Share

Chek in hotel

Auteur: Risya Petrova
last update Dernière mise à jour: 2025-09-24 19:02:36

Sorakan penonton masih bergemuruh. Gitar melengking, drum menghentak, lampu sorot menari liar di udara. Namun bagi Rina, semua itu mendadak hilang. Satu-satunya yang ia lihat hanyalah Ervan—suaminya, berjalan mesra dengan Claudia, tangan pria itu merangkul pinggang wanita lain tanpa beban.

“Ervan!!” teriak Rina, suaranya serak di tengah kerumunan.

Namun Ervan tak menoleh. Justru langkahnya semakin menjauh, seolah disengaja. Claudia menempel manja di sisinya, menoleh sebentar lalu tersenyum tipis, senyum kemenangan, mungkin.

“Ervaaaan!!” Rina kembali memanggil, nekat menerobos penonton. Tubuhnya terguncang-guncang, beberapa kali terhalang orang yang sedang meloncat-loncat menikmati musik.

Fahmi dari belakang ikut berteriak, “Rina! Hati-hati!” tapi suaranya kalah oleh gemuruh Paradise City yang dimainkan di panggung.

Rina hanya peduli pada satu hal: mencapai Ervan. Hatinya seperti terbakar, kepalanya berdenyut. Ia tak peduli lagi pada orang-orang yang mendorong atau bahunya yang terhantam.

Sampai akhirnya—

“Aww!” teriaknya pelan. Kakinya tersandung kabel panggung yang menjulur, tubuhnya terhuyung lalu jatuh keras menghantam lantai semen.

“Aduh ….” Rina meringis. Lututnya perih, sikunya tergores. Tapi rasa sakit fisik itu tak seberapa dibanding perih yang menusuk jantungnya.

Dengan sisa tenaga, ia mendongak. Pandangannya kabur oleh air mata, tapi ia masih sempat melihat siluet Ervan dan Claudia. Mereka berjalan makin jauh. Claudia merapatkan tubuhnya ke Ervan, dan pria itu justru menoleh sebentar, namun bukan ke arahnya—melainkan untuk membisikkan sesuatu di telinga Claudia dengan begitu mesranya.

Rina terdiam, lalu memanggil lirih, “Ervaaaan!!”

Tapi suaranya tenggelam, larut dalam dentuman musik dan pekikan ribuan penonton.

“Rina!” Fahmi akhirnya berhasil menerobos kerumunan. Melihat wanita itu jatuh, ia tanpa pikir panjang langsung berlutut, meraih tubuh Rina.

“Biar aku …,” katanya singkat, lalu mengangkat tubuh Rina dalam gendongan bridal.

“Fahmi … aku … aku bisa jalan sendiri ….” Rina mencoba menolak, tapi tubuhnya lemah, hatinya jauh lebih rapuh.

“Udah, diam aja. Aku nggak mau kamu tambah sakit,” balas Fahmi tegas.

Tanpa peduli tatapan orang-orang sekitar, Fahmi membawa Rina keluar dari kerumunan. Ia menepi ke lorong sepi di belakang stadion, jauh dari hingar-bingar.

Begitu tiba di sudut yang cukup tenang, Rina akhirnya pecah. Air matanya mengalir deras, membasahi bahu Fahmi.

“Aku … aku nggak kuat, Fahmi ….” Suaranya bergetar. “Dia bilang aku posesif. Dia bilang aku cuma ngarang. Tapi aku lihat sendiri … dengan mataku sendiri .…”

Fahmi tak menjawab. Ia hanya merangkul erat, membiarkan Rina menangis dalam pelukannya.

Tangisan itu bukan hanya tentang lutut yang sakit. Tapi tentang hati yang tercabik-cabik. Tentang cinta yang remuk.

“Bawa aku pulang aja …,” bisik Rina akhirnya.

Fahmi mengangguk. “Oke. Kita pulang.”

Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di mobil. Rina ditaruh dengan hati-hati di kursi penumpang. Fahmi bahkan sempat menutup pintu pelan agar tidak mengagetkannya.

