Share

Pura-pura, Dimulai!

Yang mampu kutangkap dari kisah panjang yang beruntun bagai truk gandeng itu adalah bahwa Sofia D’Angelo merupakan anak bungsu dari keluarga pemilik mansion ini. Entah bagaimana tapi yang terlintas di kepalaku sejak tadi adalah bahwa Sofia anak yang terlalu dimanja. Gadis itu hidup bergelimang harta, bisa mendapatkan apapun yang ia mau, dan melakukan apapun yang ia mau. Contohnya ya seperti sekarang ini, katanya sudah tiga bulan Sofia tidak pulang. Setelah suatu masalah, yang entah kenapa tidak dideskripsikan lebih jelas, Sofia memilih minggat dari rumah begitu saja.

“Jadi, kau ada pertanyaan lagi?”

Aku mengangkat tangan tinggi, seperti murid yang ingin bertanya pada guru. “Namamu siapa ya?” entah kenapa baru sekarang aku mengangkat topik yang satu ini. Sejak awal dia bercerita, tidak ada satupun di antara kami yang menyadari bahwa dia belum memperkenalkan diri.

“Matteo,” jawabnya singkat. “Pokoknya beberapa jam setelah ini akan ada makan malam, diam saja di dalam kamarmu sampai aku menjemput,” matanya menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangan. “Kau bisa coba-coba baju Sofia di sana,” tangannya menunjuk sebuah pintu berukirkan bunga di kayunya.

“Di mana?”

“Itu,” tunjuknya lagi, seakan aku tidak bisa melihatnya untuk pertama kali.

“Itu pintu, maksudku… mana lemarinya?”

Matteo menghela napas lelah dan berjalan menuju pintu. Dua tangannya mendorong pintu ke dalam, menunjukkan ruang penyimpanan luas berisi mungkin ratusan baju dan gaun. Sebuah kaca besar juga terdapat di dalam, dengan sepatu-sepatu berhak tinggi dan perhiasan yang tersusun rapi di dalam almari kaca.

Mulutku terbuka lebar, menganga dan terpana. “Bersikaplah normal di acara makan malam nanti dan jangan mudah terpesona pada setiap hal kecil, mereka semua akan mencurigaimu dan aku,” ucapnya. Kini aku memandangnya sinis. Bukan salahku aku teralahir di keluarga yang tidak sekaya D’Angelo! Dan bukan salahku ini kali pertamaku melihat ruangan khusus untuk berpakaian.

“Memang kenapa kalau mereka curiga?” kutanyakan saja langsung padanya.

Matteo meletakkan tangannya ke arah leher, menunjukkan gerakan memotong. “Kita mati.”

“Sungguh?” mataku berkedip.

“Tidak, tapi itu kemungkinan paling parah,” ia mengangkat bahu tak bersalah. Matteo kini berjalan mengitari ruangan pakaian selagi aku memilah-milih gaun cantik yang bergelantung rapi.

“Jadi… apa alasan Sofia minggat dari mansion seluas ini?” aku coba lagi mengangkat topik yang satu ini. Alasan dari kepergian Sofia masih mengusik pikiranku. Aku perlu tahu penyebab kaburnya Sofia dari rumah gedang ini sebelum menyetujui syarat dan ketentuan untuk bersandiwara. Bukan hanya menjelma menjadi gadis biasa, aku harus berlakon menjadi anak bungsu dari keluarga mafia kaya raya yang memiliki otoritas untuk memenggal kepalaku saat mereka tahu bahwa aku palsu.

Matteo awalnya tidak menjawabku dan malah menatap jejeran sepatu berhak tinggi. “Lihat dan dengar baik-baik sekitarmu saat makan malam nanti, kau mungkin akan lebih mengerti hal yang dialami Sofia secara kalian… sama-sama perempuan,”

“Tidak bisakah kau katakan padaku sekarang?” aku berkacak pinggang. “Aku sedang mempertaruhkan nyawaku di sini,”

“Sofia tidak sedramatis ini,” suaranya berucap datar.

“Oh, kalau begitu bilang saja Sofia baru menabrakkan mobilnya ke jurang di pinggir Pesisir Amalfi! Bilang bahwa anak bungsu kesayangan mereka telah gegar otak dan butuh pertolongan medis secepatnya,” sambil mendengus aku menarik satu gaun dan meletakkannya di depan tubuh. “Bagaimana kalau aku pakai baju ini untuk makan malam?” kupamerkan kain yang selaras dengan langit biru cerah.

