Hal yang paling gila di hidupku ternyata bukan naik roller coaster atau menunggak biaya kosan selama empat bulan. Hal yang paling gila itu adalah ketika aku disangka hamil oleh ibunya Bosku dan itu menyebabkan aku disidang selama sejam secara eksklusif di dalam ruangan Pak Al, Bosku yang paling aneh sejagat.
Selama aku disidang, tolong jangan berpikir layaknya drama India bahwa masalah akan terselesaikan begitu saja, setelah menari-nari di pohon tinggi dan dalam rinaian hujan.
Tidak! Sama sekali tidak. Wajah Pak Al itu terlalu kejam untuk disamakan dengan Shahrukh Khan mau pun Amir Khan. Buktinya, walau sudah menjelaskan pada Bu Ana bahwa kemarin aku sakit perut karena pengaruh obat dan juga kemarin adalah haid pertamaku setelah tiga bulan enggak haid, Pak Al tetap saja memasang wajah beku berbeda dengan ibunya yang mau mendengarkan penjelasanku dengan wajah yang cukup perhatian.
"Jadi kamu enggak hamil?" ulang Bu Ana menegaskan.
Saat ini dia sedang duduk di sofa yang ada di depanku sementara Pak Al di sampingnya. Kami duduk saling berhadapan dengan dibatasi meja, biasanya tempat duduk yang aku tempati itu diperuntukan untuk klien.
Agak takut aku mengangkat wajah. "Eng-enggak Bu, aku enggak hamil. Sumpah! Aku masih perawan tingting!" jawabku gugup.
Aku melirik Pak Al, lelaki itu masih saja memandang datar. Aku heran, bagaimana Tuhan bisa menciptakan manusia robot kayak Pak Al? Mungkinkah dia makan kawat? Ah, untuk apa juga aku perduli, fokus Fey!
Pandanganku kembali ke Bu Ana. Kulihat setelah mendengar pengakuan, wajah sumringah ibunya Bosku itu langsung menjadi kaku.
"Jadi, saya gak jadi dapat cucu dari kamu, gitu kan, maksudnya?" Lagi-lagi si Ibu mengulang pertanyaannya, perasaan tadi sudah lima kali dia tanyakan.
"Eh, cucu? Ya enggak atuh Bu, ih amit-amit, belum juga nikah, tapi meski begitu saya mau minta maaf Bu, saya enggak tahu bakal ada kesalahpahaman kayak gini, maaf ...." jawabku merasa bersalah. Walau pun aku bingung di mana letak kesalahanku, perasaan ibunya yang salah terka.
"Ya, jadi ibu gagal dapat cucu, gimana ini, Al?" tanya Bu Ana dengan nada kecewa. Dia menatap anaknya sedikit memelas.
Pak Al memiringkan tubuhnya untuk meraih tangan Bu Ana. Enggak nyangka, Pak Al bisa terlihat sesayang itu sama ibunya. Kata Emak suami kayak gini calon suami idaman, karena jika kita ingin melihat bagaimana lelaki itu memperlakukan perempuan maka lihatlah perlakuannya pada ibu mereka.
So sweet.
"Ya gak gimana-gimana Bu, memang kami enggak ada hubungan, sudah lupakan saja, nanti biar Al yang jelaskan ke anak-anak kantor karena gosipnya sudah menyebar," jawab Pak Al bijak.
Bu Ana mengangguk-anggukkan kepalanya memahami, begitu pun aku. Iya, akibat gosip ini tidak bisa dihindari sekantor jadi heboh.
"Ya udah, kalau Fey gak jadi istri, gimana kalau dia gantiin Putri saja jadi sekretarisnya Al. Gimana Fey, kamu mau kan? Ibu ingin banget kamu deket sama Al, iya kan Al?" tanya Bu Ana tiba-tiba padaku juga pada Pak Al yang langsung mengubah raut mukanya menjadi tegang.
"Eh, itu, sekretaris Bu?Tapi ...." Aku melirik Pak Al yang memberi kode 'jangan mau'. Sudah kuduga, lelaki itu memang tak ingin didekati perempuan kecuali Mbak Putri karena dia lebih tua.
Apa dia doyan sama janda?
"Tapi apa?" Bu Ana menatapku penasaran.
"Tapi say--"
"Dia sudah ditempatin sama saya di finance Bu, jadi kayaknya sekretaris enggak dulu. Begitu kan Fey? Ya?" potong Pak Al melotot padaku sambil menggertakkan gigi, aku tahu lelaki itu ingin aku menyetujui pendapatnya.