Begitu ia masuk lewat sisi kemudi, suara notifikasi ponsel mendadak berbunyi.

Ding!

Rina refleks melirik layar yang masih menyala di pangkuannya. Matanya langsung membesar. Sebuah email baru masuk—judulnya jelas: “Konfirmasi Booking Hotel – Deluxe Room”.

Tangan Rina bergetar. Ia membuka cepat. Isinya detail reservasi hotel berbintang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter dari stadion tempat konser. Nama pemesan: Ervan Setiawan.

Dadanya serasa diremas. 

Alasan email itu sampai ke ponselnya sederhana—Ervan masih memakai email bersama yang dulu mereka pakai saat awal menikah, akun keluarga yang sinkron dengan ponsel Rina. 

Dan sepertinya Ervan lupa kalau emailnya tersingkronkan dengan email Rina. 

Rina menutup mulut dengan tangan, menahan isak. Jadi ini … bukan sekadar kecurigaan. Dia benar-benar mem-booking kamar. Dia dan Claudia …

Air matanya jatuh, deras, tapi wajahnya kosong. Ia tak lagi terisak. Seolah rasa sakit itu sudah melampaui titik maksimal hingga tak ada lagi suara tersisa.

Fahmi menoleh, melihat ekspresi itu dengan cemas. “Kenapa? Ada apa?”

Rina tidak menjawab. Ia hanya menutup layar ponsel, menunduk lama.

Fahmi mengulangi, lebih lembut, “Rina … kamu bikin aku khawatir. Ada apa?”

Hening. Mobil terasa sesak oleh keheningan itu.

Akhirnya, Rina mendongak. Matanya sembab, tapi tatapannya kini lurus pada Fahmi. Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.

“Apa kamu mau menemaniku check in hotel?”

Fahmi terhenyak. “Apa?” Ia menoleh cepat, menatap Rina dengan kaget.

Rina juga menoleh, menatap balik. Ada api aneh di mata itu—campuran luka, amarah, dan mungkin … keputusasaan.

“Kita check in … kamu mau?” katanya lagi, kali ini lebih jelas.

Fahmi terdiam. Tangannya yang memegang setir bergetar pelan.

“Rina … kamu sadar nggak yang kamu ucapin barusan?” suaranya rendah. “Aku nggak mau kamu ambil keputusan karena marah, karena sakit hati.”

“Aku sadar,” potong Rina cepat. “Aku sadar banget, Fahmi.” Kata-kata itu pecah bersama air mata yang kembali jatuh.

Fahmi terdiam lama, menatap wajah Rina yang hancur. Ia tahu, jawaban apa pun akan mengubah segalanya.

Akhirnya ia menunduk, menarik napas berat. “Rina … kalau kamu cuma mau ditemani biar nggak sendiri, aku akan temani. Tapi kalau ini tentang balas dendam … aku nggak mau kamu nyesel nanti. Aku pria normal. Jangan ajak aku yang aneh-aneh ya.”

Rina menggigit bibir, tubuhnya bergetar. “Bagus kalau kamu pria normal. Aku cuma mau … merasa hidup lagi,” jawabnya setengah menantang.

Hening panjang menggantung di dalam mobil. Hanya suara napas mereka berdua yang terdengar, berat, terputus-putus.

Lima detik. Sunyi.

Rina menatap Fahmi, seolah menunggu jawaban yang akan menentukan arah hidupnya malam ini.

Fahmi akhirnya menarik napas panjang, menutup mata sejenak, lalu membuka kembali.

“Oke … kalau itu maumu.”

Hanya kalimat itu. Singkat, tapi mengguncang dada Rina.

Tanpa banyak kata, mobil meluncur menembus jalanan malam yang masih padat oleh euforia konser. Rina bersandar di kursi, memeluk dirinya sendiri. Air matanya masih terasa hangat di pipi, namun hatinya kini dipenuhi rasa campur aduk—pahit, sakit, tapi juga … semacam gairah aneh yang tak bisa ia jelaskan.

