Share

Bab 6 l Talak!

"Aku ... Hah ...."

Arta menggantung ucapannya lalu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah sambil membuang nafas kasar. Seketika Ayla merasakan sesak di dadanya saat melihat sikap sang suami. 'Harusnya tidak seperti ini,' batin Ayla. 'Tapi kenapa ekspresinya terlihat begitu kacau?' batinnya lagi.

'Tidak. Bukan soal ibu, aku tahu seperti apa pun masalah yang bersangkutan dengan ibu, Mas Arta selalu mencari solusi padaku. Tatapannya selalu lembut dan penuh harap. Tapi ini lain.' Ayla terus bermonolog di dalam hatinya. Pikirannya berkecamuk atas segala praduga yang dia kira-kira.

"Ada apa Mas?" tanya Ayla pada akhirnya.

Suaranya terdengar lembut, dan seolah penuh ketenangan. Berbanding terbalik dengan apa yang sebenarnya Ayla rasakan. Meski begitu, jemarinya yang tak henti bergerak-gerak, adalah sebuah kebiasaan jika ia merasa gugup dan gelisah. Hingga Arta membuka suara, barulah Ayla menatap sang suami yang ternyata tengah menatapinya sejak tadi.

"Sepertinya kita tidak bisa seperti ini terus Ayla."

Deg!

"M-maksud mas?" gagap Ayla.

Ayla hampir saja berteriak namun pita suaranya seolah tercekat. Ungkapan Arta itu bukanlah kemungkinan yang ingin ia dengar. Bahkan ia tak mengira sama sekali bahwa Arta akan mengatakan hal itu. Dia menggeleng mencoba menampik kemungkinan yang ia pikirkan.

"Aku ingin berpisah darimu," ulang Arta dengan kalimat yang lebih jelas.

"Semuanya tidak akan berjalan dengan baik jika terus begini." Arta berbicara tanpa berkedip sama sekali.

"Selama ini aku selalu diam meski mengetahui kau tidak akur dengan Ibu dan Nengsih. Aku selalu merasa yakin kau yang tumbuh mandiri pasti bisa mengatasi semuanya. Tapi ternyata ekspetasiku tentangmu terlalu berlebihan. Kau tega membuat Ibu hingga seperti itu," ujarnya.

Arta berbicara tanpa jeda, seolah enggan Ayla menimpali ucapannya sebelum apa yang ingin ia sampaikan tuntas. Bahkan kelopak matanya yang bergetar, tak ia hiraukan. Seolah jika ia berkedip sekali saja, air mata akan membanjiri pipinya. Meski ucapan Arta yang datar seolah tanpa emosi, namun bagi Ayla malah terdengar seperti guntur di siang bolong diiringi suara petir yang saling menyambar.

"Mas ...." Suara Ayla bergetar diikuti bulir air mata yang tak tertahankan. Ia tahu apa yang membuat Arta ingin berpisah darinya.

"Bukan aku yang melakukannya Mas!" bela Ayla sembari memegangi dada kirinya.

"Ayla, Ibu tidak memiliki masalah dengan siapa pun selain denganmu." Tatapan Arta yang biasanya lembut dan penuh kasih, kini menusuk dan menghujam hati Ayla.

"Padahal jika kau tak melakukan itu, aku akan selalu membelamu. Tapi kau malah tega! Kau wanita yang sangat kucintai dan kupercaya Ayla! Kau!" ucapan Arta terhenti lalu ia mengusap wajahnya.

"Mas-" ucap Ayla sambil menatap nanar wajah Arta.

Ayla terlihat sungguh tersiksa dan tak berdaya. Hingga kata-katanya tak bisa ia lanjutkan. Meski begitu air mata terus mengalir tanpa henti. Ia menatap sendu kepada Arta, berharap sang belahan jiwa mengiba pada dirinya.

"Kau tega meracuni ibu! Memangnya apa yang sudah Ibuku lakukan padamu sampai kau melakukan itu!" bentak Arta sambil memegang erat jemari Ayla.

Meremas nya seolah ingin menyalurkan seluruh perasaan yang ia rasakan pada Ayla. Betapa sakit yang sebenarnya Arta rasakan. Bahkan sebenarnya ia tak sampai hati melihat Ayla bersedih. Arta merasa terpukul dan tak berdaya.

"Mas percayalah," lirih Ayla memelas.

Namun mulutnya terasa kelu. Ayla tak mampu mengatakan apa pun. Hanya bulir hangat yang menjadi saksi bisu tentang perasaan Ayla yang sebenarnya. Namun Arta membuang muka seolah takut air mata Ayla melemahkan niat hatinya yang sudah ia mantapkan.

"Dokter bilang di dalam tubuhnya terdeteksi racun yang kuat dari jamur yang sangat beracun." Arta menghentikan ucapannya sesekali, diselingi helaan nafas yang berat menahan amarah yang bergejolak di dadanya.

"Dan hanya kau yang memasak di rumah. Tidak mungkin Ibu dengan sengaja mengonsumsinya. Bahkan Nengsih bilang kau sudah tahu dari sebelumnya kalo ibu keracunan bukannya kena santet."

"Alasan apa yang bakal kau katakan padaku dengan semua bukti itu?" Arta menatap tajam kedua manik mata Ayla dengan putus asa.

"Mas. Sungguh bukan aku yang memberikannya, aku-"

"Tidak Ayla. Kita harus berpisah. Aku memang mencintaimu. Bahkan sangat mencintaimu. Tapi aku juga tidak mau kehilangan Ibuku secepat ini dengan begitu tiba-tiba," katanya menyela ucapan Ayla.

"Aku bisa merasakan seberapa besar kau membenci Ibu. Meski sudah sering kukatakan bahwa sikap Ibu memang seperti itu, tapi kau tak pernah mau mengerti," tambah Arta tanpa mau mendengar Ayla membuka mulut sama sekali.

Mulut Ayla terkatup rapat, menahan luapan emosi yang hampir membuncah. Terlihat sekeliling mulai ramai pengunjung. Beberapa pelanggan resto bahkan diam-diam mencuri lirik ke arah mereka. Akan sangat memalukan jika Ayla meraung memohon pada sang suami, pikir Ayla.

"Dengan ini ... aku menalakmu Ayla," ucap Arta pada akhirnya.

Jder!

Hujan pun turun setelah gemuruh guntur berhenti menggema. Begitulah badai, selalu datang seolah ingin turut serta mengekspresikan suasana hati mereka yang luluh lantah. Pandangan Ayla mengabur, kepalanya seolah berputar. Namun pertahanan diri Ayla yang bagus, tak membiarkannya kehilangan kesadaran sepenuhnya.

Namun pikirannya seketika hampa. Entah apalagi yang terjadi setelahnya. Yang pasti, saat Ayla tersadar, Arta sudah tak ada di hadapannya. Jika saja tak ada seonggok amplop dengan catatan di atasnya, mungkin saja Ayla akan menganggap semua yang terjadi hanya sebuah mimpi.

Amplop itu berisi segepok uang ditaruh di atas meja di hadapannya. Pasti Arta lah yang meninggalkannya. Namun meski Ayla sudah memastikan bahwa benar isi amplop itu adalah uang, hal itu sama sekali tak menghiburnya. Hatinya tetap terluka.

Note*

"Jangan kembali ke panti asuhanmu yang dulu. Sewa lah tempat tinggal di tempat yang layak."

Sederet tulisan singkat di atas amplop itu terasa menusuk matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status