Lorenzo menyeringai, tapi sebelum ia sempat bekasi lebih jauh, Jessica dengan gerakan yang tampak disengaja menumpahkan jus jeruknya di atas meja. Cairan oranye pekat itu membasahi kaus Ella dan sebagian celana Lorenzo. Ella menjerit kecil, tubuhnya tersentak. Ia refleks bangkit dari pangkuan Lorenzo, wajahnya meringis jengkel melihat noda yang kini menghiasi sebagian pakaiannya. Menempel lembab di kulitnya. Sedangkan Lorenzo, menatap tajam Jessica. “Ups, maaf, aku tidak sengaja!” seru Jessica dengan ekspresi panik yang dibuat-buat. Matanya mengerling pada Lorenzo. “Kau tidak apa-apa?” Jessica menatap Lorenzo panik, seolah pertanyaan itu hanya ditujukan pada Lorenzo, sengaja mengabaikan Ella. Nada kekhawatiran dalam suaranya Jessica membuat Ella mual karena suaranya terlalu lembut, terlalu dibuat manis. Tanpa menunggu jawaban, Jessica langsung bergegas mengambil tisu dan mulai mengusap noda di celana pria itu. Tangannya berlama-lama di paha Lorenzo lebih dari yang seharusnya. El
Ella terbangun karena alarmnya, matanya masih terasa berat untuk terbuka. Tidurnya cukup larut semalam. Setelah mematikan alarm, ia mengusap wajahnya pelan. Sejenak terdiam sambil memandangi langit-langit kamar, membiarkan matanya beradaptasi dengan cahaya pagi yang menerobos dari hordengn tipis. Dengan lesu ia medukkan dirinya, mengikat asal rambut kemudian bangkit. Melangkah lunglai ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Suara perutnya memecah keheningnya, Ella mengusapnya. Perutnya menuntut asupan karena semalam ia tidak makan dengan baik. Ia bergegas turun ke ruang makan. Samar-damar ia mendengar suara bising dari ruang makan. Sesampainya di sana, ia melihat beberapa maid sedang menata sarapan di atas meja. Ia juga melihat Jessica di sana. Wajahnya tampak segar kontras dengan penampilan Ella yang berantakan. Wanita itu meliriknya, lalu menyunggingkan senyum ramahnya. “Hai, Ella, mau sarapan? Maid sudah buatkan sarapan untuk kita.” Ella mengernyit, keramahan Jessica terlih
Kecupan singkat mendarat di kening Ella. “Berhenti overthinking, Ella, berhenti menyakiti kepalamu,” ucap Lorenzo lembut seolah menenangkan isi kepala Ella yang semrawut. “Istirahatlah,” lanjutnya kemudian mundur, menatap wajah Ella yang masih memerah. Setelah mengatakan itu Lorenzo keluar dari kamar Ella. Ia menuruni tangga dengan langkah yang berat seolah obrolan mereka masih membebaninya. Ia berjalan menuju pantry. Menuangkan wine ke gelas kristal. Duduk dengan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Telinganya samar-samar mendengar suara langkah kaki mendekat. Jessica muncul dengan gaun tidurnya yang sangat terbuka, sengaja memamerkan lekuk tubuhnya. Senyum menggoda terukir di wajahnya yang cantik. “Kau belum tidur?” tanya Lorenzo datar, meliriknya sekilas kemudian kembali meneguk minumannya. Gadis itu duduk di sebelah Lorenzo, tangannya mengusap lembut otot-otot lengan Lorenzo. Sentuhannya sangat menggoda. Pria itu tidak menepis, tapi terlihat acuh tak acuh. “B
Malam telah menyelimuti kota ketika Ella kembali ke penthouse. Jessica menemaninya makan malam. Beruntung kali ini Jessica tidak banyak bicara. Meskipun begitu, ia tetap tidak bisa menikmati makan malamnya, ia tidak nafsu makan. Jessica beberapa kali meliriknya heran karena Ella hanya mengaduk-aduk makanannya dan wajahnya terlihat melamun. “Kau tidak suka makanannya?” tanya Jessica membuat Ella mengalihkan pandangannya. Gadis itu menghela napas. Makananannya terasa hambar. Di saat seperti ini, Ella merindukan masakan Karen. Ia merindukan orang tuanya. “Aku sudah kenyang, aku ingin istirahat,” katanya kemudian beranjak ke kamarnya. Ia duduk termenung di tepi ranjang. Masih memikirkan dengan kata-kata Alfonso untuk menikmati hidupnya yang tidak bertahan lama. Ia harus memikirkan dirinya sendiri. Itu artinya ia tidak seharusnya memikirkan kesembuhan Daren atau cara kabur dari Lorenzo. Alfonso benar, ia berhak bahagia dengan atau tanpa penyakitnya. Ia tidak boleh hidup pasr
