Awalnya, Rina ingin menolak. Kata “tidak” sudah mengendap di ujung lidahnya. Namun, bayangan wajah Ervan yang dingin, suara lantangnya yang menuduh dirinya posesif, dan pintu kamar yang dibanting keras semalam masih membekas jelas di ingatan.
Belum lagi foto yang hanya bisa ia lihat sekali sebelum menghilang—foto Ervan mencium Claudia. Bukti yang dikirimkan Dea, sahabatnya, tak pernah bisa ia tunjukkan pada Ervan. Dan kini, seolah semua itu bersatu, menekan dadanya hingga sesak.
Dalam hati kecilnya, ia ingin lari. Lari dari rumah yang semakin terasa asing, dari luka yang terus menganga. Dan tawaran Fahmi datang tepat di saat hatinya sudah tidak sanggup lagi menahan sendiri.
“Baiklah,” suara Rina lirih, nyaris berbisik. “Aku ikut.”
Seulas senyum tipis muncul di wajah Fahmi, seperti lega mendengar keputusan itu. “Bagus,” ujarnya singkat, tapi ada kehangatan yang membuat hati Rina sedikit mengendur.
Rina akhirnya mengikuti Fahmi ke rumahnya. Rumah yang berada tepat di samping rumahnya sendiri.
Ia sempat kikuk saat melangkah masuk, melihat ruang tamu yang rapi, ada aroma kayu manis samar dari diffuser di pojok ruangan. Tapi Fahmi tidak memberi waktu lama untuk rasa canggung itu berkembang. Ia langsung mengajak Rina keluar lagi, ke mobil hitam yang terparkir di halaman.
Begitu duduk di kursi penumpang, aroma khas kabin mobil menyeruak—campuran harum pinus dan wangi maskulin yang samar. Rina refleks menarik napas pelan, seolah ingin memastikan dirinya tidak terlalu gugup. Ia melirik ke arah Fahmi yang sudah duduk di balik kemudi.
“Memang ada ya konser siang-siang gini?” tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.
“Ada. Konser ini buktinya. Kita berangkat sekarang, kan sampainya mungkin sore menjelang malem. Maklum, takut macet. Week end,” jawab Fahmi sambil tersenyum kecil.
“Dan tiketnya masih pakai kertas?” Rina mengangkat alis.
Fahmi mengangkat tiket itu sebentar, lalu menepuk-nepukkannya ringan ke setir. “Aku suka kertas daripada pesen digital. Bisa sih lewat aplikasi, gampang malah. Tapi aku lebih suka yang fisik. Karena bisa dipegang, bisa dilihat … sama kayak perasaan. Kalau nggak ada sentuhan nyata, ya hambar.” Ia tertawa kecil setelah mengatakannya, berusaha mencairkan suasana. “Hahaha … oh … nggak lucu ya?” tambahnya dengan mimik datar ketika Rina hanya menatap tanpa kata.
Namun detik berikutnya, sebuah senyum tipis muncul di bibir Rina. Senyum malu-malu yang justru membuat Fahmi ikut mengulum senyum hangat.
Tanpa kata-kata lebih lanjut, ia memijak pedal gas. Mobil perlahan mundur, pagar rumah otomatis membuka lebar, lalu menutup kembali saat mereka benar-benar meninggalkan halaman.
Sekitar menjelang jam tujuh malam, mobil hitam Fahmi akhirnya berhenti di parkiran luas. Dari kejauhan, suara bising ribuan orang terdengar jelas. Spanduk besar di pintu masuk membuat mata Rina terbelalak:
“Guns N’ Roses – World Tour”
Rina menoleh pada Fahmi, matanya masih menyimpan keraguan. “Kamu serius … konser ini?”
Fahmi terkekeh kecil. “Iya. Bukannya kamu suka lagu-lagu lama? Pas banget kan? Nostalgia.”
Rina tercekat seolah kagum kenapa Fahmi bisa tau. Ia memang tumbuh di masa di mana lagu November Rain sering diputar di vcd rumahnya, karena mendiang Papanya mengidolakan lagu-lagu dari Band tersebut.
“Aku nggak tau loh kalau ada konser. Kayaknya aku ketinggalan berita. Maklum jarang main sosmed.”
“Ini tour kecil. Beruntung negara kita disinggahi,” jawab Fahmi dengan suara yang lebih kencang dari sebelumnya karena takut teredam oleh suara musik yang menggelegar.
“Hebat ya mereka … Masih produktif,” tutur Rina lirih.
