Share

Bab 3. Borgol Amsyong

Dulu aku sempat berkhayal ingin memiliki calon suami itu yang tampannya seperti Song Jong Ki, lembutnya seperti Nick Jones, dan kekarnya seperti The Rock. Sekarang, akhirnya Tuhan datangkan Pak Al yang mungkin memiliki 80% kriteria yang disebutkan dan 20% hal yang tidak inginkan.

Kenapa? Karena Pak Al itu berbeda. Dia tidak lembut mau pun perhatian karena yang kutahu Pak Al itu diam-diam menghanyutkan, bisa dibilang cenderung licik.

Buktinya, setelah tiga hari kemarin dia menyatakan mau menikah denganku hari ini Pak Al kembali ke bentuk aslinya yaitu lelaki yang over disiplin ketika mendapatiku tidak memakai name tag perusahaan. Tanpa basa-basi dia langsung memanggil namaku lewat pengeras suara.

"Pengumuman! Bagi yang bernama Fey, bagian finance ditunggu sekarang di ruangan saya, karena Anda telah melanggar peraturan dengan tidak menggunakan name tag, jadi dalam hitungan ke-10 saya mau Anda ada di sini! Satu ... dua ...."

Begitu pengumuman dadakan itu disampaikan sungguh rasanya mau tenggelam di dasar sungai saja, tak kusangka dia benar-benar menghitung seenak jidatnya hingga satu kantor mendengar. Saat kejadian itu, sungguh aku ingin mengumpat sambil berlari tapi aku masih ingat kedudukanku.

Heran aku, biasanya kalau orang enggak bawa name tag cukup ditegur dan dikasih pengarahan, kok rasanya kali ini berbeda? Aku langsung dipanggil ke ruangannya dan disuruh berdiri lama sedang dia sibuk bekerja dengan laptopnya.

Kulirik jam di dinding yang berdetak pelan. Tak terasa sudah setengah jam, aku berdiri di depan meja kerjanya, tapi dia malah membiarkanku bengong sampai keringatku turun dari dahi.

"Pak Al!" panggilku. Sumpah, kakiku sudah kesemutan. Tak tahan lagi.

"Heum?" jawabnya tanpa mengangkat kepala, dia masih khusu dengan berkas di tangannya.

"A-apa hukuman buat saya, Pak? Maaf, saya lupa bawa name-tag," ucapku pura-pura menyesal. "Saya bersedia dapat SP-1 kok Pak, tapi jangan biarkan saya begini, pegel Pak," ucapku jujur.

"Kamu benar mau pergi?" tanya lelaki berkemeja biru tua itu seraya mendongakkan kepala. Akhirnya, dia bereaksi juga.

"Iya Pak, jika boleh,"sahutku. Sedikit ragu.

Sejenak lelaki itu terdiam lalu sejurus kemudian Pak Al tersenyum samar. Senyum yang selalu membuat aku berpikir bahwa ada sesuatu hal buruk yang sedang direncanakannya.

Ingat, Pak Al itu licik. Dont judge the book by its cover. Sekali pun mukanya ganteng tapi hatinya nonsense. Itu sudah terbukti dengan permintaannya yang ingin mempercepat pernikahan kami.

"Baik, tapi ada satu syarat ...."

Tiba-tiba dia berdiri dari kursi kebesarannya lalu menghampiriku yang berdiri dengan perasaan tak menentu karena kulihat mulutnya menyeringai dan matanya memancarkan nyala yang siapa pun bisa terhipnotis.

Entah kenapa, melihat dia terus mendekat, tetiba dadaku bergetar hebat dan frekuensinya semakin bertambah kala jarak kami hanya tinggal satu ubin.

"Syaratnya apa, Pak?" tanyaku gugup.

"Kamu harus pulang barent dengan saya."

"Tapi kan Pak, gimana kalau nanti ada yang lihat?"

"Kamu mau dikurangin gaji?"

"Enggak."

