Share

Makan Malam ini Sama Sekali Tidak Menyenangkan!

Langkahku menyeret di atas lantai marmer. Aku sama sekali tidak menanti makan malam ini. Tapi tetap saja kakiku diarahkan pada ruang makan luas berisikan meja panjang berhiaskan lampu gantung kristal mewah tepat di atasnya. Ruang makan itu terletak dekat dengan kebun. Dapat dilihat dari kaca-kaca besar yang berdiri tegak menampilkan rupa-rupa tanaman berliuk.

Nampak beberapa orang sudah duduk nyaman di atas kursi masing-masing. Ketika kaki berlapis hak kuinjakkan, beberapa menoleh. Mata mereka lalu melebar, beberapa kelihatan senang dan yang lain kebingungan. Seorang pria bertubuh tambun kemudian berdiri dan berjalan lambat ke arahku. “Sofia, kau sudah kembali,” dua tangannya yang dipenuhi cincin menyentuh sisi pipiku, menatapku lekat. Lalu tangannya melingkar di sekitar lenganku, mendekapku kuat.

Pelukannya terasa hangat.

Sebelah tanganku balas memeluknya. “Pasti menakutkan berada di luar sana seorang diri, tapi setidaknya kau sudah kembali,” gumamnya.

Aku terdiam. Kenapa Sofia harus kabur jika keluarganya saja sebaik ini? Gadis itu tidak punya rasa bersyukur rupanya.

Dua tepukan di punggungku mengakhiri pelukannya dan ia kembali duduk. Aku tersenyum pada yang lain secara singkat sebelum mulai berjalan mengitari meja makan untuk duduk di samping Matteo. Suara tarikan kursiku yang terdengar di dalam hening ruang membuat bahuku terangkat kikuk. Aku segera duduk sebelum menarik lebih banyak perhatian lagi.

“Aku belum bisa melihat alasan mengapa Sofia pergi,” bisikanku mengundang tolehan kepala dari Matteo. “Apa yang memelukku tadi ayahmu?”

Matteo menggeleng pelan. “Itu Paman Andrea,” ia balas berbisik. “Yang di sana itu baru ayah, jangan lihat matanya secara langsung, rasanya sama seperti menatap iris Tifon, aku bahkan tidak tahu seperti apa mata Tifon…” hidungnya menunjuk pria yang duduk di ujung meja. Tampilannya necis dengan kemeja putih berkerah dan dasi bercorak garis abu-abu. Sebuah jenggot lebat keabuan dan kumis tebal membingkai wajah tegasnya, membuatnya terlihat tua. Rambut hitamnya yang disisir ke belakang tampak seperti baru disemir, warnanya begitu pekat dan mengilap.

“Bagaimana hidup di luar sana, Sofia?” seorang wanita yang tampak sebaya dengan mama bertanya. Aku tersenyum kecil, hendak menjawab tapi mendadak terpotong.

“Tentu saja menyedihkan, anak baru dewasa seumur Sofia pasti ingin sesekali melawan, tapi lihat… dia kembali lagi, kau merindukan hidup mewah ini kan? Baru saja 3 bulan tapi kau sudah pulang, haha,” wanita itu sepertinya berusaha tertawa dengan anggun tapi menurutku mirip sekali dengan ringkikan kuda yang kehabisan napas.

Aku benar-benar ingin membalasnya. Ingin sekali aku berkata bahwa pria bodoh di sampingkulah yang menyeretku masuk ke dalam mansion ini. Andaikan Sofia yang sesungguhnya ada di sini, dia pasti juga lebih memilih kehidupan luar. Dia hanya akan berada di sini karena kakaknya telah membuatnya pingsan dan menculiknya.

“Jangan berkata seperti itu, Sofia pasti sudah puas bersenang-senang di luar sana dan ingin bertemu dengan keluarganya lagi, dia merindukan kita,” Paman Andrea menyela.

“Hmph, bersenang-senang apanya… dia hanya melawan perintahku,” ayah menyantap lebih dulu makanan yang sudah tersedia di atas meja.

“Hush, hiraukan saja ayahmu,” seorang wanita berpenampilan sederhana bersuara. “Mau ibu ambilkan makanannya? Mau ya,” tidak memedulikan responku, ia langsung mengambil makanan dan meletakkannya ke atas piring putih. “Makan ini, makan banyak-banyak, ibu lihat kau semakin kurus,”

Aku menatap lenganku. Apa iya? Padahal keluarga asliku selalu menganggapku gemuk. Kedua tanganku menerima uluran piring dan meletakkannya di atas meja, kini menatap lama. Suara gaduh dari bibi-bibi dan paman-paman yang berbicara tentang urusan bisnis kini semakin memudar di telingaku. Aku lapar.