"Eh, iya, Bu, saya sudah bersyukur kok jadi finance juga, apalagi mereka lagi butuh orang. Jadi enggak bisa, iya enggak bisa," jawabku pada Bu Ana. Lebih baik mengikuti alur Bos aneh dibandingkan dipecat kedua kali.
Sekilas kulihat wanita berpakaian fancy itu wajahnya menunjukan raut kecewa, tapi tak lama. Sampai akhirnya dia pun berkata dengan anggun.
"Baik, saya mengerti."
(***)
Malam harinya begitu sampai di kontrakan, aku dibuat terbengong-bengong karena kehadiran dua orang yang kukenal di depan rumah kontrakan. Mereka adalah Bu Ana dan Pak Al yang sedang berdiri gelisah di depan rumah kontrakanku.
Sangat mengherankan, dari mana mereka tahu tempat aku tinggal?
"Fey ...." Bu Ana tiba-tiba menghampiri aku yang baru saja mau menyapa mereka.
"Eh, Ibu? Pak? Kok bisa ke sini?" Aku menyalami Bu Ana, lalu memandang ke sosok pria di sampingnya. Tanpa sengaja, mataku bersitatap dengan mata Pak Al seketika tubuhku seakan dialiri listrik berkekuatan super.
Aneh, kok dadaku jadi berdebar enggak karuan begini ya?
"Ini loh Fey, ibu dan Al ada perlu sama kamu, bisa kita bicara serius?" pinta Bu Ana membuat aku sadar masih menapak di bumi, setelah tadi sempat terbius mata indah Pak Al yang bermata coklat jernih.
"Eh? Bi-bicara serius, Bu?" tanyaku kaget.
"Iya, bisa kita bicara di dalam saja," jawab Bu Ana seraya celingukan tak nyaman.
Sebagai tuan rumah tentu aku memgerti kegelisahannya, maka aku pun segera membuka pintu.
"Oh kalau begitu mari Bu masuk, maaf ya Bu, duduknya harus lesehan karena yang tinggal di rumah ini hanya saya, jadi enggak ada sofa," jawabku sungkan.Tanpa perlu banyak basa-basi lagi, aku pun mempersilahkan mereka masuk dan duduk di atas karpet usang yang berada di ruang tengah rumah kontrakan yang kuhuni.
"Jadi, ada apakah Ibu dan Pak Al ke sini?" tanyaku membuka percakapan setelah selesai menyajikan minum.
Sebelum menjawab, Pak Al dan Bu Ana saling berpandangan lalu Bu Ana tiba-tiba saja meraih tanganku.
"Fey! Begini, mohon maaf bukan bermaksud merendahkan atau bagaimana, tapi kami ke sini mau minta bantuan kamu," ucap Bu Ana dengan wajah serius.
"Bantuan apa, Bu?" tanyaku bingung. Mendengar ada yang meminta tolong, tenggorokanku mendadak haus.
"Begini Fey, maukah kamu menikah dengan Al, Fey?"
Uhuk! Aku terbatuk karena tersedak air. Ajegile, ini si Ibu kok mendadak banget? Baru juga ketemu sudah main menikahkan orang saja.
"Maaf, Bu, maksudnya menikah itu bagaimana? Kok saya jadi bingung," jawabku. Aku memandang Pak Al, dia tampak tenang dan tersenyum tipis melihat mulutku penuh dengan air.
"Tenang Fey, tenang! Kami memintamu bukan tanpa alasan, kami tahu kalau Ridwan kakak ipar Al suka sama kamu dan dia meminta kamu jadi simpanannya, makanya sebelum itu terjadi kami ingin kamu menikah dengan Al," terang Bu Ana tegas dan efeknya tubuhku langsung tegang.
"Loh, jadi kalian sudah tahu perihal Pak Ridwan yang menyukai Fey?"
Sungguh, ini kabar yang mengejutkan.
"Iya, kami sudah tahu. Baru saja tahu lebih tepatnya, tadi Kristi bilang Ridwan meminta cerai karena memang mereka menikah bukan karena cinta dan dia bersikeras meninggalkan Kristi, katanya ada wanita yang dia kejar ternyata itu kamu. Awalnya, Kristi setuju tapi ternyata dia baru tahu kalau dirinya hamil, jadi dia meminta tolong pada kami untuk menemuimu."
"Hah? Hamil?"