"Ya, sudah nurut sama calon suamimu. Titik."

"Loh?" Aku menutup mulut kaget. Mendengar kata 'calon suami' telingaku merasa budek.

"Apa? Gak setuju? Udahlah, sekarang cepat keluar! Saya mau kerja, kamu bikin saya gak fokus," ucapnya seraya mengibaskan tangan berulang kali.

Sheh, maksudnya? Siapa tadi yang menahan siapa? Sekarang aku diusir.

"Bukannya tadi Pak Al yang minta ke sini, sekarang kok mal--"

"Syuut!" Belum selesai aku protes, telunjuknya sudah parkir di bibir dan buruknya itu menempel dengan kuat, sampai wajahku hampir tergerak ke belakang. Enggak sopan.

"Sudah kamu keluar sana!" perintahnya lagi sambil melepaskan jari cuek.

Tadinya ingin sekali kulempar mukanya yang sombong itu dengan sesuatu di tanganku, tapi masih kutahan, sabar.

"Oke, kalau begitu saya permisi, mari Pak ...." pamitku kesal seraya melangkahkan kaki ke arah pintu.

Sayang, baru saja beberapa langkah tanganku kembali dicekal Pak Al.

"Tunggu!" sergahnya.

Aku membalikkan badan dan melihatnya lagi dengan malas. "Apa lagi, Pak? Kan tadi saya diusir," kilahku.

"Ini! Cium tangan dulu! Latihan, sebelum di depan penghulu!" imbuh Pak Al seraya menyodorkan punggung tangannya tanpa rasa bersalah.

He? Dasar borokokok Kabayan! Ada-ada saja tingkahnya, belum jadi suami saja Pak Al sudah minta macam-macam, lebih baik aku memberi dia pelajaran saja.

"Oh baik, Pak mana sini tangannya," jawabku. Aku mengikuti perintahnya untuk mencium punggung tangan Pak Al tapi jangan harap sepenuhnya karena aku langsung menggigit tangannya.

Krek!

"Awww! Feyy!" teriaknya kencang.

"Maaf, Pak!" ucapku sembari melarikan diri.

Rasakan.

(***)

Seandainya lemari Doraemon  itu benar ada, mungkin hari ini aku akan selamat dari cengkraman Pak Al dan bebas pergi ke mana saja.

Namun, ternyata robot kucing itu hanya milik Nobita sementara aku hanya punya doa yang belum terkabul sekarang. Karena begitu jam kerja selesai, dia sudah memintaku untuk pergi secara sembunyi-sembunyi agar bisa bertemu dengannya di parkiran.

"Maaf Pak, sudah menunggu lama, ya?" Aku menyapa lelaki yang sedang berdiri tegap di samping mobil SUV-nya itu dengan canggung.

"Ya lumayan, ayo masuk!" ajak Pak Al sambil membukakan pintu mobil untukku.

Aku mengerjapkan mata, rasanya ada yang janggal dengan sikap lelaki satu ini. Namun, aku memilih menurutinya dan masuk ke dalam mobil.

Setelah semuanya siap, Pak Al pun melesatkan mobilnya ke daerah pusat Bandung sampai akhirnya kami berhenti di salah satu butik yang biasanya didatangi oleh kaum borjuis.

"Yuk! Kita masuk! Saya mau beliin baju buat kamu!" katanya sembali membuka seat belt.

"Hah? Baju? Enggak ah, Pak ini mahal! Harganya aja bikin mual," protesku spontan.

Aku tak percaya dengan Pak Al yang memberiku hadiah. Pasti dia ada maunya, kata Emak jangan langsung mudah menerima pemberian lelaki apa lagi kalau baru kenal.

Ya ... walau Pak Al calon suamiku, tapi tetap saja berbeda, lagi pula kami pun akan menikah karena terpaksa. Jadi, jangan terlalu berharap. Bisa jadi dia sedang balas dendam akibat perbuatanku tadi pagi.

