kekosongan di hatiku.” Fahmi mengelus pipi Rina lembut. “Kamu mengisi kekosongan itu, Rin. Kamu membuatku merasa hidup dan dibutuhkan lagi.”Rina tidak bisa menahan air matanya. Ia memeluk Fahmi erat, menyembunyikan wajahnya di dada pria itu. Aroma kayu bakar dan lavender yang kin
Fahmi kembali masuk ke dalam kamar beberapa saat kemudian, membawa dua buah ubi bakar berukuran sedang di atas piring kaleng. Aroma manis ubi yang terpanggang sempurna menguar, mengisi ruangan.“Nih, biar ada tenaga buat jalan nanti,” kata Fahmi, menyodorkan piring itu kepada Rina. Rina mengambil satu, menggigitnya pelan. Kehangatan dan rasa manis ubi itu sedikit menghibur hatinya yang kembali dilanda kegalauan.“Manis banget ubinya,” ujar Rina sembari merasakan setiap sentuhan indra perasanya dengan ubi di dalam mulutnya.“Iya, manis … kayak kamu.”“Ih dasar ya … Gombal terus.”“Serius aku ….”“Penulis kan suka gombal.”“Gombalannya kan di dalam tulisan aja Rin. Kalau di dunia real life sih aku gak sefasih itu,” ungkap Fahmi sembari tersenyum tipis dan jarinya mencolek dagu Rina dengan gemas.Rina tersenyum tersipu mendengarnya. “Pakaian kita udah kering kan, Mi?” tanyanya setelah menelan kunyahan ubi.“Udah, barusan aku cek di dapur. Untung nenek punya tungku kayu bakar, jadi cepat
“Tadi malam, aku nggak pake pengaman.”Rina terkesiap. Wajahnya langsung tegang.“Maksudmu … kamu nggak pakai kondom?” tanya Rina, suaranya sedikit meninggi. Ia baru sadar, saking menikmati sentuhan Fahmi, ia sampai lupa total untuk mengingatkan soal pengaman. Astaga, sebodoh itu aku!Fahmi menggaruk belakang kepalanya, terlihat canggung. “Iya, Sayang. Aku nggak pake kondom.” Ia melangkah mendekat, duduk di pinggir ranjang dan meraih tangan Rina. “Gini nih, aku jujur ya. Aku kan nggak pernah bawa stok kayak gitu, Rin. Mana aku tahu kalau kita akan berakhir bercinta di rumah ini?”Wajah Rina langsung memerah, antara malu dan kaget mendengar jawaban jujur Fahmi yang santai dan blak-blakan begitu. Ia menarik selimutnya hingga menutupi dada.“Kita nggak merencanakan ini, kan?” kata Fahmi lagi, mencoba membela diri.Rina menahan nafas sejenak, kemudian tersenyum tipis. Ia mengelus lembut lengan Fahmi.“Tenang saja, Mi. Tidak akan ada kejutan yang macam-macam,” ujar Rina, suaranya terdengar
Fahmi mulai menggerakkan pinggulnya. Ia merangkak di belakang Rina, membiarkan tubuhnya bersentuhan penuh dari belakang. Kehangatan yang menjalar menciptakan desahan nikmat dari Rina.“Mau kita lanjut?” bisik Fahmi, nadanya penuh damba.Rina mengangguk. Ia tidak butuh kata-kata. Malam ini, bahasa tubuh adalah satu-satunya komunikasi.Dengan gerakan yang penuh gairah namun hati-hati, Fahmi menyatukan dirinya dengan Rina.Rina sedikit terkesiap saat merasakan keperkasaan Fahmi yang begitu nyata, penuh, dan mendominasi. Ini jauh berbeda dari sentuhan Ervan. Fahmi memberinya waktu, perhatian, dan sentuhan yang terasa tulus dan menghargai.Mereka bergerak, menyatu dalam irama yang sama dengan hujan di luar. Setiap sentuhan terasa seperti janji, setiap erangan seperti pengakuan dosa. Ranjang kayu tua itu berderit, menyanyikan lagu cinta terlarang mereka. Bau lavender, bau kayu, dan aroma kulit yang bercampur menjadi satu.Ketika puncak kenikmatannya datang, rasanya seperti badai, tiba-tiba
“Aku beruntung bertemu denganmu. Aku ngerasa seperti kembali hidup.”“Ya, aku juga sama. Aku juga ngerasa begitu.” Rina menjawab sembari memejamkan mata, membiarkan tubuhnya ambruk di atas kasur tua yang masih empuk. Kelopak matanya terasa berat, namun hatinya seringan kapas. Ia bisa mencium aroma lavender kering yang samar dan bau kayu yang melapuk, menciptakan kombinasi wangi yang aneh namun menenangkan.Fahmi tidak menunggu lebih lama lagi. Ia bergerak.Tangan besarnya menangkup pipi Rina, mengarahkan pandangan mereka agar kembali bertemu. Rina mengusap lembut rahang Fahmi. Ia menarik napas, membiarkan jari-jari Rina bermain di antara rambutnya. Dengan gerakan lembut yang terburu-buru, Fahmi menjatuhkan diri di samping Rina, memeluknya.“Malam ini … semua ini … ini adalah milik kita,” bisik Fahmi, menekankan setiap kata.Rina mengangguk. Ia tidak butuh kata-kata panjang, hanya butuh tindakan yang meyakinkan. Dan Fahmi adalah jawaban untuk semua keraguan yang selama ini ia rasakan
Rina perlahan menaruh ponselnya di atas papan kayu. Di luar, suara hujan deras mulai terdengar, seperti genderang yang menabuh dimulainya adegan selanjutnya. Fahmi bergerak, memeluk Rina dari belakang. Pelukannya kali ini bukan lagi sekadar menenangkan, tapi juga menahan. Rina bersandar sepenuhnya, membiarkan tubuh Fahmi menanggung beban lelahnya. Aroma kayu bakar dan napas hangat Fahmi di tengkuknya adalah satu-satunya realitas yang ia terima saat ini.“Sudah. Jangan pikirkan Mama mu dan dramanya Ervan lagi,” bisik Fahmi, suaranya rendah dan menenangkan. “Ban bocor. Kita terjebak. Dan kita akan memanfaatkan ‘kecelakaan’ ini.”Rina membalik tubuhnya, mendongak menatap mata Fahmi. Ada gurat lelah, namun api pemberontakan di matanya masih menyala.“Kamu beneran nggak nyesel ada di sini?” tanya Fahmi lirih dan bernada ragu. “Berduaan sama aku … di desa pelosok yang sepi?”Rina menggeleng pelan. Netranya membalas tatap mata Fahmi dan kemudian turun ke arah bibir maskulinnya. “Enggak. Aku