Mata Ella berkedip, secercah cahaya putih terasa menyilaukan membuatnya kesulitan membuka mata. Bunyi elektrokardigraf mengalun lembut di telinganya diikuti oleh aroma antiseptik yang menyengat hidungnya. Kepalanya terasa berat. Ia memperhatikan sektitarnya, menyadari bahwa dirinya tidak berada di penthouse, tapi di ranjang rumah sakit. Selang infus menusuk di lengannya yang pucat. “Bagaimana keadaanmu?” Suara bariton Lorenzo membuatnya menoleh dengan lemah. Pria itu duduk di kursi samping ranjangnya, tangannya menggengam erat tangan gadis itu. Matanya yang tajam itu sekilas terlihat melembut saat melihat kerentanan Ella. “Kau benar-benar membuatku ketakutan,” bisiknya dengan suara parau. Suaranya sedikit bergetar. Nada yang hampir tidak pernah Ella dengar dari pria yang tegas sepertinya. “Tidak sadarkan diri berjam-jam, kau membuatku tidak bisa bernapas dengan baik, Ella.” “Ocehamu tidak akan membuat keadaanku lebih baik, Lorenzo,” balas Ella dengan suara serak, nyar
Langkah kaki Lorenzo mengalun tegas keluar dari pintu lift, memasuki penthouse. Tangannya bergerak cepat melepas kancing jasnya kemudian meletakan jas tersebut di atas sofa ruang tamu. Matanya melirik Jessica yang sedang duduk di sana. Wajahnya kaku, tatapannya dingin saat menatap wanita itu yang mendekat padanya dengan senyum manisnya. “Ella di mana?” tanyanya datar sembari melepaskan dasinya. “Di kamarnya,” balas Jessica singkat, tangannya terulur hendak membantu Lorenzo melepaskan dasinya. “Tidak perlu,” sergah Lorenzo tegas sambil menepis tangan Jessica. Jessica mendengus pelan, sedikit tersinggung. Namun, ia masih memaksakan senyum manisnya. “Ngomong-ngomong tentang Ella, dia—” “Nanti saja bicaranya,” potong Lorenzo sembari melangkah meninggalkan Jesica. Wajah Jessica berubah kecewa dalam sekejap. Ia memperhatikan Lorenzo yang menaiki anak tangga dengan tangan terkepal. Pria itu menaiki tanga dengan langkah yang lebar-lebar, seolah terburu-buru. Tangannya sibuk m
Ella menggaruk pelipisnya, memutar bola mata jengah. “Apa yang dia inginkan dari kehidupan seseorang yang sebentar lagi akan mati?” batinnya membalas. Ia menarik napasnya lelah. Perubahan emosi yang drastis ini membuatnya pusing. Terlalu banyak hal menyebalkan dalam satu hari. Kesabaran Ella telah mencapai batasnya. Rahangnya mengetat. “Hubunganku dengan Lorenzo itu bukan urusanmu. Tutup mulutmu itu dan keluar dari kamarku,” perintah Ella ketus kemudian menutup pintu tepat di depan wajah Jessica. Ella bersandar pada pintu kayu itu, sembari menarik napas dalam-dalam. Ruangan terasa sunyi, tapi menenangkan. Namun, beratnya ucapan Jessica masih tertinggal di sini. Lorenzo bukan orang mudah jatuh cinta. Itu membuatnya menyadar bahwa selama ini Lorenzo juga tidak pernah mengatakan bahwa pria itu mencintainya. Dia hanya mengklaim bahwa Ella miliknya tanpa benar-benar memberitahu Ella mengenai perasannya. Ella mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan itu. Semua mengenai Loren
Rahang Lorenzo mengetat, matannya menggelap. Tangannya kini mencengkram paha Ella seolah memberi Ella peringatan untuk tidak menguji batas kesabarannya. Ella meringis, kemudian menarik napas dalam, mengumpulkan ketenangannya. Ia meletakkan kedua tangannya mencengkram bahu Lorenzo, menegaskan bahwa ia punya hak untuk bicara. Sambil terus mempertahankan kontak mata dengan Lorenzo. “Kau pria dewasa yang sudah tidak perlu lagi diajarkan tentang batasan, tentang benar dan salah. Jika memang kau menghargaiku, jika memang hubungan ini berarti untukmu maka tunjukan, Lorenzo,” jelasnya tegas. “Teruskan jika kau merasa apa yang kau lakukan itu benar, aku tidak melarangmu. Namun, jangan harap standar yang berbeda untukku. Aku akan melakukan apa yang kau lakukan kepadaku.” Ekpresi keras di wajah Lorenzo berubah. Cengkraman di paha Ella melemah. Mata Lorenzo yang tajam menyipit, sekilas terlihat terkejut. Ella seolah membalikkan situasi, memojokkan Lorenzo. Dominasi Lorenzo mengabur di hadapa
Austin, Texas, Amerika Serikat Mobil SUV hitam itu membelah keramaian kota menuju penthouse Lorenzo setelah mendarat di Texas. Langit sudah gelap saat mereka tiba. Di dalam, Ella duduk membisu, tangannya digenggam erat Lorenzo seolah jika genggaman itu terlepas, Ella akan hilang dalam sekejap. Suara bariton Lorenzo memenuhi ruang mobil. Sibuk berbicara melalui sambungan telepon dengan bahasa Italia yang tidak Ella mengerti. Selama perjalanan, mata gadis itu menatap keluar jendela. Tempat ini, menyimpan banyak kenangan masa lalu mereka. Tempat yang mempertemukannya dengan Lorenzo. Mobil memasuki parkiran basemant VIP. Perjalanan dilanjutkan dengan lift pribadi yang hanya bisa diakses dengan kartu dan sidik jari Lorenzo. Lift meluncur naik ke lantai paling atas. Tangan Lorenzo merengkuh pingang Ella posesif. Merapatkan tubuhnya pada Ella hingga dadanya menpempel pada punggung gadis itu. Panas tubuh Lorenzo membakar punggungnya. “Kau cukup pendiam malam ini,” celetukny