Glek! Tak sengaja aku menelan ludahku sendiri saking terkejutnya. Otakku berasa buntu, sepertinya kebanyakan memakan mecin membuat aku tak langsung pintar mencerna keadaan. Tak kusangka, Pak Ridwan melangkah sejauh ini hanya untuk mendapatkanku. Aku sudah tahu dia gila sejak dulu.
Bu Ana menganggukkan kepala dengan wajah sedih. "Iya Fey, tolonglah! Jika kamu menikah, Kristi gak akan ditinggalkan Ridwan! Jadi, ibu ingin kamu menikah dengan Al, lagi pula kamu lagi butuh biaya, kan? Ayolah, dengan menikah kamu tidak akan banyak terbebani. Tolong Fey! Bantulah anakku, dia sangat mencintai Ridwan," pinta Bu Ana lagi.
Mata tuanya tiba-tiba tampak berkaca-kaca. Aku jadi merasakan betapa hati wanita itu sedang gamang, tapi menikah hanya karena alasan itu? Rasanya tidak mungkin!
Sontak aku memundurkan posisiku dan melepaskan genggaman Bu Ana. Bagiku ini terlalu bodoh untuk dilakukan. Sialnya, saat aku memandang Pak Al, lelaki itu malah melakukan GTM alias gerakan tutup mulut. Pria itu seakan membiarkan permintaan mustahil ibunya meluncur di depannya begitu saja.
Dia juga pasti merasa ini bodoh bukan?
Aneh, apa mulutnya mengandung lem aibon hingga sejak tadi hanya diam dan membungkam?
"Tidak Bu, tidak. Ini bukan ide yang bagus, bisa jadi kalau pun saya menikah kelakuan Pak Ridwan akan sama, dia hanya gemar berselingkuh Bu, jadi saya menikah atau tidak, itu tidak akan ada pengaruhnya pada Pak Ridwan," tandasku kesal.
"Ada Fey, dia terobsesi sama kamu dan kamu pun enggak akan aman. Jadi, lebih baik untuk kebaikan bersama, ibu ingin kamu menikah dengan Al agar dia menjagamu. Lagi pula Al baru ditinggal nikah juga sama kekasihnya. Iya kan, Al?" tanya Bu Ana melirik pada Pak Al.
Akhirnya ... setelah disinggung masalah 'ditinggal nikah' sama ibunya, Pak Al langsung melotot tajam, tapi tak bersuara. Dia tetap diam hanya wajahnya saja yang berubah.
"Tapi Bu, walau saya memang membutuhkan uang, saya tidak akan menjual harga diri saya, maaf Bu, lagi pula saya enggak yakin anak Bu Ana mau sama saya. Saya kan hanya bawahan, iya kan Pak? Bicaralah! Bilang ini enggak mungkin, enggak mungkin Pak Al mau sama saya, iya kan?" tanyaku ragu.
Pandanganku beralih pada Pak Al yang wajahnya masih tegang hingga aku bisa melihat tulang yang menonjol di pipi kanan-kirinya.
Pak Al menunduk sebentar kemudian dia mengangkat kepala dan menatapku lurus. Pandangan mataku dan matanya akhirnya bertemu untuk kedua kali, ada debar aneh yang menggelayuti dada.
'Ayolah Pak, jawab enggak! Jawab enggak!' rapalku dalam hati.
"Kata siapa? Saya mau menikah dengan kamu, jika bisa lebih cepat lebih baik," ujar Pak Al yakin.
Dia tiba-tiba menyeringai licik dan hal itu cukup membuatku paham bahwa hidup dan kebebasanku kelar sudah.