Fahmi mengendarai mobil dengan rahang mengeras. Ia sesekali melirik Rina, lalu kembali menatap jalan. Tak ada musik, tak ada percakapan. Hanya deru mesin yang mengisi ruang hampa di antara mereka.

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah hotel megah, jauh lebih mewah dibanding hotel yang barusan tertera di email Ervan. Lampu-lampu kristal berkilau di lobi, karpet merah menyambut langkah setiap tamu.

“Kenapa di sini?” tanya Rina pelan, sedikit tercekat.

“Kalau kamu mau merasa hidup lagi,” jawab Fahmi datar, “aku pastikan tempatnya layak untuk itu.”

Rina menelan ludah, tak bisa membantah. Ia mengikuti langkah Fahmi masuk ke lobi. Semua terasa surreal. Resepsionis menunduk ramah, lalu memberikan kartu akses kamar setelah Fahmi menyebut: “Satu suite terbaik.”

Lift bergerak naik, lantai demi lantai. Rina bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang tak terkendali.

Begitu pintu suite terbuka, pandangan Rina langsung disuguhi ruangan luas dengan interior elegan: sofa kulit, chandelier kecil, ranjang king size dengan sprei putih yang tampak begitu lembut. Balkon terbuka menampilkan city light yang berkilau.

Rina berdiri terpaku di ambang pintu. Tubuhnya gemetar. Bukan karena takut, tapi karena campuran tegang dan sesuatu yang lebih dalam dari itu.

Fahmi menutup pintu perlahan, lalu mendekat. “Rina …,” panggilnya pelan.

Rina menoleh. Pandangan mereka bertemu. Untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Tak ada lagi suara konser, tak ada lagi bayangan Ervan dan Claudia. Hanya ada mereka berdua.

Perlahan, Fahmi mengangkat tangannya, menyentuh pipi Rina yang masih basah. Sentuhan itu lembut, berbeda dari sikap dingin yang biasa ia terima dari Ervan. Rina menutup mata sejenak, membiarkan dirinya larut.

Saat ia membuka mata kembali, wajah Fahmi sudah begitu dekat. Nafas hangatnya menyapu kulit wajah Rina.

Dan akhirnya … bibir mereka bertemu.

Ciuman itu awalnya pelan, ragu. Seolah keduanya masih menimbang apakah yang mereka lakukan salah. Tapi detik berikutnya, ragu itu runtuh. Rina menekan bibirnya lebih dalam, tangannya meraih leher Fahmi. Fahmi merangkul pinggangnya, menariknya lebih dekat.

Rina bisa merasakan debaran jantung Fahmi sama kencangnya dengan dirinya.

Keduanya bergerak, langkah mundur hingga punggung Rina menyentuh dinding. Ciuman itu makin panas, penuh desakan, penuh kerinduan yang selama ini terpendam.

“Fahmi …,” bisik Rina di sela desahan.

“Ya?” Suara Fahmi parau, serak oleh gairah.

“Aku … jangan berhenti ....”

Kalimat Rina itu meledakkan sisa kontrol Fahmi. Ia mengangkat tubuh Rina, membawanya ke arah ranjang besar. Rina melingkarkan kedua kakinya di pinggang Fahmi, tubuhnya menempel erat.

Mereka jatuh di atas ranjang. Bibir bertemu lagi, lebih liar. Jari-jemari Fahmi menyusuri rambut Rina, sementara Rina meremas kemeja Fahmi seakan tak ingin ada jarak.

Lampu kamar temaram menyoroti bayangan dua tubuh yang kini larut dalam keintiman. Nafas terengah, erangan tertahan, dan desir listrik yang membuat udara di sekeliling terasa mendidih.

Saat tangan Fahmi mulai menelusuri kulit Rina yang tersingkap dari blush tipisnya, Rina menggigil. Tapi ia tidak menolak. Justru ia menatap Fahmi dengan mata basah dan berbisik:

“Buat aku … lupa semuanya, Mi.”

