Rina tercekat mendengar nama itu keluar dari bibir suaminya sendiri.
“Claudia …?” ulangnya lirih, suaranya serak, hampir patah. “Siapa dia sebenarnya?” Ervan menarik napas panjang, mencoba meredakan nada panik dalam dirinya. Ia melangkah selangkah mendekat, mencoba menampilkan ketenangan yang dipaksakan. “Dia cuma teman kerja, Rin,” jawabnya dengan nada berat, seolah sedang berusaha sabar. “Claudia itu perawat di rumah sakit. Kamu jangan salah paham. Foto itu cuma kebetulan. Aku makan siang sama dia di restoran dekat rumah sakit. Itu aja. Sumpah, nggak ada apa-apa.” Rina menatapnya tak berkedip, wajahnya masam, sorot matanya dingin. Senyum sinis tersungging di bibirnya. “Hanya makan siang?” sindirnya getir. “Kamu kira aku sebodoh itu, Van? Kalau cuma makan siang, kenapa fotonya penuh senyum manis, kenapa tanganmu bisa semesra itu?” Ervan terdiam, lalu kembali menghela napas seolah menahan diri. “Kamu terlalu besar-besarkan, Rin. Semua orang juga bisa salah tafsir dari sebuah foto.” Namun sebelum ia sempat menambahkan alasan lain, Rina cepat menyambar dengan suara gemetar penuh luka. “Kalau begitu, kamu mau jelaskan ini?” Tangannya bergetar saat mengangkat ponsel lagi. “Ada satu foto lagi. Foto di mana kamu … dan Claudia…” suaranya tercekat, “berciuman.” Wajah Ervan sontak pucat. Matanya melebar. “Apa?” “Ya, Van.” Rina menguatkan suaranya. “Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Kalian berciuman.” Ervan melotot, ekspresinya campuran antara terkejut dan panik. “Mana buktinya?!” tuntutnya cepat, nyaris berteriak. Rina membeku. Bibirnya bergetar, tapi tak ada jawaban. Foto yang itu memang sudah hilang—mode sekali lihat. Ia tidak bisa menunjukkannya lagi. “Mana fotonya, Rin?!” Ervan mendesak lagi, kali ini lebih keras. “Kalau kamu benar-benar punya, tunjukkan sekarang!” Air mata Rina jatuh. Ia menggenggam ponselnya erat, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kebisuannya justru dijadikan senjata oleh Ervan. Ia mendengus kasar, wajahnya berubah dingin. “Ini yang aku nggak tahan dari kamu,” katanya penuh tuduhan. “Kamu terlalu posesif! Semua yang aku lakukan selalu kamu curigai. Kamu bahkan percaya sama hal-hal yang nggak jelas, tanpa bukti.” Rina terperanjat, dadanya sesak. “Aku posesif?” ucapnya lirih, matanya merah. “Aku cuma istri yang ingin tahu kebenaran dari suaminya. Dan foto yang aku bilang itu beneran memperlihatkan kamu dan perempuan lain berciuman ya!” “Tapi mana fotonya? Kamu cuman nuduh tanpa sebab! Kamu kelewatan, Rin!” Ervan berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu nggak percaya sama aku, bahkan setelah aku jelasin panjang lebar. Kamu lebih percaya foto-foto nggak jelas daripada aku, suamimu sendiri!” Kalimat itu menusuk jantung Rina. Napasnya tercekat. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa foto itu nyata, bahwa Dea yang mengirimkan bukti, tapi mulutnya terkunci. Ada ketakutan jika ia membuka identitas Dea, sahabatnya itu bisa ikut terseret masalah rumah tangganya. Ervan mengibaskan tangan, seolah muak. “Sudahlah. Aku capek sama sikap kamu.” Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan cepat ke arah kamar. Suara langkahnya berat, penuh kemarahan. Lalu— Brak! Pintu kamar tertutup keras, hampir seperti dibanting. Rina berdiri kaku. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi wajahnya. Suara pintu yang tertutup tadi seperti mematahkan hatinya berkeping-keping. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya, menahan isak yang semakin pecah. Malam itu terasa panjang, sunyi, dan mencekik. Keesokan siangnya, rumah terasa dingin. Tadi pagi Rina terbangun dengan mata bengkak. Kepalanya berat, seolah dipukul berkali-kali oleh kenyataan. Ia turun ke dapur, berharap bisa berbicara dengan Ervan. Namun meja makan kosong. Nasi masih utuh, lauk yang ia siapkan semalam bahkan tak disentuh. Ervan sudah pergi. Tanpa sarapan. Tanpa sepatah kata pun. Kini Rina terdiam di kursi. Tubuhnya lemas. “Sampai hati kamu, Van …,” gumamnya lirih. Entah sudah beberapa kali ia berbicara seperti itu sendirian. Tangannya gemetar saat ia membuka laptop. Hatinya gelisah, ingin tahu lebih jauh tentang Claudia. Ia mengetik nama Claudia di kolom pencarian I*******m. Tidak langsung ketemu. Ia lalu membuka akun Ervan, menelusuri daftar pengikut dan orang yang ia ikuti. Matanya membelalak saat menemukan nama itu. Claudia R. dengan foto profil seorang wanita muda berambut panjang. Senyumnya manis. Terlalu manis. Saking manisnya membuatnya ingin muntah karena mual. Hatinya seperti diremas. Ia menelusuri feed Claudia—foto di rumah sakit, foto bersama teman-teman perawat, dan beberapa foto swafoto dengan caption sederhana. Namun di beberapa unggahan, ada komentar dari akun Ervan. Komentar singkat, tapi cukup untuk membuat jantung Rina berdegup kencang. “Cantik.” “Semangat, Cla.” Emoji senyum. Rina menutup mulutnya. Matanya panas lagi, ingin menangis. “Jadi benar … selama ini dia .…” Tok … tok … tok .… Suara bel pintu membuatnya tersentak. Ia buru-buru menutup laptop, menyeka air matanya dengan cepat, lalu melangkah ke pintu. Ketika pintu dibuka, sosok itu berdiri di hadapannya. Fahmi. Pria itu menatap lekat wajah Rina. Pandangannya langsung jatuh pada mata Rina yang samar terlihat bengkak, jelas bekas menangis semalaman. “Ada apa ke mari?” suara Rina serak, dingin, tapi juga rapuh. “Aku mau tanya keadaanmu,” jawab Fahmi pelan. Rina berpaling, tak sanggup menatap matanya. “Aku baik,” jawabnya cepat, dengan nada sedikit ketus. Fahmi mengangkat alis, senyum miring muncul di bibirnya. “Apa begini caramu membalas orang yang sudah menolongmu dari tindakan konyol menenggelamkan diri semalam?” Wajah Rina seketika memerah. Bibirnya bergetar. Ia terdiam, malu. “Aku … aku kan nggak minta ditolong,” balasnya lirih. Fahmi menatapnya tajam. Ada kehangatan sekaligus keberanian di sorot matanya. Lalu perlahan ia mengulurkan tangannya, memperlihatkan sesuatu. Dua lembar tiket kertas. “Aku mau ajak kamu keluar,” katanya tenang. “Ada konser hari ini. Aku punya dua tiket. Apa kamu mau nemenin aku?” Rina menatap tiket itu, lalu wajah Fahmi. Hatinya bergejolak. Antara ragu, takut, tapi juga ada rasa hangat yang diam-diam menyelinap. Ia menggenggam erat kusen pintu, mencoba menahan gemetar tangannya. “Aku … nggak tahu, Fahmi,” suaranya lirih. “Aku lagi nggak pengen ke mana-mana.” Fahmi mendekat sedikit, suaranya pelan tapi tegas. “Justru karena itu aku ajak kamu. Kamu butuh keluar dari rumah ini. Kamu butuh keluar dari lingkaran sakit yang terus bikin kamu nangis. Aku nggak janji konser ini bakal sembuhin lukamu. Tapi aku janji … kamu nggak akan sendirian kalau mau ikut sama aku.” Rina terdiam. Terhenyak dengan kata-kata Fahmi yang menyentuh. Air matanya mulai kembali menggenang di pelupuk mata. “Gimana, mau ikut gak?” tanya Fahmi sekali lagi. BersambungHai reader, makasih ya yang udah baca ceritaku ini. Jangan lupa tambahkan ke rak buku kalian. Cerita ini akan diupdate setiap hari sampai Selesai ^^ Dan jangan lupa ulasan bintang limanya ya. Makasih ... ^^