Kuangkat lagi kepalaku dan kulihat meja yang sudah mulai terisi penuh, kecuali satu kursi di sampingku. Tampaknya tidak ada yang mau ataupun berhak menempati tempat itu. Kursi yang diletakkan tepat di samping kanan istri dari kepala keluarga D’Angelo, yang berarti siapapun yang akan duduk di sana adalah orang yang sangat penting. Tamu kehormatan.

“Kursi kosong ini apa ada yang menempati?” aku menyenggol lengan Matteo dan bertanya pelan. Pria itu mengangguk kecil.

“Ada, Nicolas Romano namanya,”

“Nicolas Romano? Aku tidak pernah mendengarnya, bisa tolong jelaskan? Aku sedikit penasaran kenapa dia tidak datang tepat waktu,”

“Hahh…” Matteo menghela napas. Sepertinya dia sudah lelah mendengar rentetan pertanyaan dariku. Tapi apa kalian bisa menyalahkanku? Aku punya tendensi membuat orang lain kesal sampai kepala mereka meledak, ini sudah menjadi keahlianku. “Kau ini kenapa ingin tahu sekali sih? Kalau dia tidak datang ya biarkan saja, dia terkenal arogan, jadi walaupun sudah dapat undangan sekalipun itu dari presiden, kalau dia tidak mau datang ya tidak datang.”

Mudah sekali cara berpikir si Nicolas Romano ini. Tebakanku adalah dia orang yang lumayan dihormati. Mungkin saja si Nicolas ini adalah pria tua berbadan bungkuk yang sudah tidak kuat lagi berjalan, makanya dia tidak datang.

Aku memasukkan pasta bolognese ke dalam mulutku. Tidak perlu menghabiskan banyak waktu, aku sudah sangat lapar. Saat aku masih terlalu fokus menikmati makan malam, kudengar langkah kaki muncul dari depan. Aku menatap sosok yang melangkah mendekat. Pria itu berdiri dalam balutan jas formal seperti pria-pria lain yang tengah duduk. Matanya tajam dan ada jambang yang membingkai wajahnya. Rambutnya pendek dan bergelombang. Selain memiliki tatapan menusuk dan menyeramkan, tubuhnya juga jangkung dan besar, ia bahkan jauh lebih tinggi dari orang-orang tinggi yang sudah pernah kutemui.

Suara yang sebelumnya masih sibuk berbincang seketika diam. Seakan-akan sebuah angin datang membawa suara mereka pergi. Suasana terasa hening dan langkah pria tidak bernama itu semakin berat. Ia mengambil kursi dan duduk tepat di seberangku tanpa berkata apapun.

Nicolas Romano.

Pria ini yang bernama Nicolas Romano? Jadi dia bukan pria uzur kaya raya seperti yang kubayangkan? Oh! Oh…

“Oh,” gumamku.

Aku menoleh untuk melihat Matteo. Baru saja menarik napas, ia memotongku dengan mengatakan. “Akan kubuang mayatmu ke dasar danau jika kau bertanya lagi, jangan buat aku menyesal telah menjadikanmu pengganti Sofia,”

Hei, aku tersinggung! “Seharusnya kau sudah menyesal menculikku dari awal,”

Aku kembali melanjutkan makan malamku, tidak lagi menghiraukan pria di samping. Pria itu tampan, sekilas memang menakutkan, tapi tampan. Mataku tidak pernah berbohong. Perawakannya seperti pria yang selalu jadi protagonis dalam bukuku. Kupandangi dia untuk beberapa saat sebelum matanya menatapku balik, membuatku segera mengalihkan pandang pada piring berisikan pasta di atas meja.

“Ibumu tidak pernah mengajarkanmu untuk tidak memelototi seseorang?” suara beratnya memecah sunyi seisi meja.

Aku lantas mengangkat wajah. “Kau bicara pada siapa?” tanyaku lancang.

“Jaga ucapanmu!” samar suara kecil Matteo terdengar akan segera menangis. Aku hanya memandangnya dengan kesal sebelum berpaling pada Nicolas. “Tuhan, aku berdoa padamu dan semua yang mendengarkan…” kudengar Matteo mulai memanjatkan doa, dua tangannya mengatup di depan dada.

“Oh,” sebelah alisnya naik ketika ia dengar suaraku. Kemudian matanya menajam. “Ada yang aneh,” bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, tangan menyentuh dagu untuk sesaat. Matanya seperti mengawasiku, melihat setiap gerak-gerikku. Tapi untunglah fokusnya segera berpindah pada Tuan D’Angelo yang mulai membahas strategi penjualan narkoba. Tunggu, narkoba?

Kepalaku menoleh cepat. Apa ini sesuatu yang normal dibahas saat makan malam? Kutatap Matteo, tapi dia bahkan tidak mau melihatku sama sekali. Sial. Ia mencampakkanku begitu saja. Kini yang terdengar hanya dentingan peralatan perak di atas meja makan serta suara berat kepala keluarga D’Angelo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status