---
Dulu aku sempat berkhayal ingin memiliki calon suami itu yang tampannya seperti Song Jong Ki, lembutnya seperti Nick Jones, dan kekarnya seperti The Rock. Sekarang, akhirnya Tuhan datangkan Pak Al yang mungkin memiliki 80% kriteria yang disebutkan dan 20% hal yang tidak inginkan.Kenapa? Karena Pak Al itu berbeda. Dia tidak lembut mau pun perhatian karena yang kutahu Pak Al itu diam-diam menghanyutkan, bisa dibilang cenderung licik.Buktinya, setelah tiga hari kemarin dia menyatakan mau menikah denganku hari ini Pak Al kembali ke bentuk aslinya yaitu lelaki yang over disiplin ketika mendapatiku tidak memakai name tag perusahaan. Tanpa basa-basi dia langsung memanggil namaku lewat pengeras suara."Pengumuman! Bagi yang bernama Fey, bagian finance ditunggu sekarang di ruangan saya, karena Anda telah melanggar peraturan dengan tidak menggunakan name tag, jadi dalam hitungan ke-10 saya mau Anda ada di sini! Satu ... dua ...."Begitu pengumuman dadakan itu disampaikan sungguh rasanya mau t
Sepertinya jika nanti aku jadi menikah dengan Pak Al, hidupku pasti akan lebih banyak pahala dan tahan banting. Karena, belum saja jadi istri aku sudah dibuat kesal setengah mati.Aku tidak tahu, sebelumnya Bu Ana ngidam apa sampai melahirkan anak selicik ini. Kalau aku jadi Bu Ana sudah kuborgol dia sejak masih kecil, agar nanti ketika sudah besar Pak Al tak memborgol orang seenaknya seperti yang aku alami.Kemarin sepulang dari butik, dia benar-benar membuatku frustasi. Kukira, dia benar-benar menghilangkan kunci borgolnya, tapi ternyata dia hanya membohongiku saja. Entah apa maksudnya tapi dia seolah sengaja mempermainkanku sampai aku pulang."Biar kamu merasakan bagaimana jadi makmum yang baik." Begitu katanya kala kutanya apa alasan dia membuatku bagaikan anak ayam mengekor induknya, selama kami terborgol.Alamak! Dasar Kabayan menyebalkan.Sayang, walau aku bersyukur tidak jadi dinikahkan kemarin malam, tingkah Pak Al tidak berhenti sampai di situ. Hari ini pun dia kembali berul
Baru hari pertama menyandang istri seorang Althaf Pramoedya, aku hampir saja mau beli sianida ke toko kimia karena saking kesalnya. Sempat kukira, menikah dengan Bos sendiri minimal ada manis-manisnya-lah kayak iklan air mineral eh, tapi ternyata sama sekali 'nol' besar.Jauh ... sangat jauh dari ekspektasi. Tak kuduga selain licik Pak Al juga pendendam. Baru saja waktu menunjukan jam tiga subuh, tiba-tiba dia sudah membangunkanku dari lena untuk siap-siap mandi dan packing karena kami akan pergi ke bandara.Katanya tepat jam lima, kami akan naik pesawat menuju Yogya demi menemui Neneknya yang tak bisa menghadiri pernikahan karena sakit.Anehnya, Pak Al bilang kami akan menyusul datang pada Bu Ana yang sudah lebih dulu berangkat tadi malam. Lagi, lelaki itu memutuskan tanpa diskusi denganku sama sekali.Aku jadi curiga sepertinya lelaki itu sengaja tak memberi-tahuku karena mungkin masih kesal akibat perutnya aku tendang.Dasar Kabayan! Selalu saja bikin kesal."Sudah manyunnya? Haru
Baru hari pertama menyandang istri seorang Althaf Pramoedya, aku hampir saja mau beli sianida ke toko kimia karena saking kesalnya. Sempat kukira, menikah dengan Bos sendiri minimal ada manis-manisnya-lah kayak iklan air mineral eh, tapi ternyata sama sekali 'nol' besar.Jauh ... sangat jauh dari ekspektasi. Tak kuduga selain licik Pak Al juga pendendam. Baru saja waktu menunjukan jam tiga subuh, tiba-tiba dia sudah membangunkanku dari lena untuk siap-siap mandi dan packing karena kami akan pergi ke bandara.Katanya tepat jam lima, kami akan naik pesawat menuju Yogya demi menemui Neneknya yang tak bisa menghadiri pernikahan karena sakit.Anehnya, Pak Al bilang kami akan menyusul datang pada Bu Ana yang sudah lebih dulu berangkat tadi malam. Lagi, lelaki itu memutuskan tanpa diskusi denganku sama sekali.Aku jadi curiga sepertinya lelaki itu sengaja tak memberi-tahuku karena mungkin masih kesal akibat perutnya aku tendang.Dasar Kabayan! Selalu saja bikin kesal."Sudah manyunnya? Haru