Lorong VIP rumah sakit begitu tenang. Lampu-lampu di langit-langit menyinari lantai yang mengilap, aroma antiseptik menyatu dengan dinginnya udara AC. Pintu bertuliskan VIP Eksklusif terbuka perlahan, menampilkan pemandangan dua perawat perempuan yang baru saja keluar. Mereka tersenyum ramah pada Sarah dan Indra, lalu berlalu.Sarah menahan napas, dadanya sesak. Ia menatap ke dalam ruangan.Bondan terbaring di ranjang dengan selang infus menempel di tangannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam rapat. Helaan napasnya pelan, seolah tubuh itu sedang berjuang melawan rasa sakit.“Bondan belum siuman,” ucap Indra pelan, nyaris berbisik.Namun baru saja kalimat itu selesai meluncur, terdengar suara serak tapi jelas dari ranjang.“Aku sudah sadar. Hanya operasi pengangkatan peluru di lengan. Cuma nyerempet.”Sarah terperanjat. Indra spontan menoleh.“Astaga … cuman katamu?” Sarah melangkah cepat ke sisi ranjang, menatap lengan Bondan yang dibalut perban tebal. “Kamu bisa kehilangan nyawa, Da
Rina berdiri terhuyung di bawah payung kecil yang nyaris tak mampu melindungi tubuh mereka berdua. Nafasnya memburu, bukan hanya karena dingin, tapi karena bibir Fahmi baru saja melumat bibirnya tanpa ampun.Dan anehnya, ia tidak mendorong pergi.Ia membiarkan. Ia menikmati. Ia kehilangan kendali.“Mi ….” Suara Rina lirih, terhenti di antara helaan napas.Fahmi tidak menjawab. Ia kembali meraih wajah Rina, menempelkan keningnya di kening perempuan itu. Tatapannya tajam, penuh rasa yang menuntut diakui. “Aku udah terlalu lama nahan, Rin. Aku nggak bisa lagi pura-pura nggak peduli.”Rina menelan ludah, tubuhnya bergetar. “Tapi … ini salah ….”“Terserah orang mau bilang apa. Aku cuma tahu … aku butuh kamu.” Suara Fahmi terdengar parau, nyaris pecah oleh hasrat yang sudah tak bisa ia bendung.Rina tak sempat lagi mengelak. Bibir Fahmi kembali menubruk bibirnya, lebih dalam, lebih liar. Hujan deras jadi musik pengiring, menenggelamkan suara debar jantung mereka.Rina mendesah kecil, jemari
“Aku lihat dari tadi kamu gelisah, Rin. Kamu nggak bisa tidur, kan?” suara Fahmi tiba-tiba memecah keheningan kamar rumah sakit yang dingin.Rina menoleh pelan, matanya masih sembab. Ia duduk di kursi dekat ranjang ibunya, memegang jemari Bu Ratih yang terlelap dengan selang oksigen masih menempel. “Aku … takut, Mi. Takut Mama kenapa-kenapa kalau aku tinggalin sebentar.”Fahmi melangkah mendekat, tangannya masuk ke saku celana jeans. “Perawat di luar bisa jagain. Kita cuma keluar sebentar. Kamu butuh makan, Rin. Kopi juga biar nggak makin drop. Biar semangat.”Rina tersenyum tipis, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah, Mi. Aku nggak lapar.”“Lapar nggak lapar, kamu tetep harus isi perut. Aku tahu kamu dari sore belum makan bener.” Suara Fahmi lembut tapi tegas. “Kalau kamu sakit, siapa yang jagain Mama kamu?”Rina terdiam. Kata-kata itu masuk di telinganya, meski hatinya masih berat. Ia menoleh ke mamanya yang tertidur tenang, lalu menghela napas panjang. “Ya udah … tapi sebentar aja, M
