Share

Bab 5 l Kilas balik.

"Hati-hati Mas, semoga semuanya baik-baik saja," bisik Ayla menenangkan dirinya sendiri.

Rasa hampa seketika muncul menyelinap masuk ke dalam hatinya yang tengah dirundung kegundahan. Kekosongan baginya ternyata lebih menakutkan dari pada rasa ngeri yang tadi ia rasakan saat menyaksikan apa yang menimpa Ibu mertuanya. Bersama suara deru mobil yang kian menjauh, kekhawatiran semakin membesar ia rasakan. Tentang apa yang kemungkinan terjadi nantinya.

Ayla melangkahkan kakinya masuk perlahan ke dalam rumah yang sudah tak asing baginya itu. Rumah yang selama tiga tahun usia pernyakahannya itu sudah menjadi tempat bernaungnya. Atap yang menyelamatkannya dari terik dan hujan. Pada kenyatannya, rumah itu tidak lebih baik dibanding panti asuhan yang menyelamatkannya dari emperan toko saat ia masih kecil dulu.

"Ayla! Nasi abis! Suami mau berangkat kerja malah diam aja!" Lengkingan suara Riya seketika membuat Ayla yang tengah melamun terkejut.

Tubuhnya gemetar, ia yang terbiasa mendapat pukulan di panti jika berbuat kesalahan, membuatnya menjadi orang yang berkepribadian penakut dan pengecut.

Pak!

Tepukan keras dibahunya membuat Ayla tersungkur.

"Ini teflon impor bisa gosong begini kamu apain! Udah gitu digosok sampe lecet semua lagi!" bentak Riya dilain waktu. Sembari melemparkan teflon hitam ke atas lantai.

Prang!

"Emang bego sih emang tuh cewek! Maklumin aja buk! Orang deso!" hardik Nengsih mengompori.

"Ayla masak sambil nyetrika seragam paskibra Nengsih Buk, maaf," sesal Ayla setulus mungkin.

Semua makian, dan perlakuan mereka rasanya masih terus terngiang di telinga Ayla. Saking terasa nyata, ia merasa hampir gila jadinya. Bahkan beberapa pukulan yang pernah Riya lakukan terhadapnya, masih terasa nyeri di bagian tubuhnya. Rasa marah, benci, dan merasa tidak adil bergejolak di dada Ayla.

Semua perasaan negatif itu bergumul dengan perasaan bersalah dan penyesalan yang terakhir ia buat. Meski hanya setitik, Ayla merasa ikut andil dengan apa yang kini menimpa sang Ibu mertua. Secara langsung ataupun tidak, sepertinya, Ayla tak dapat membenarkan dirinya sendiri.

***

Drrt! Drrt!

Sebuah ponsel bergetar, diiringi dering telpon berbunyi setelahnya. Tanpa membuka mata terlebih dahulu, Ayla langsung meraih gawai yang sengaja ia taruh di atas bantal itu. Menguap, menggeliat, ia pun bangkit sekaligus. Saat menyadari bahwa telponnya bernada dering khusus, ia segera menekan tombol hijau lantas mengangkat telepon itu.

"Mas? Bagaimana ibu?" tanya Ayla tanpa babibu.

"Bangun dan siap-siap segera. Mas tunggu di tempat makan biasa. Jangan lama-lama," ucap Arta dengan suara berat.

Mendengar hal itu, Ayla segera beringsut ke tepi ranjang. Tanpa menunggu kantuk hilang, ia pun segera bersiap sembari menempelkan ponsel yang diapit kuping dan bahu kanannya. Namun saat ia berjalan melewati lemari besar bercermin, terlihat sosok dirinya yang lusuh dengan rambut yang kumal lantaran habis menangis semalaman. Ia pun berniat untuk meminta izin membersihkan diri dulu kepada Arta.

"Tapi Mas, aku mandi dulu seben-"

Belum tuntas Ayla mengatakan niatnya namun Arta menyela, "cepatlah," titah Arta dengan suara dingin.

Seketika Ayla tertegun. Dadanya bergemuruh. Belum pernah rasanya sang suami, Arta berkata dengan nada seperti itu pada dirinya. Entah apa yang sudah terjadi tapi Ayla merasa yakin bahwa pasti Nengsih bicara yang bukan-bukan tentang dirinya.

"Padahal aku ingin meminta dijemput. Tapi ... pasti Mas Arta sangat lelah, sebaiknya ku urungkan saja," monolog Ayla.

Gegas ia membasuh muka lalu berganti pakaian seadanya. Memesan ojek online, ia pun segera berangkat setelah memastikan semua aman lalu mengunci pintu. Sambil berjalan, dengan cemas ia berharap semoga tak terjadi hal yang ia takutkan.

"Mas!" seru Ayla sambil berhambur menuju sang suami yang tengah duduk di bangku sebuah restoran tempat biasa mereka sarapan.

Namun ekspresi Ayla seketika berubah saat melihat di hadapan Arta sudah ada piring kosong. Sepertinya ia baru selesai makan. Tiba-tiba ada rasa kecewa menjalar di hati Ayla. Mengingat ia begitu mengharapkan sarapan bersama dengan sang suami setelah beberapa lama.

Namun ia urungkan perasaannya, mencoba untuk berpikir positif. Ia pun menyodorkan lengannya, hendak meraih lengan sang suami untuk menyalami dan mencium tangannya. Namun lagi-lagi Arta hanya terdiam dan malah beralih ke gawai yang ada di genggamannya. Ayla pun tersenyum kecut lalu menarik sebuah kursi.

"Mas Arta pasti lelah dan lapar sekali, ya," ujar Ayla sambil menjatuhkan bokongnya di atas kursi yang berada di depan Arta.

"Aku, pesan dulu ya Mas, aku belum makan dari semalan," ucap Ayla lemah.

"Nanti saja. Cepat duduk," jawab Arta acuh.

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status