“Iya. Aku juga kagum. Mendiang Papaku dulu sangat suka dengan lagu ini.”
Rina langsung menoleh. Ia sedikit termangu, menatap Fahmi.
“Kenapa?” tanya Fahmi sembari menatap manik mata Rina yang terarah padanya.
“Kok sama sih … Mendiang Papaku juga suka dengan lagu ini.”
Keduanya langsung terdiam. Saling menatap. Seraya hanya dengan tatapan bisa mengartikan apa yang ingin mereka katakan.
Hingga saat kerumunan sudah padat. Lampu-lampu sorot memantul di udara malam yang mulai menggelap. Rina dan Fahmi terdesak berdiri sampai agak ke tengah, cukup dekat dengan panggung. Begitu dentuman drum pertama menggema, sorak-sorai pecah.
Fahmi melirik ke samping, memastikan Rina baik-baik saja. “Santai aja. Kalau terlalu riuh, kita mundur sedikit.”
Rina menggeleng. Entah kenapa, ia ingin tetap di sana. Ingin merasakan hiruk-pikuk yang bisa menutupi gemuruh hatinya sendiri.
Tak lama, suara khas Axl Rose menggelegar, membuka lagu pertama. Penonton ikut bernyanyi, lampu-lampu ponsel berkelip seperti bintang.
Ketika intro November Rain dimainkan, Rina terpaku. Denting piano yang lembut, disusul raungan gitar Slash, membuat dadanya sesak.
“Nothing lasts forever…
Even cold November rain.”Lirik itu menusuk hatinya. Ia memejamkan mata, membiarkan air mata jatuh tanpa bisa ditahan. 'Benarkah tak ada yang abadi? Bahkan cinta pernikahannya dengan Ervan pun kini terasa seperti hujan November—dingin, sementara, dan penuh luka.'
Fahmi yang berdiri di sampingnya menoleh. Melihat butir air mata Rina, ia spontan meraih tangannya. Tak banyak kata. Hanya genggaman hangat yang seolah berkata: 'kamu nggak sendirian.'
Rina membuka mata, menoleh pelan. Ada sorot tulus di mata Fahmi. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar hadir untuknya, bukan hanya menyalahkan atau mengabaikan.
Hatinya bergetar lagi.
Konser terus berlanjut. Lagu-lagu ikonik lain dibawakan, membuat penonton larut dalam nostalgia. Namun bagi Rina, momen paling dalam justru saat Sweet Child O’ Mine dimainkan.
Suara gitar khas itu menggema, membuat ribuan orang bersorak. Rina tanpa sadar ikut tersenyum, meski matanya masih basah.
“She’s got a smile that it seems to me
Reminds me of childhood memories…”Lirik itu mengalun, dan Rina merasakan sesuatu yang aneh. Senyum Fahmi di sampingnya, cara ia menatapnya penuh ketulusan … seakan mengingatkan Rina pada dirinya sendiri yang dulu, gadis sederhana dengan mimpi-mimpi manis sebelum semuanya menjadi rumit.
Fahmi, tanpa sadar, ikut bersenandung pelan mengikuti lirik. Dan Rina … akhirnya ikut tertawa kecil.
“Lihat? Kamu bisa senyum juga,” ucap Fahmi sambil menoleh.
Rina menunduk, malu-malu. “Kamu bikin suasana jadi … entah, lebih ringan.”
Fahmi tersenyum lebar. “Kalau begitu, biar aku terus ada buat bikin kamu ringan.”
Hati Rina berdebar mendengarnya.
Langit semakin gelap, konser mencapai puncaknya. Lampu sorot menari-nari, gitar menjerit, dan penonton berjingkrak bersama. Rina merasa dadanya lebih lega. Seolah luka yang membekap bisa sedikit terbuka oleh dentuman musik dan kehangatan Fahmi yang berada di sampingnya.
Tapi … dunia seakan berbalik dalam sekejap.
Di antara kerumunan, matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal. Tubuh tinggi itu, jaket warna hijau tua, cara berdiri yang khas—tidak mungkin salah.
Ervan.
Dan di sebelahnya, seorang wanita berambut panjang dengan wajah cantik, Claudia. Tertawa lepas, sesekali menyadarkan kepalanya di bahu Ervan saat bernyanyi bersama.
Kemudian Ervan sedikit menunduk dan kemudian mencium pipi Claudia dengan mesra. Claudia sedikit mendongak. Mereka bertatapan mesra dan berciuman sebentar. Bibir mereka saling melumat walau hanya hitungan detik.