Rina masih berdiri di depan pintu ruang rawat, ponsel menempel di telinganya. Suara Ervan di seberang begitu jelas terdengar, datang bersama nada yang menusuk jantungnya.“Aku di rumah sakit, Van. Mama sakit, dirawat di sini,” ucap Rina akhirnya, dengan suara serak menahan tangis. “Aku tadi buru-buru ke sini, jadi belum sempat kasih kabar.”Beberapa detik hening. Lalu terdengar helaan napas berat dari seberang. “Mama kamu sakit?” tanya Ervan singkat.“Iya, Van … Mama drop mendadak. Aku panik. Aku di sini dari sore." Rina menjawab setengah berbohong karena ia baru datang sekitar hampir jam sebelas malam.Ervan tidak langsung menjawab. Hanya bunyi tarikan napasnya yang terdengar. Ada jeda panjang, yang sempat membuat hati Rina berharap. Mungkin, kali ini Ervan akan mengatakan sesuatu yang hangat. Mungkin ia akan langsung menyusul ke rumah sakit.Namun, harapan itu buyar seketika.“Aku nggak bisa ke sana. Besok aku full operasi. Tiga jadwal sekaligus. Aku nggak bisa ninggalin. Kamu tahu
Malam itu berjalan lambat. Fahmi akhirnya menawarkan diri berjaga di samping Bu Ratna. “Kamu tiduran aja, Rin. Di sofa panjang itu. Aku yang di sini.”Rina sempat menolak. “Nggak usah, Mi. Kamu pasti capek. Dari tadi kamu udah nemenin aku. Aku jadi nggak enak hati.”Tapi Fahmi bersikeras. “Aku yang capek … itu nggak penting. Kamu yang harus jaga tenaga buat Mama kamu. Istirahat. Lagian ngapain jadi nggak enak hati sih?”Akhirnya, dengan berat hati, Rina menuruti. Ia rebah di sofa panjang di sudut ruangan. Namun sebelum tertidur, ia sempat menoleh lewat pintu kaca.Yang ia lihat membuat hatinya tersentuh. Fahmi duduk di samping ranjang Bu Ratih. Ia menepikan kursinya hingga dekat sekali. Tangannya membetulkan selimut di dada Bu Ratih dengan hati-hati, bahkan sesekali mengusap pelan punggung tangannya sendiri di atas jemari tua itu.Pemandangan itu menusuk Rina dalam-dalam. Ada rasa syukur … tapi juga ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang ia tahu tak seharusnya tumbuh.Rina memejamkan ma
Belum sempat Rina membuka suara lagi untuk menanyakan maksud ucapan Fahmi, apa yang akan diinginkannya besok, suara langkah tergesa terdengar. Seorang perawat menghampiri, mengetuk pintu pelan.“Ibu Rina,” suster itu menunduk sopan, “ibu Anda, Bu Ratna, sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kondisinya lebih stabil sekarang.”Degup jantung Rina yang tadi kacau sedikit reda. Ia mengangguk cepat. “Iya … terima kasih, Suster.” Ia bangkit, hampir melupakan Fahmi yang masih duduk di samping. Tanpa banyak pikir, ia mengikuti suster itu dengan langkah tergesa. Fahmi bangun dan berjalan di belakangnya, matanya tak lepas dari punggung Rina yang tampak rapuh sekaligus kuat.Setibanya di ruang rawat, Rina langsung terpaku. Ibunya, Bu Ratna, terbaring lemah dengan selang oksigen yang masih menempel, mata terpejam. Wajahnya pucat, namun napasnya jauh lebih teratur dibanding ketika tadi di IGD. “Mama ….” Suara Rina bergetar. Ia maju perlahan, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya menggenggam tangan ibu