Share

Orang Gila

Rumah keluargaku terletak di sebuah tempat di Verona. Di sebuah bangunan tua yang berada di persimpangan jalan. Tidak sesuai janji yang terucap dari mulutnya, mama tidak menjemputku di bandara. Padahal sudah kulirik seisi bandara, kulihat satu-satu wanita dengan rambut lurus panjang bak dari salon. Mamaku tidak pernah meninggalkan rutinitasnya menggunakan catokan bahkan di usianya yang sudah kelima puluh, sehingga rambut lurus sudah menjadi ciri khasnya. Jadi sekarang aku berjalan karena taksi tak sudi mengantarku sampai depan. Terlalu jauh katanya. Jadi pria tua itu menurunkanku – gadis muda yang masih cantik – di pinggir jalan di malam hari dan menyuruhku tetap membayar penuh.

Kuseret koperku melintasi jalanan sempit dengan dinding berbatu. Sebuah lampu menyala di setiap perempatan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan warung kecil yang menjual alkohol murah. Penerangan redup dan langit gelap menambah kesulitanku berjalan sambil menenteng koper menuruni tangga curam dan sempit. Aku baru bisa bernapas lega setelah melihat jalanan datar.

Ketika kakiku berbelok ke sebuah gang yang jauh lebih sepi, aku mulai merasa merinding. Padahal malam itu tidak sedingin biasanya, toh sebuah jaket sudah kukenakan di atas pakaian crop top-ku untuk menghalau udara malam hari. Tapi firasatku mengatakan untuk tidak masuk ke dalam jalan luas di sudut kiriku.

Kutolehkan kepala ke kanan, depan, dan belakang, berharap seseorang muncul untuk menemani. Sayang sekali jalanan itu sepi seperti kota mati. Aku menatap jalan kosong itu sekali lagi, memastikan tidak ada siapapun di sana. Mataku terpejam, batin mulai menghitung untuk meredakan kecemasan yang membumbung.

Kau penakut sekali!

Ah, sudahlah, ini satu-satunya jalan yang bisa kutempuh untuk sampai lebih cepat di rumah!

Jadi aku maju. Dan kau tahu apa yang terjadi berikutnya? Aku sungguh tidak terkejut ketika sebuah sapu tangan pink norak diletakkan di depan hidungku, mencuri kesadaranku secara perlahan dan membuat sekitarku menjadi gelap gulita.

.

.

Yang aku tahu selanjutnya aku sudah berada di atas kursi dalam sebuah kamar luas berisikan pernak-pernik mahal. Tidak hanya duduk, aku terikat oleh tali sabut kasar hingga punggungku menyentuh kepala kursi. Sudah berapa lama posturku tidak sebagus ini? Duduk 90 derajat bukanlah hal normal bagi penulis yang selalu membungkuk sepertiku.

“Ugh!” aku mengerang, berusaha melepaskan diri dari jeratan tali. Tapi semuanya sia-sia, tali tetap bergeming. Bahkan kedua kakiku pun sudah diikat pada kaki kursi. Baiklah, sepertinya ini pertama kalinya ada yang tertarik untuk menculik dan mengikatku hidup-hidup. Kuratapi nasib sembari menatap seisi ruangan lebih jelas. Ada televisi 100 inchi berada tepat di atas karangan bunga palsu, sebuah meja putih bundar, kasur berukuran king size dihiasi karpet berbulu rasfur di bawahnya, dan kandelir kaca mewah. Di kananku terdapat pintu kaca yang mengarah pada balkon berhiaskan bunga begonia dan fuchsia.

Apa aku diculik dan dibawa ke tempat yang jauh lebih baik dari rumah sempitku?

Mendadak kudengar pintu terbuka. Aku menoleh cepat, menatap siapa yang sekiranya sudi menculikku. “Sofia, akhirnya kami bisa membawamu pulang juga,” ujarnya. Aku mengernyit. “Besok akan diadakan upacara pemakaman, kenakan pakaian hitam terbaikmu.”

Yang tengah berbicara itu adalah seorang pria dengan umur kisaran 30 tahun. Rambut hitamnya kelihatan seperti disemir dan ditata ke belakang. Di bawah matanya terdapat kantung mata hitam legam yang membuatnya tampak tidak tidur seminggu. Aku tidak mengenalnya dan dia memanggilku Sofia. Oke… kurasa ada kesalahpahaman besar di sini. “Aku bukan Sofia,” ucapku.