Bersambung

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (3)
goodnovel comment avatar
Risya Petrova
Hahahaha, oke siap Kak ^^ . Makasih ya udah nyempetin komentar
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
#with Fahmi...
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Good job Rina Readers dukung perselingkuhanmu with Fami!.
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Indra emosi

    Lorong VIP rumah sakit begitu tenang. Lampu-lampu di langit-langit menyinari lantai yang mengilap, aroma antiseptik menyatu dengan dinginnya udara AC. Pintu bertuliskan VIP Eksklusif terbuka perlahan, menampilkan pemandangan dua perawat perempuan yang baru saja keluar. Mereka tersenyum ramah pada Sarah dan Indra, lalu berlalu.Sarah menahan napas, dadanya sesak. Ia menatap ke dalam ruangan.Bondan terbaring di ranjang dengan selang infus menempel di tangannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam rapat. Helaan napasnya pelan, seolah tubuh itu sedang berjuang melawan rasa sakit.“Bondan belum siuman,” ucap Indra pelan, nyaris berbisik.Namun baru saja kalimat itu selesai meluncur, terdengar suara serak tapi jelas dari ranjang.“Aku sudah sadar. Hanya operasi pengangkatan peluru di lengan. Cuma nyerempet.”Sarah terperanjat. Indra spontan menoleh.“Astaga … cuman katamu?” Sarah melangkah cepat ke sisi ranjang, menatap lengan Bondan yang dibalut perban tebal. “Kamu bisa kehilangan nyawa, Da

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Sentuhan hangat dibawah guyuran hujan

    Rina berdiri terhuyung di bawah payung kecil yang nyaris tak mampu melindungi tubuh mereka berdua. Nafasnya memburu, bukan hanya karena dingin, tapi karena bibir Fahmi baru saja melumat bibirnya tanpa ampun.Dan anehnya, ia tidak mendorong pergi.Ia membiarkan. Ia menikmati. Ia kehilangan kendali.“Mi ….” Suara Rina lirih, terhenti di antara helaan napas.Fahmi tidak menjawab. Ia kembali meraih wajah Rina, menempelkan keningnya di kening perempuan itu. Tatapannya tajam, penuh rasa yang menuntut diakui. “Aku udah terlalu lama nahan, Rin. Aku nggak bisa lagi pura-pura nggak peduli.”Rina menelan ludah, tubuhnya bergetar. “Tapi … ini salah ….”“Terserah orang mau bilang apa. Aku cuma tahu … aku butuh kamu.” Suara Fahmi terdengar parau, nyaris pecah oleh hasrat yang sudah tak bisa ia bendung.Rina tak sempat lagi mengelak. Bibir Fahmi kembali menubruk bibirnya, lebih dalam, lebih liar. Hujan deras jadi musik pengiring, menenggelamkan suara debar jantung mereka.Rina mendesah kecil, jemari

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Ternyata cinta dari pandangan pertama

    “Aku lihat dari tadi kamu gelisah, Rin. Kamu nggak bisa tidur, kan?” suara Fahmi tiba-tiba memecah keheningan kamar rumah sakit yang dingin.Rina menoleh pelan, matanya masih sembab. Ia duduk di kursi dekat ranjang ibunya, memegang jemari Bu Ratih yang terlelap dengan selang oksigen masih menempel. “Aku … takut, Mi. Takut Mama kenapa-kenapa kalau aku tinggalin sebentar.”Fahmi melangkah mendekat, tangannya masuk ke saku celana jeans. “Perawat di luar bisa jagain. Kita cuma keluar sebentar. Kamu butuh makan, Rin. Kopi juga biar nggak makin drop. Biar semangat.”Rina tersenyum tipis, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah, Mi. Aku nggak lapar.”“Lapar nggak lapar, kamu tetep harus isi perut. Aku tahu kamu dari sore belum makan bener.” Suara Fahmi lembut tapi tegas. “Kalau kamu sakit, siapa yang jagain Mama kamu?”Rina terdiam. Kata-kata itu masuk di telinganya, meski hatinya masih berat. Ia menoleh ke mamanya yang tertidur tenang, lalu menghela napas panjang. “Ya udah … tapi sebentar aja, M