Darah Rina seakan berhenti mengalir. Napasnya tercekat. Kata-kata Ervan semalam kembali terngiang di kepalanya: “Kamu terlalu posesif! Nggak ada bukti!”
Dan kini, bukti itu berdiri nyata di hadapan matanya. Bukti bahwa pengkhianatan itu bukan sekadar ilusinya.
Tanpa sadar, langkah kakinya bergerak. Cepat. Tergesa. Matanya tak lepas dari sosok Ervan dan Claudia yang tampak begitu mesra.
“Rina!” suara Fahmi panik di belakang, mencoba menahan. “Hei, tunggu! Mau ke mana kamu?!”
Tapi Rina tidak menggubris. Hatinya terbakar, dadanya sakit. Semua luka yang sempat diredam musik kini pecah jadi badai. Ia terus melangkah, menabrak kerumunan, matanya hanya tertuju pada dua sosok itu.
Jantung Rina serasa berhenti, kakinya goyah, suara lagu-lagu konser mendadak menghilang di telinganya.
Fahmi berusaha menyusul, wajahnya penuh cemas. Ia tahu, sebentar lagi sebuah konfrontasi yang tak terhindarkan akan pecah di tengah konser megah ini.
Dan di sanalah, di bawah lampu panggung, dengan suara lagu berjudul Paradise City menggelegar memenuhi udara mengiringi takdir yang mempertemukan mereka berempat.
“Rina!” Fahmi memanggil.
“Ervan!!” Rina justru tetap fokus pada apa yang ia lihat. Memanggil-manggil nama suaminya dengan penuh amarah.
Bersambung
Lorong VIP rumah sakit begitu tenang. Lampu-lampu di langit-langit menyinari lantai yang mengilap, aroma antiseptik menyatu dengan dinginnya udara AC. Pintu bertuliskan VIP Eksklusif terbuka perlahan, menampilkan pemandangan dua perawat perempuan yang baru saja keluar. Mereka tersenyum ramah pada Sarah dan Indra, lalu berlalu.Sarah menahan napas, dadanya sesak. Ia menatap ke dalam ruangan.Bondan terbaring di ranjang dengan selang infus menempel di tangannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam rapat. Helaan napasnya pelan, seolah tubuh itu sedang berjuang melawan rasa sakit.“Bondan belum siuman,” ucap Indra pelan, nyaris berbisik.Namun baru saja kalimat itu selesai meluncur, terdengar suara serak tapi jelas dari ranjang.“Aku sudah sadar. Hanya operasi pengangkatan peluru di lengan. Cuma nyerempet.”Sarah terperanjat. Indra spontan menoleh.“Astaga … cuman katamu?” Sarah melangkah cepat ke sisi ranjang, menatap lengan Bondan yang dibalut perban tebal. “Kamu bisa kehilangan nyawa, Da
Rina berdiri terhuyung di bawah payung kecil yang nyaris tak mampu melindungi tubuh mereka berdua. Nafasnya memburu, bukan hanya karena dingin, tapi karena bibir Fahmi baru saja melumat bibirnya tanpa ampun.Dan anehnya, ia tidak mendorong pergi.Ia membiarkan. Ia menikmati. Ia kehilangan kendali.“Mi ….” Suara Rina lirih, terhenti di antara helaan napas.Fahmi tidak menjawab. Ia kembali meraih wajah Rina, menempelkan keningnya di kening perempuan itu. Tatapannya tajam, penuh rasa yang menuntut diakui. “Aku udah terlalu lama nahan, Rin. Aku nggak bisa lagi pura-pura nggak peduli.”Rina menelan ludah, tubuhnya bergetar. “Tapi … ini salah ….”“Terserah orang mau bilang apa. Aku cuma tahu … aku butuh kamu.” Suara Fahmi terdengar parau, nyaris pecah oleh hasrat yang sudah tak bisa ia bendung.Rina tak sempat lagi mengelak. Bibir Fahmi kembali menubruk bibirnya, lebih dalam, lebih liar. Hujan deras jadi musik pengiring, menenggelamkan suara debar jantung mereka.Rina mendesah kecil, jemari
