Dua hari libur, rasanya cukup bagiku untuk menyembuhkan luka kaki. Karena kalau kelamaan, bisa disebut songong nanti.Masa, baru saja jadi staf liburnya sudah kayak Bos besar. Bisa-bisa Pak Ridwan berubah jadi Hulk kalau aku minta ijin lagi. Awalnya Mas Al bilang, biar dia yang meng-acc langsung, tapi kan, kok rasanya kayak enggak ada akhlak, ya? Berasa nepotisme gitu.Mentang-mentang jadi istri Bos, jadi mudah mengajukan libur? Eh, tapi, siapa juga yang tahu di kantor selain Pak Ridwan, kalau aku istri Bos?Masa hantu? Ya kali, kalau hantunya datang di acara akad kami yang rahasia itu mah. Bisa jadi."Fey! Hey, Fey!" Suara seseorang mengagetkanku yang sedang melamun sepanjang jalan menuju ke arah lift.Aku berhenti dan memutar langkah, mengarah ke sisi kanan. Bibirku langsung tersenyum lebar kala kulihat siapa yang memanggilku."Geaaaaa!" teriakku membahana plus norak.Ternyata bukan hanya aku saja yang bahagia, Gea pun sama. Sekali pun kami sering bertengkar tapi kalau sehari saja e
Mas Al itu tipe lelaki yang banyak ide dan rencana yang tak terduga. Kadang dia merencanakan A, kadang B dan kadang-kadang suka enggak masuk di akal. Namun, anehnya, berkali-kali pun aku dijahili. Kok, rasanya aku enggak kapok, ya? Malah aku suka senyam-senyum sendiri, jika mengingat semua tingkah 'absurd' suamiku.Buktinya saja, seperti tadi tanpa kuduga, dia tiba-tiba saja memelukku udah gitu di depan Bu Ana dan Yura lagi. Kan, asem!Lalu, sekarang? Dia sama sekali tak melepaskan genggamannya di tanganku. Dia seakan takut kalau aku kabur dan meninggalkannya.Padahal, aku mau kabur ke mana? Orang belum gajian.Mendapati perlakuan manis yang overdosis ini, harus diakui aku semakin galau.Di satu sisi aku diam-diam merasa senang dan dadaku bergetar hebat kala untuk pertama kalinya, dia menggenggam tanganku erat tapi di sisi lain aku merasa tak enak hati karena sejak tadi Bu Ana menatapku tajam tanpa berkedip.Ah, seandainya wanita setengah baya itu tahu, aku pun tak mau ada di sini.Wa
POV AlAku memandang layar infokus tanpa minat. Info mendadak dari Gea tentang Yura yang mengajak bicara gadis ceroboh itu telah mengganggu pikiran.Sekali pun, orang-orang di depanku terus saja mengoceh mengenai penjualan yang naik. Dada ini masih saja tak lega.Berkali-kali otak ini sudah mencoba berkonsentrasi pada deretan angka dan rapat yang membosankan, nyatanya perasaan tetap mengalihkannya.Sekarang, bayangan Fey bahkan menari-nari di pelupuk mata.Ck! Aneh, padahal belum tentu, akan terjadi apa-apa setelah dia mengobrol dengan Yura. Fey itu gadis yang cukup kuat, walau kadang terlihat butuh pertolongan.Sedang Yura ... agh, aku tahu dia gadis yang tak biasa. Perbuatannya tak bisa terduga, dulu dia hampir saja mau bunuh diri karena tidak mendapatkan nilai A di pelajaran Kimia. Bisa dibilang, Yura adalah ancaman yang tak terdeteksi.Apakah Fey akan baik-baik saja bersama Yura?Sial! Kenapa aku jadi banyak memikirkan Fey? Dia hanya 'istri sementara', bukan? Untuk apa aku bersika
Dari segi mana pun Yura memang cantik, walau agak menyeramkan. Kulitnya putih pucat, rambut keriting bergelombang hitam kecoklatan sepundak. Mata Yura agak sipit, lengkap dengan bulu mata lentik dan panjang.Aku jadi penasaran apakah ini bulu mati asli apa palsu? Tapi, yang kutahu tubuhnya lebih tinggi dan proporsional. Berbeda denganku yang mungil, kurus dengan banyak lekukan menonjol."Kamu, sudah sejauh apa dengan Mas Al?" tanya Yura setelah kami hanya saling pandang setelah lima menit duduk berhadapan.Aku tak menyangka dia mengajakku ke restoran mahal seperti ini. Apa dia ingin menyombongkan diri, kalau dia lebih punya segalanya dari pada aku?"Heum, sejauh apa, ya? Menurutmu gimana?" tanyaku, mengetes Yura.Sepertinya wanita ini punya kepribadian ganda deh, terkadang dia sok ramah, terkadang dia bisa sangat menyeramkan. Seperti sekarang, bahkan langit pun tiba-tiba hujan gledek.Yura tersenyum tipis. Dia menyenderkan bahunya ke kursi restoran dengan sikap jumawa."Menurutku hubu
