Share

Bab 7 l Perasaan Arta

"Jangan kembali ke panti asuhanmu dulu. Sewa lah tempat tinggal di tempat yang layak."

Begitu isi catatan itu. Sebuah ungkapan halus untuk mengusir Ayla dari rumahnya. Ayla pun tersenyum kecut membacanya.

"Apa yang sudah kuperbuat hingga menerima perlakuan seperti ini?" monolog Ayla.

"Permisi mba, restonya sudah mau tutup. Maaf," kata seorang pelayan tiba-tiba.

Memang sejak tadi pun, sang pelayan terus memerhatikan wanita berparas anggun itu. Menerima senyuman tulus sang pelayan, Ayla mengangguk. Ia pun segera berdiri setelah mengemasi barang-barangnya, lalu memasukkannya ke dalam tas selempang kecil berwarna hitam.

"Saya mau tutup karna gak ada pelanggan mbak, biasanya jam 5 tutupnya," tambah pelayan wanita itu seolah menghibur Ayla dan agar tak terkesan seperti tengah mengusir.

Pelayan itu memang menyaksikan semuanya sejak awal. Melihat senyuman miris sang pelayan yang terlihat kasihan pada Ayla. Ayla pun menanggapinya kembali dengan senyuman lantas melengos pergi.

Dengan gontai ia melangkahkan kedua kakinya keluar dari dalam ruangan restoran itu. Namun hujan masih mendera bumi dengan lebatnya. Ayla pun melihat jam di layar ponsel yang ia genggam. Jam 3 lewat seperempat.

'Sepertinya karna hujan makanya tak ada pengunjung lagi,' batinnya sembari mengedarkan pandangan. Barulah ia menyadari bahwa hanya ia pelanggan yang tersisa di resto itu.

"Hah ... Entah apa yang harus kulakukan," monolognya.

Diedarkannya pandangannya, melihat sekeliling, hendak menerjang hujan. Namun saat kaki kanannya ia angkat untuk bersiap berlari, tetiba seorang yang ia kenal berdiri di hadapannya dengan sebuah payung di genggamannya.

"Ayla?"

***

Arta terus melajukan mobilnya tanpa arah atau pun tujuan. Beberapa kali ia hampir saja menabrak pengendara jalan lain lantaran melamun saat berkendara. Hingga bahan bakar mobil itu habis, barulah mobilnya berhenti. Entah dimana, atau sejauh apa ia berkendara, yang pasti sudah hampir 3 jam ia mengemudi.

"Hah ...."

Arta menghela nafas frustrasi lalu menekan setirnya dengan kening yang ia tumpukan pada kedua punggung tangannya. Tanpa bisa ia lampiaskan lagi, air matanya pun tumpah. Arta pun berteriak sekeras yang ia bisa. Meraung seperti seorang bocah yang tengah tantrum karena merajuk.

Tentu saja ia melakukan itu karna menyadari bahwa tak ada sesiapa pun di dekat sana. Jangankan manusia, binatang pun tak ada. Semua mahluk berlindung dari serbuan hujan yang sangat lebat, juga angin dan guntur yang masih terus saja saling bersahutan.

"Adilkah ini ya Tuhan?" monolognya pada akhirnya.

Betapa Arta sangat menyesal sebenarnya karna sudah menalak Ayla. Namun, keinginan sang Ibu adalah yang paling utama. Meski ia merasa yakin Ayla tak bersalah, namun bukti dan kesaksian sang adik sangat kuat untuk menyudutkan Ayla. Arta tak mau mengambil resiko untuk keselamatan sang Ibu, seberapa pun cintanya ia pada Ayla.

Saat tengah meratapi nasib pernikahannya yang seketika kandas karenanya, ingatan Arta kembali saat berada di Rumah sakit tadi malam. Berjam-jam ia menunggui sang Ibunda dalam masa kritisnya. Tak sedetik pun ia memejamkam matanya atau sekedar duduk beristirahat. Hingga dokter datang dan menjelaskan semuanya, barulah Arta ambruk terjatuh.

Arta merasakan kengerian menyadari sang Ibu telah mengkonsumsi racun yang sangat berbahaya. Ia juga merasa lega lantaran masa kritis Riya sudah berlalu. Arta pun berinisiatif ingin memberitahu sang istri, ia hendak menghubungi Ayla atas kabar gembira itu. Namun belum selesai kelegaan ia rasakan, tetiba Nengsih datang menghampirinya dengan kabar yang bahkan lebih buruk dari sebuah kesakitan.

"Mas. Aku melihatnya. Kak Ayla memasak jamur itu untuk Ibu selama seminggu ini. Jika saja aku ikut memakannya, mungkin nasibku akan sama dengan Ibu. Untungnya aku tak suka makanan itu," adu Nengsih sesaat setelah dokter menjelaskan kondisi Riya pada Arta.

"Jangan asal bicara kamu. Kakak tahu kau ini memang selalu iri pada kakak iparmu," timpal Arta dengan nada marah.

"Terserah kalo kakak tidak percaya. Aku mengatakan yang sebenarnya," jawab Nengsih acuh tak acuh.

'Benar, Ayla selalu mengabariku apapun yang ia lakukan. Dan memang benar. Ayla memasak jamur beberapa hari terakhir,' batin Arta.

Arta kembali menatap Nengsih untuk memastikan kebenarannya. Saat melihat ekspresi Nengsih yang bersungguh-sungguh, Arta seolah merasa ada benarnya yang Nengsih katakan. Ia pun termangu dengan tatapan kosong.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status