“Aku lihat dari tadi kamu gelisah, Rin. Kamu nggak bisa tidur, kan?” suara Fahmi tiba-tiba memecah keheningan kamar rumah sakit yang dingin.Rina menoleh pelan, matanya masih sembab. Ia duduk di kursi dekat ranjang ibunya, memegang jemari Bu Ratih yang terlelap dengan selang oksigen masih menempel. “Aku … takut, Mi. Takut Mama kenapa-kenapa kalau aku tinggalin sebentar.”Fahmi melangkah mendekat, tangannya masuk ke saku celana jeans. “Perawat di luar bisa jagain. Kita cuma keluar sebentar. Kamu butuh makan, Rin. Kopi juga biar nggak makin drop. Biar semangat.”Rina tersenyum tipis, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah, Mi. Aku nggak lapar.”“Lapar nggak lapar, kamu tetep harus isi perut. Aku tahu kamu dari sore belum makan bener.” Suara Fahmi lembut tapi tegas. “Kalau kamu sakit, siapa yang jagain Mama kamu?”Rina terdiam. Kata-kata itu masuk di telinganya, meski hatinya masih berat. Ia menoleh ke mamanya yang tertidur tenang, lalu menghela napas panjang. “Ya udah … tapi sebentar aja, M
Rina masih berdiri di depan pintu ruang rawat, ponsel menempel di telinganya. Suara Ervan di seberang begitu jelas terdengar, datang bersama nada yang menusuk jantungnya.“Aku di rumah sakit, Van. Mama sakit, dirawat di sini,” ucap Rina akhirnya, dengan suara serak menahan tangis. “Aku tadi buru-buru ke sini, jadi belum sempat kasih kabar.”Beberapa detik hening. Lalu terdengar helaan napas berat dari seberang. “Mama kamu sakit?” tanya Ervan singkat.“Iya, Van … Mama drop mendadak. Aku panik. Aku di sini dari sore." Rina menjawab setengah berbohong karena ia baru datang sekitar hampir jam sebelas malam.Ervan tidak langsung menjawab. Hanya bunyi tarikan napasnya yang terdengar. Ada jeda panjang, yang sempat membuat hati Rina berharap. Mungkin, kali ini Ervan akan mengatakan sesuatu yang hangat. Mungkin ia akan langsung menyusul ke rumah sakit.Namun, harapan itu buyar seketika.“Aku nggak bisa ke sana. Besok aku full operasi. Tiga jadwal sekaligus. Aku nggak bisa ninggalin. Kamu tahu
Malam itu berjalan lambat. Fahmi akhirnya menawarkan diri berjaga di samping Bu Ratna. “Kamu tiduran aja, Rin. Di sofa panjang itu. Aku yang di sini.”Rina sempat menolak. “Nggak usah, Mi. Kamu pasti capek. Dari tadi kamu udah nemenin aku. Aku jadi nggak enak hati.”Tapi Fahmi bersikeras. “Aku yang capek … itu nggak penting. Kamu yang harus jaga tenaga buat Mama kamu. Istirahat. Lagian ngapain jadi nggak enak hati sih?”Akhirnya, dengan berat hati, Rina menuruti. Ia rebah di sofa panjang di sudut ruangan. Namun sebelum tertidur, ia sempat menoleh lewat pintu kaca.Yang ia lihat membuat hatinya tersentuh. Fahmi duduk di samping ranjang Bu Ratih. Ia menepikan kursinya hingga dekat sekali. Tangannya membetulkan selimut di dada Bu Ratih dengan hati-hati, bahkan sesekali mengusap pelan punggung tangannya sendiri di atas jemari tua itu.Pemandangan itu menusuk Rina dalam-dalam. Ada rasa syukur … tapi juga ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang ia tahu tak seharusnya tumbuh.Rina memejamkan ma
Belum sempat Rina membuka suara lagi untuk menanyakan maksud ucapan Fahmi, apa yang akan diinginkannya besok, suara langkah tergesa terdengar. Seorang perawat menghampiri, mengetuk pintu pelan.“Ibu Rina,” suster itu menunduk sopan, “ibu Anda, Bu Ratna, sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kondisinya lebih stabil sekarang.”Degup jantung Rina yang tadi kacau sedikit reda. Ia mengangguk cepat. “Iya … terima kasih, Suster.” Ia bangkit, hampir melupakan Fahmi yang masih duduk di samping. Tanpa banyak pikir, ia mengikuti suster itu dengan langkah tergesa. Fahmi bangun dan berjalan di belakangnya, matanya tak lepas dari punggung Rina yang tampak rapuh sekaligus kuat.Setibanya di ruang rawat, Rina langsung terpaku. Ibunya, Bu Ratna, terbaring lemah dengan selang oksigen yang masih menempel, mata terpejam. Wajahnya pucat, namun napasnya jauh lebih teratur dibanding ketika tadi di IGD. “Mama ….” Suara Rina bergetar. Ia maju perlahan, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya menggenggam tangan ibu