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Ketika setia menjadi luka

    Rina masih berdiri di depan pintu ruang rawat, ponsel menempel di telinganya. Suara Ervan di seberang begitu jelas terdengar, datang bersama nada yang menusuk jantungnya.“Aku di rumah sakit, Van. Mama sakit, dirawat di sini,” ucap Rina akhirnya, dengan suara serak menahan tangis. “Aku tadi buru-buru ke sini, jadi belum sempat kasih kabar.”Beberapa detik hening. Lalu terdengar helaan napas berat dari seberang. “Mama kamu sakit?” tanya Ervan singkat.“Iya, Van … Mama drop mendadak. Aku panik. Aku di sini dari sore." Rina menjawab setengah berbohong karena ia baru datang sekitar hampir jam sebelas malam.Ervan tidak langsung menjawab. Hanya bunyi tarikan napasnya yang terdengar. Ada jeda panjang, yang sempat membuat hati Rina berharap. Mungkin, kali ini Ervan akan mengatakan sesuatu yang hangat. Mungkin ia akan langsung menyusul ke rumah sakit.Namun, harapan itu buyar seketika.“Aku nggak bisa ke sana. Besok aku full operasi. Tiga jadwal sekaligus. Aku nggak bisa ninggalin. Kamu tahu

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Tidak tahan untuk membalas

    Malam itu berjalan lambat. Fahmi akhirnya menawarkan diri berjaga di samping Bu Ratna. “Kamu tiduran aja, Rin. Di sofa panjang itu. Aku yang di sini.”Rina sempat menolak. “Nggak usah, Mi. Kamu pasti capek. Dari tadi kamu udah nemenin aku. Aku jadi nggak enak hati.”Tapi Fahmi bersikeras. “Aku yang capek … itu nggak penting. Kamu yang harus jaga tenaga buat Mama kamu. Istirahat. Lagian ngapain jadi nggak enak hati sih?”Akhirnya, dengan berat hati, Rina menuruti. Ia rebah di sofa panjang di sudut ruangan. Namun sebelum tertidur, ia sempat menoleh lewat pintu kaca.Yang ia lihat membuat hatinya tersentuh. Fahmi duduk di samping ranjang Bu Ratih. Ia menepikan kursinya hingga dekat sekali. Tangannya membetulkan selimut di dada Bu Ratih dengan hati-hati, bahkan sesekali mengusap pelan punggung tangannya sendiri di atas jemari tua itu.Pemandangan itu menusuk Rina dalam-dalam. Ada rasa syukur … tapi juga ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang ia tahu tak seharusnya tumbuh.Rina memejamkan ma

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Dia

    Belum sempat Rina membuka suara lagi untuk menanyakan maksud ucapan Fahmi, apa yang akan diinginkannya besok, suara langkah tergesa terdengar. Seorang perawat menghampiri, mengetuk pintu pelan.“Ibu Rina,” suster itu menunduk sopan, “ibu Anda, Bu Ratna, sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kondisinya lebih stabil sekarang.”Degup jantung Rina yang tadi kacau sedikit reda. Ia mengangguk cepat. “Iya … terima kasih, Suster.” Ia bangkit, hampir melupakan Fahmi yang masih duduk di samping. Tanpa banyak pikir, ia mengikuti suster itu dengan langkah tergesa. Fahmi bangun dan berjalan di belakangnya, matanya tak lepas dari punggung Rina yang tampak rapuh sekaligus kuat.Setibanya di ruang rawat, Rina langsung terpaku. Ibunya, Bu Ratna, terbaring lemah dengan selang oksigen yang masih menempel, mata terpejam. Wajahnya pucat, namun napasnya jauh lebih teratur dibanding ketika tadi di IGD. “Mama ….” Suara Rina bergetar. Ia maju perlahan, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya menggenggam tangan ibu

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status