Dih! Ogah.

"Saya serius, ayo turun!" ajaknya lagi sembari melepas seat belt.

"Enggak ah, malas. Untuk apa coba?" kilahku tetap menolak. Sejujurnya, aku hanya takut dia akan meminta macam-macam, aku tidak mau jadi berhutang budi padanya.

"Ya, udah kalau gitu saya kunci. Beneran gak mau turun?"

"Iya, paling Pak Al minta saya jadi patung lagi," jawabku cuek. "Pak Al aja-lah yang turun!" Aku pura-pura memalingkan muka.

Pak Al menghela napas dalam. Sejenak lelaki itu tampak berpikir, lalu sejurus kemudian dia mengambil sesuatu dari dalam dasbor. Namun, aku tak perduli. Kurasa dia sudah menyerah.

"Oke, kalau begitu, kalau kamu enggak mau keluar," ancamya seraya turun dari mobil.

Aku bernapas lega, karena kukira dia sudah menyerah tapi ternyata enggak. Lelaki itu berjalan memutari mobil sampai dia berhasil membuka pintu mobilku.

"Sini tanganmu!" perintahnya.

"Mau apa, Pak?" tanyaku panik.

Dia menyeringai. "Tadi kamu bilang, enggak mau turun, 'kan?"

"Iya." Aku menganggukkan kepala, firasatku mulai tak enak.

"Ya, sudah terima saja hukumannya!"

"Eh, maksudnya?"

Klik.

Belum sempat aku berontak. Tangannya lebih dulu mengambil tangan kiriku dan dalam waktu sekejap pergelangan tangan kiriku sudah terborgol. Sementara, satu borgol lagi dia kenakan ke pergelangan tangan kanannya.

"Eh, eh Pak, ini kita lagi enggak bikin film horor atau thriller Pak! Lepaskan aku, Pak!" jeritku frustasi.

Namun, seperti tuli, dia malah memaksa aku turun karena dia terus menarik tangannya sehingga aku tak ada pilihan selain mengikuti Pak Al.

Dasar licik.

"Ayo ikut! Kalau begini kamu tidak akan lari atau jauh-jauh! Sekarang ayo kita belanja!" ajaknya seraya terus menggiringku memasukki butik layaknya kambing.

Dengan langkah terpaksa, aku pun mengikutinya. Namun tak sampai beberapa langkah, aku tiba-tiba teringat sesuatu.

"Eh, tapi Pak, kunci borgolnya ada, 'kan?" tanyaku ragu.

Seketika langkah Pak Al langsung berhenti, dia tiba-tiba saja mengerutkan keningnya.

"Eh, kunci borgol?" tanyanya seakan kaget.

"Iya, kuncinya ada, kan?" Aku berteriak dengan gemas.

"Kayaknya enggak ada, saya lupa kalau kuncinya hilang," jawabnya tenang tapi cukup membuatku marah.

"Serius?"

"Iya. Sejak kapan saya bercanda? Kuncinya hilang," dalihnya seraya memasang wajah tanpa dosa.

"Jadi, kalau begitu kita harus terus 24 jam bersama?" Kurasakan tubuhku mendadak lemas.

"Bisa jadi."

Dia menggumam pelan, lalu menghadapkan badannya padaku.

"Sudah ya, jangan sedih! Kalau ini enggak bisa dibuka, kita langsung akad saja malam ini, gimana?" tanyanya seraya mengelus kepalaku. Anehnya, diperlakukan begitu aku bukannya bahagia, tapi malah semakin takut.

"Enggak mau, Pak! Enggak mau nikah malam ini!" teriakku membahana. Sampai semua orang di butik melihat kami. Namun, aku tak perduli.

Pokoknya aku enggak mau seharian bersamanya terikat begini, karena yang ada bukan drama romance yang tercipta tapi horor.

Ah, apesnya nasibku. Huwaaa!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
inggrid LARUSITA Nganjuk
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status