“Intinya nanti kau harus minta maaf lebih dulu, ah jangan yang itu, kenakan warna merah saja,” dia masih pula memberi saran di sela diskusi taktiknya. “Kau pokoknya nanti menurut saja padaku,”

Aku tidak membalasnya lagi dan langsung bergerak untuk mencari gaun merah sembari bersenandung. Kau berpikir tidak ada orang normal yang setenang aku? Tidak, sesungguhnya dadaku juga berdebar seperti orang pada umumnya dan aku hanya berlagak berani saja. Keputusan yang kuambil secara spontan ini tidak semudah kelihatannya. Tentu fisikku begitu mirip dengan foto Sofia yang ditunjukkan oleh Matteo, tapi bagaimana dengan tata krama dan cara ia berprilaku? Emma bukanlah Sofia!

"Aku akan tetap mencari Sofia selama kau akan menjadi penggantinya di sini,” ujarnya.

Aku terdiam lama sebelum mengangguk setuju dan berkata, “Baiklah,”. Lagipula butuh waktu berapa lama sih untuk menemukan gadis itu? Paling tidak 3 hari. Keluargaku juga pasti tidak akan keberatan, atau malah tidak akan menyadari, bahwa aku tidak menghadiri perayaan ulang tahun keseratus sebelas kakek. Sejak dulu eksistensiku tidak pernah begitu menonjol di antara keenam saudaraku. Jadi tidak masalah, aku bisa berpura-pura selama itu.

.

.

Pemandangan dari atas balkon menunjukkan lanskap hijau luas yang menghadap jalan berkelok dihiasi pohon cemara jakung di tiap sisi serta perbukitan. Perkiraanku mengatakan bahwa mansion megah ini terletak di Toskana. Kemungkinan besar mereka menculikku, melemparku ke dalam bagasi, dan menginjak gas selama hampir dua jam menuju tempat ini. Bayangkan, dua jam! Dua jam mengendarai dan tidak membuahkan hasil, karena bukan Sofia yang mereka tangkap melainkan Emma Franco.

Kutatap lagi pemandangan sekitar. Hampir mustahil rasanya untuk kabur dari mansion ini. Dari tadi kulihat tidak ada satu pun rumah di dekat properti pribadi D’Angelo. Sial, bahkan mungkin beribu-ribu hektare tanah di depan bangunan ini semuanya milik mereka. Kecil kemungkinanku untuk mengikat selimut lalu berseluncur turun seperti yang kulihat dalam film-film. Turunnya sih bisa, tapi setelah itu aku akan mati kelaparan karena tidak kunjung menemukan jalan menuju peradaban manusia di luar sana.

Apa mungkin ini yang membuat Sofia kabur? Karena ia berdiam sendiri bagaikan burung yang terperangkap dalam sangkar emas.

Tiba-tiba otakku berjalan lebih cepat. Aku ingin menulis. Pengalaman ini pantas untuk dijadikan sebuah autobiografi. Daripada menulis cerita fantasi yang tidak ada habisnya itu, tidakkah lebih baik bagiku untuk menulis kisah penculikanku? Ini mungkin tidak akan sengeri kisah penculikan lainnya karena aku hanya dikurung dalam mansion besar di tengah antah berantah di Toskana, tapi tetap saja, siapa yang mengira ada gadis yang diculik dan malah mendapatkan kemewahan yang belum pernah ia dapat sebelumnya.

“Aku mau menonton anime…”

“Kita bisa tonton bersama setelah makan malam, ayo bersiap,” suara Matteo mengejutkanku. Aku bahkan tidak mendengarnya membuka pintu.

“Apa keluarga ini tidak mengenal kata mengetuk?” kutatap langit jingga sebentar sebelum berbalik dan mengikuti Matteo.

“Aku sudah mengetuk, kau terlalu banyak bicara sendiri sampai tidak mendengarku,”

“Kau mendengarnya?” aku memandangnya ngeri.

“Yap, lama sekali,” ia mendorong tubuhku, memaksaku duduk di depan meja rias. Kemudian tangannya menyentuh rambutku perlahan.

“Aku harus belajar menutup mulut, kan?” mataku memandanginya lewat kaca selagi melempar pertanyaan.

Matteo tidak menjawab pertanyaan retorisku dan lebih memilih fokus menata rambutku. Dengan telaten ia menyisiri helai ikalku lalu menyusunnya sedemikian rupa; dua sisi diambil dan diikat ke belakang dengan sebuah pita. Lalu Matteo meletakkan dua tangannya di kedua bahuku. “Pura-puranya dimulai dari sekarang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status