“Nggak nyangka aku bisa dibuat ketawa seperti ini. Manda Adinata. Besok bakal seperti apa ya dia?” Raffael tergelak di dalam mobil setelah Manda menutup pintunya.
Sementara mobil sedan hitam itu melaju meninggalkan kediaman Manda, gadis yang pulang dengan wajah kusut itu mendapat tatapan penuh perhatian dari sang ibu.
“Manda, wajahnya kesal banget kayaknya?” sapa ibunda. “Ada apa, Nak? Apa pekerjaan kamu nggak berjalan baik?”
Manda menggeleng. “Nggak, Ma. Manda nggak apa-apa. Manda udah makan, jadi langsung ke kamar ya.”
Tak ingin menambah beban putrinya, wanita tua itu membiarkan saja Manda melakukan apa yang diinginkan.
Sampai di kamar, Manda tidak langsung mandi. Ia menghubungi Yuike dan menceritakan kejadian gila hari ini.
“Mampus nggak sih kamu, Nda?! Kau bakal sekantor sama dia. Bahkan dia bos besarmu!” komentar Yuike, ikut panik. “Mending kamu cari kerjaan baru. Aku bantuin.”
Manda menganggukkan kepalanya walau Yuike tak bisa melihat. “Benar. Sebaiknya aku segera mengundurkan diri. Ya sudah aku mau mandi terus cari kerjaan di website.”
Setelah saling mengucapkan salam penutup, Manda segera memutus sambungan telepon dan menenangkan diri dengan mandi.
Hingga terlelap sudah ada 10 perusahaan yang Manda pilih untuk coba melamar.
Keesokan paginya. Di kantor Djaya Tambang.
“Korupsi waktu lagi?” tegur Raffael yang sudah ada di depan lobi kantor.
Manda tertegun menatap atasan barunya itu. “Ma–maksud Bapak gimana? Saya nggak datang telat kok.”
“Kerja jam 8 itu bukan sampai meja jam 8, Nona. Apa saya harus menjelaskan hal dasar seperti ini?” keluh Raffael dibuat-buat. “Sudah, masuk ke mobil!”
Manda mengerutkan dahi “Ha?! Tapi saya kerja di lantai 2—”
“Jangan membantah!” potong Raffael.
Kemudian ia mendorong Manda menuju mobil putih susu bermerek Helvire yang sudah siap di depan lobi kantor. “Masuk ke mobil saya sekarang! Saya ada kerjaan di luar.”
Walau tak bisa melawan, Manda berpikir kalau ia berhak mendapat penjelasan kenapa harus mengikuti keinginan sang presdir. “Tapi ini nggak ada di dalam daftar tugas saya, Pak.”
“Kamu konfirmasi saja dengan Elena soal tugas dan pekerjaan kamu. Saya malas jelaskan.”
Manda terdiam. Ia pun segera mengirim pesan pada ketua sekretaris, menanyakan status dan tugas terkait dirinya.
Tak lama sebuah pesan balasan ia terima dari Elena.
Bu Elena: Kemarin sore, Pak Raffael diminta memilih sekretaris pribadi dan dia milih kamu, Manda.
Bu Elena: Nanti saya perbaharui lagi tugas dan tanggung jawab kamu sebagai sekretaris pribadi presdir. Juga ada penyesuaian gaji dan tunjangan.
Seperti tertimpa besi berat, kepala Manda mendadak pusing membaca dua pesan dari Elena. Badannya terasa ringan, seolah kesadarannya menurun.
“Saya … sekretaris pribadi bapak?” tanya Manda, berharap Raffael akan memberi jawaban negatif.
Namun, sang atasan tersenyum puas. “Seperti itulah. Jadi, kerja yang benar ya kamu.”
‘Bisa gila aku punya bos kayak gini.’ Manda meratap dalam hati.
Ia hanya bisa berharap ada lamarannya yang diterima di perusahaan lain. ‘Setidaknya, semoga hanya seminggu lagi aku perlu bertahan. Kuharap Ike juga dapat kerjaan baru buatku.’
Terpaksa menerima semua keputusan Raffael, Manda merelakan saja dirinya kini sebagai sekretaris pribadi orang itu. Ia kemudian teringat barang yang harus ia serahkan pada sang presdir.