Aku menarik napas berulang kali sebelum keluar dari kamar mandi. Kumiringkan wajahku ke kanan dan ke kiri, sebagai latihan otot muka dengan raut wajah tanpa dosa.Namun, sayang, sekeras apa pun aku mencoba tetap saja aku malu. Ingin rasanya 'ngumpet' terus di belakang pintu.Membayangkan Mas Al melihat dalamanku saja, hatiku sudah bergetar tak karuan. Bagaimana nanti kalau bertemu?"Tenang Fey, tenang! Tarik napas! Anggap tidak pernah terjadi! Keluarkan dari belakang!" ujarku terus mensugesti diri. Setelah merasa siap, aku pun membuka pintu.Cklek.Kulongokkan kepala lalu dengan heboh menoleh ke kanan dan ke kiri waspada. Tetapi, sejauh mata memandang tak kutemukan wajah Mas Al sama sekali.Eh, kosong? Ke mana dia?Bergegas aku keluar dari kamar mandi dan menutupnya kembali.Fyuh! Untungnya enggak ada.Syukurlah ... aman. Aku pun berjalan mengendap-endap berniat mengambil tas tapi baru saja berniat kabur, sebuah suara berat menegurku."Kenapa buru-buru? Takut ya saya apa-apain?"Mende
Semakin tua umur kita, pastinya kita juga ingin terlihat kalem apalagi kalau ada pasangan. Begitu pun aku, aku ingin terlihat anggun di depan Mas Al. Masalahnya, Emak itu tipe yang heboh kalau ada aku.Orang bilang, like mother like daughter-lah. Jadi, kalau Emak teriak gembira pas ketemu aku, masa iya aku harus standar saja? Enggak nyambung dong.Kayak sekarang. Baru saja aku mengucap salam, Emak langsung membuka pintu dengan gembira."Eneeeeng!""Emaaaak!"Kami sontak berteriak hampir berbarengan lalu berpelukan, saling melepas rindu. Sedang, Mas Al terlihat mengurut keningnya.Entah dia merasa pusing atau mual melihat kelakuan kami. Maklumlah, dia habis menyetir lama. Namun, meski begitu kulihat dia tetap tersenyum melihat pertemuan istrinya yang norak dan Emak.Aku juga heran, kenapa aku bisa senorak ini? Mungkinkah efek sate?"Gimana perjalanannya? Lancar?" tanya Emak."Alhamdullilah, Mak. Macet," jawabku seraya melepaskan pelukan Emak."Euleeh! Pasti capek ya, kalian? Ujang Kab
Di ruang tamu. Mas Al menatap Mang Omod dengan penuh emosi, begitu pun aku. Persis seperti gosip, rentenir itu emang enggak punya aturan, mereka datang seenak udel mereka dan mereka menagih hutang juga enggak tahu waktu.Ini masih gelap loh. Gila apa?Bukannya beraktivitas dengan normal, si rentenir ini malah datang ke rumah kami tanpa permisi. Sampai Mas Al hampir saja tak bisa menahan diri, tapi aku sebisa mungkin mencegahnya."Mau apa kalian?"Mas Al mendengkus ke arah Mang Omod dan dua gundiknya yang berdiri di depan kami dengan wajah sangar. Namun, Mas Al-ku ternyata enggak kalah sangar."Masih nanya? Saya ke sini mau ngejemput calon istri saya!" sentak Mang Omod seraya menunjukan giginya yang kuning.Ampun! Kayaknya tuh gigi enggak pernah disikat sudah setahun. Jijik. Mas Al memintaku mundur, mungkin dia takut akan ada kejadian yang tak terduga."Jangan asal bicara, Anda! Fey ini istri saya, sekarang apa mau Anda? Dan berapa saya harus bayar untuk melepaskan keluarga ini dari ce
Apakah ini rasanya ditembak seseorang? Kok, rasanya ada manis-manisnya gitu. Eh, tapi ini bukan hanya imajinasiku, 'kan?Ah, tentu saja tidak. Ini nyata dan sangat terasa bahwa kalimatnya untuk memintaku tetap bersama, bukan untuk menggodaku seperti biasa.Dia serius dan terlihat tulus, kala meminta kami untuk mencoba lebih dari sekedar pasangan karena perjanjian.Sejujurnya, ingin aku meng-iyakan apa pun yang dia minta padaku di detik dan menit itu juga. Namun, aku tak punya nyali mengkhianati sebuah kepercayaan dan kesepakatan walau harus menyakiti diri sendiri."Kurang apa dia, Fey? Dia udah bantu keluarga lo? Tanpa perlu lo minta, coba pikirkan! Apa susahnya sih, bilang 'iya'?""Susah Gea, susah! Lo gak bakal ngerti begitu juga laki gue.""Iya, kalau gue gak ngerti, jelasin dong!"Masih teringat jelas di benakku, saat aku bertanya tentang pendapat Gea mengenai Mas Al via suara. Aku bilang Mas ingin memperdalam ikatan hubungan ini, tapi aku masih bingung dan membutuhkan waktu.Maka