“Berhenti bercanda dan akan kulepas talimu,”

“Tapi aku bukan Sofia!”

“Dan aku bukan kakakmu, oh kurasa begitu…” suaranya sarkastik ketika membalas, sebuah pisau keluar entah dari mana dan kakinya berjalan mendekat. Otakku berputar cepat, berusaha meluruskan kesalahan dalam insiden penculikan ini.

“Namaku Emma, Emma Franco, biasa dipanggil Emm juga,”

“…Emma?” ia berhenti sebentar. Lalu pisau jatuh dari tangannya dan ia berlutut di depanku, tangannya meraih dua pipiku kuat. “Apa kau tidak sengaja menabrakkan kepalamu di batu?”

“Kalau gegar otak yang kau maksud, tidak. Aku bukan Sofia,”

Bagaimana caraku bisa meyakinkan orang ini bahwa aku bukan adik kesayangannya yang ia harapkan mengenakan pakaian berduka esok hari? Cara apalagi yang mampu menyadarkannya bahwa Sofia sudah tergantikan oleh gadis miskin dari antah berantah? Aku sudah kehabisan cara. Rasanya otakku bekerja lebih lambat di antara kemilau lampu yang berpendar hangat. Kalau saja kakekku ada di sini, kira-kira apa yang akan dikatakannya untuk keluar dari situasi ini?

Lalu tercetus ide jenius dari kepalaku. “Tanda lahir! Apa Sofia punya tanda lahir?”

Pria yang masih belum kuketahui namanya itu menggeleng. Aku berdecih. “Kalian tidak melihat kartu identitasku dulu sebelum menculik? Dimana tas dan koperku?” aku menoleh, mencari-cari keberadaan barang-barang pentingku.

“Oh, kuletakkan di sana,” pria itu bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati sebuah tas selempang mini. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana raut malasnya berganti menjadi terkejut, takut, lalu panik. “Oh tidak tidak tidak…!” ia memasukkannya lagi dengan kasar. “Jadi kau bukan Sofia D’Angelo?”

“D’Angelo? Ppft! Mana mungkin aku berasal dari keluarga i–” aku menutup mulut secepat mungkin. D’Angelo katanya? Sofia adalah bagian dari keluarga mafia itu? Tamat sudah riwayatku. Mereka tahu aku bukan Sofia dan akan segera meletakkanku di bawah guillotine lalu mempertontonkan eksekusi matiku pada setiap anggota organisasi. Harusnya aku berpura-pura lupa ingatan dan bertanya dulu sebenarnya siapa nama keluargaku.

Kukira hanya aku yang mulai merasa panik, tapi aku dengar pria itu memekik tertahan. Kali ini suaranya lebih mirip tikus terjepit. “Ayah akan membunuhku kalau tahu aku belum berhasil menemukan Sofia!” ia berjalan kalut. Langkahnya gelisah dan tidak menentu.

“Permisi…” aku bersuara. “Bisa kau lepaskan talinya? Ini mulai menyakiti pergelangan tanganku,”

“Bagaimana ini… bagaimana ini…”

Gumamannya yang tanpa akhir itu mulai mengacaukan isi kepalaku. Jadi aku berteriak dengan seluruh tenaga yang kupunya, berharap ia mendengarnya. “Lepaskan tali ini lalu kita bisa pikirkan solusinya!”

Ia menoleh, mungkin terkejut mendengar gadis muda memiliki suara sedalam dan sekencang itu. Tapi aku tidak peduli lagi. Tanganku mulai sakit dan aku ingin duduk membungkuk lagi. Pinggangku rasanya sudah mau menyerah saja. “…aku bisa jadi Sofia kalau kau mau! Aku bisa berperan jadi adikmu kalau kau butuh!” seruku.

Pria berambut sewarna jelaga itu menatapku seakan-akan aku orang gila. Tapi ia bergerak, mengambil pisau yang tergeletak, dan membantu memotong tali. Kesepakatan itu tidak terucap, tapi aku tahu ia menjetujui ide cemerlangku. Sepertinya kami berdua lah orang gilanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status