“Oh, ya. Ini buat Bapak.” Manda menyerahkan sebuah tas kertas pada Raffael.
Pria itu terkejut karena mengira sekretarisnya sedang memberi hadiah. “Heee …, apa ini? Apa kamu sedang merayu saya? Saya nggak akan mudah dirayu.”
Kening Manda berkerut tak paham dengan kalimat yang diucapkan Raffael. Tapi tidak salah kalau ia berharap dengan ini, Raffael bisa sedikit bersikap baik padanya.
Netranya Raffael membulat ketika ia melihat apa isi tas kertas itu. “Ini ….”
“Kemeja bapak kemarin.” Manda melanjutkan ucapan Raffael yang menggantung. “Ya, saya mencoba merayu bapak supaya mau mengurangi utang saya, Pak.”
Menutupi rasa kecewanya, Raffael membuang muka. Kesal. ‘Sial! Buat apa juga aku berharap dia kasih hadiah?!’
“Jadi, utang saya boleh dikurangin ya, Pak?” tanya Manda lagi dengan penuh harap. “Kemejanya udah saya balikin. Udah saya cuci bersih, sih, sih! Saya cuma minjem kemarin, Pak.”
“Nggak!” Raffael mengembalikan tas kertas itu pada Manda. “Saya nggak suka pakai barang bekas. Ini bukan punya saya.”
Manda mengerucutkan bibirnya menatap bungkusan yang kembali di atas pangkuannya. Sebuah ide kemudian terlintas.
“Kalau begitu saya jual boleh ya?”
Netra Raffael membulat kaget mendengar niat Manda. Dengan cepat ia berkata, “Terserah saja. Saya bisa lakukan penyelidikan dan kamu bisa kena pasal memperdagangkan barang curian.”
“Ha?!”
Hai! Romero Un menyapa!Novel ini akhirnya tamat ya ^_^Terima kasih buat para pembaca yang mendukung novel ini sampai selesai. Terima kasih juga untuk pembaca yang sudah memberikan komentar dan hadiah. Sampai ketemu di novel selanjutnya ya!Sayonara!
“Bos, sudah keluar hasilnya.”Bintang mengangguk. Ia segera mengecek hasilnya dan menemukan komposisi larutan yang tertulis dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Ia pun langsung memberitahu Dennis. “Segera suruh Luna menemui dokter Gilian. Kuharap belum terlambat memperbaiki pita suaranya.”“Black, tangkap Kanya dan 2 temannya. Bawa mereka ke kapten. Aku sudah malas mengurusi mereka.”“Baik, Bos!”Sepeninggalan Black, Bintang langsung menyandarkan kepala, sambil memijat-mijat dahinya yang mulai pusing. Dengan posisi tak berubah, ia mencoba meraih gagang telepon dan menghubungi Tiara. “Auntie, tolong ke ruanganku.”2 menit setelahnya, Tiara sudah duduk di hadapannya. “Ada apa, Pak Bintang?”“Aku mau keluarkan berita dan juga peraturan baru.”Sang sekretaris senior itu mengangguk.‘Apa ini masalah artis Luna itu? Kurasa memang sudah keterlaluan sekali Kanya itu.’ Tiara membatin, sementara tangannya membuka laptop di pangkuan.Dalam berita internal itu, Bintang menjelaskan perka
“Oh! Lex, aku cari kamu. Ayo, ikut!”Bintang mengambil kesempatan untuk lepas dari Kanya. Ia segera pamit, menggeret adik perempuannya bersama. “Kau dikerjai si Kanya?” tanya Alexa setelah mereka cukup jauh dari target pembicaraan.Bintang menggeleng. “Sepertinya dia nggak suka dengan Lia dan membuat skandal untuk menghancurkan karir Lia sebelum debut.”Alexa mengerutkan dahi. “Kukira sasaran Kanya si Luna. Dia sering banget dipanggil Kanya sebelum latihan mulai. Dan pagi ini Luna kena marah karena suaranya tiba-tiba hilang.”Kali ini dahi Bintang yang berkerut tak mengerti. “Kenapa kau diam saja? Kanya sepertinya bukan perempuan yang baik, Lex. Hati-hati.”Alexa mendengus geli. “Siapa yang berani denganku?!”“Jadi, ini yang kemarin kakak tanyain ke aku? Skandal itu disengaja oleh Kanya?” Alexa kembali bertanya. Kepala Bintang bergerak naik-turun. “Kebetulan aku melihatnya.”Mereka terdiam sesaat, sebelum akhirnya Bintang memutuskan untuk pergi menemui Dennis. “Kau juga hati-hati. A