Tidak ada yang lebih memalukan untukku sekarang, selain menyadari kalau aku sudah membuat tanda iler yang tampak jelas di kemeja Pak Al. Bentuknya bulat dan berwarna putih. Jorok sekali.Semakin sering aku melihat tanda itu, rasanya aku ingin pulang saja ke kampung dan mendadak hilang ingatan. Coba bayangkan, seharusnya aku berterima-kasih pada Pak Al karena sudah membiarkanku tertidur di dadanya, tapi apa yang terjadi? Aku malah mengacaukan peristiwa yang seharusnya romantis itu.Dasar bodoh!Mau diletakkan di mana mukaku sekarang? Bahkan dijual saja belum tentu ada yang beli.Entah berapa ratus kali aku merutuki diri, tetap saja bulatan nista itu masih tetap di sana.Aku sudah menawarkan diri untuk mencucikannya nanti dan menyarankan lelaki tampan itu berganti baju, tapi Pak Al tetap tidak mau dan memilih menutupnya dengan jas. Pak Al berkilah, dibandingkan mengurus ilerku tadi dia berkata lebih baik segera menemui klien-nya agar bisa langsung pulang tanpa berlama-lama di hotel.Alh
Duduk tegang di bawah tatapan menyelidik Nenek dan Bu Ana yang melihat kami secara bergantian, tentu saja tidak termasuk dalam agendaku. Aku ke sini hanya untuk memperkenalkan diri, bukan untuk mengalami masa 'horor' karena terciduk melakukan hal yang tidak-tidak macam tadi.Mau diletakkan di mana mukaku? First impression sebagai menantu bukannya menunjukan itikad baik, ini malah kepergok lagi ... ah, menyebalkan!Aku melirik gemas pada Pak Al yang duduk di sampingku dan sedang memasang wajah datar. Tampaknya lelaki itu sama sekali tak merasa bersalah, padahal semua ini karena dia. Suruh siapa dia berpura-pura mau menciumku, jika pada akhirnya hanya pemberi harapan palsu dan menyentil dahi.Nonsense."Eheuum! Jadi, kamu staf Althaf di kantor?" Suara Nenek membuat perhatianku teralih menatap Nenek."Ehm, iya, Nek," jawabku gugup. Tanganku tanpa sadar meremas rok.Jujur, suasana di ruang tamu ini sangat menegangkan, apalagi Nenek duduk tepat persis di depanku sedang Pak Al di seberang B
Kata Emak, perasaan wanita itu bagaikan kentut. Tidak tampak secara fisik tapi bisa dirasakan efek pengeluaran emosinya. Coba, siapa yang pernah lihat bentuk kentut? Enggak ada kan. Tapi, kalau baunya bisa kita cium meski tak meminta.Kukira, analogi ini cocok untukku sekarang. Harus kuakui, kalau aku mulai merasakan hal aneh setiap ada perempuan yang mendekati Pak Al.Entah apa alasannya, dari mulai Sumi sampai Wini De Pooh, bawaan hatiku ini seperti tidak senang jika melihat mereka menyapa atau berdekatan dengan Pak Al.Padahal, apa coba hak seorang Fey? Masih untung, dinikahi juga iya, kan? Dibandingkan jadi istri kedua Pak Ridwan dan dililit hutang bank emok.Ah, jangan terlalu banyak berharap Fey!Entah ke berapa kali, aku mengingatkan hati mengenai kondisiku yang terlampau terbawa perasaan sampai aku tidak bisa tidur malam ini.Sepulang belanja tadi, aku benar-benar menghindari Pak Al dan memutuskan tidur lebih dulu sedang dia bekerja di lantai satu. Namun, ternyata mataku tetap
Baper. Mungkin itu bahasa anak gaul zaman sekarang. Aku tidak tahu sejak kapan kata-kata itu menjadi sangat populer, karena yang kutahu, kata itulah yang tepat menggambarkan suasana hatiku sekarang.Baik aku jujur atau tidak, sepertinya si tuan licik tahu kalau sekarang aku sedang gugup, akibat pelukannya yang sangat erat.Bagaimana tidak? Kami masih saja berada di posisi intim, meski Nenek dan Pak Ridwan sudah menghilang sejak tadi dari kamar."Eheum! Aman."Pak Al menarik napas lega, begitu pun aku. Kami terdiam lagi sampai mataku menangkap hal-hal yang aneh terasa mengganjal di bawah selimut. Tepatnya di bawah handuk yang dikenakan Pak Al.Oh Tuhan! Mataku yang perawan ini sudah teracuni oleh pemandangan yang terlalu dewasa. Mana kulitku dan kulitnya seolah tertempel sempurna.Geurah!Aku harus menghentikannya sebelum berkeringat, entah karena kepanasan atau memang kini jantungku terlalu ekstra berolahraga."Pak!" panggilku memberanikan diri. Sepengamatanku, tak ada tanda-tanda Pak