“Aku nggak peduli.” Bintang membalas pertanyaan Adelia dengan pernyataan keras kepala. “Kita bisa menyembunyikan pernikahan ini, untuk sementara.”“Buat apa?” tanya Adelia tak mengerti. “Kalau aku menikah, aku ingin bisa menceritakannya pada semua orang.”Mendengar itu Bintang tak bisa berkelit. Ia tak menyangkal. Mungkin dirinya yang paling sulit untuk menyembunyikan hubungan mereka. Bahkan sejak awal, dirinya lah yang tak bisa menahan diri untuk mengumbar kedekatannya dengan Adelia. “Tapi kalau tunangan, kurasa aman. Gimana?” usul Adelia yang merasa bersalah setelah pertanyaannya tadi. Bagaimanapun, saat ini, seorang CEO besar melamarnya. Dia, yang hanyalah seorang gadis biasa.Namun, Bintang menolak usulannya. “Aku ingin menikahimu karena aku mau semalam-malamnya kamu pulang, aku ada di rumah.”Wajah Adelia bersemu merah. Sebuah senyum tak sadar terbentuk di sana. “Hanya karena alasan itu?” gumamnya tak percaya.“Itu bukan ‘hanya’, My dear.” Bintang memeluk tubuh sang kekasih er
“Bos, Regan mengitrogasiku. Sepertinya Bos Raffael mencari Anda.”Black melapor pada Bintang, tepat di saat ia yakin kalau Adelia sudah masuk ke kamar mandi hotel. Ini adalah hari kedua Bintang dan Adelia berada di hotel. Seharian kemarin mereka menikmati renang dan layanan spa dari hotel itu. Dan pagi ini, seperti yang sudah ia perkirakan akan terjadi. Foto dirinya melangkah keluar dari apartemen para artis RAFTEN sambil merangkul seorang perempuan tak dikenal, menghiasi halaman depan media berita artis ibukota.Tentu saja, Raffael dan Manda akan marah besar, mengira bahwa putranya berselingkuh di belakang Adelia. “Mereka pikir Anda membalas dendam atas skandal Nona Adelia.”“Ah ….” Bintang terkekeh geli dengan tebakan orang tuanya. “Aku mematikan ponselku. Kau saja yang beritahu mereka kalau foto itu adalah fotoku dengan Lia.”Black mengangguk. “Baik, Bos.”“Tapi, jangan kasih tahu kami di hotel ini,” tambah Bintang, mengingatkan. “Aku dan Lia sedang liburan.”“Siap, Bos!”Sege
Ha! Ha! Ha! “Pertanyaan dari mana itu?” Bintang tergelak mendengar kenyataan bahwa Adelia tak merasakan cintanya.CEO RAFTEN bahkan tak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya, karena sudah membuat Adelia bertanya demikian. Cinta yang ia berikan sepertinya tidak nyata. Seperti apa kata sang ibunda. Hambar.“Kau nggak tahu saja, tiap malam aku datang ke sini. Tapi kau nggak pernah ada.”Netra Adelia membulat kaget. “Bohong! Aku nggak pernah ketemu kamu! Nggak pernah ada tanda-tanda kamu mengunjungi apartemenku.”Bintang mengecup bibir sang kekasih, singkat. Kemudian berkata, “Aku malas kalau harus mengakui perbuatanku. Jadi, terserah kamu percaya atau nggak. Aku nggak masalah, Lia.”Melihat Bintang tidak bersikeras membuktikan ucapannya, Adelia memutuskan untuk percaya. “Terus, kenapa kau ke apartemenku nggak bilang-bilang?” tanyanya heran. Bibir Bintang bergerak ke kanan lalu ke kiri, menimbang apa juga yang membuatnya datang ke apartemen Adelia.“Awalnya mau kasih kejutan. Tapi