Share

Terjebak Pernikahan CEO Licik
Terjebak Pernikahan CEO Licik
Penulis: Fiska Aimma

Bab 1. Awal Tuduhan

"Ini sih hormonnya berantakan Mbak, Mbak stress, ya? Jangan stres-stres ya Mbak. Kasian  tubuhnya."

"Bagaimana saya gak stres Dok, Bos saya nyebelin."

"Kalau nyebelin, nikahin aja Mbak, biar gak stress."

Terngiang terus ucapan Bu Dokter kandungan yang kutemui kemarin. Dokter muda berparas cantik itu bilang kalau penyebab aku tidak lancar haid selama tiga bulan itu karena hormonku yang berantakan dan stress, jadi daripada stress sambil bercanda Bu Dokter bilang nikah saja sama Bosnya.

Eh? Emang semudah itu? Ah, ada-ada saja.

Apakah aku kaget? Biasa saja. Aku sudah mengira hal ini akan terjadi karena sejujurnya aku memang sedang merasa tertekan sekarang.

Iya, aku stress karena himpitan ekonomi yang di luar kendali. Kosan yang belum bayar, uang kiriman ke kampung dan biaya sekolah Puja semuanya menumpuk di otak.

Udah itu, di kantor pun  aku hanyalah dipandang sebagai gadis fotocopy. Di mana, aku dianggap ketika rekan kerjaku sedang membutuhkan bantuanku untuk memfotocopy sesuatu atau mengerjakan apa pun.

Seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini.

"Fey, tolong bikinin kopi dong!"

"Fey, tolong fotocopy sebanyak lima rim jangan lupa."

"Fey, aku enggak sempet rapat kamu wakili, ya?"

Dan masih banyak lagi yang mereka perintahkan padaku, sehingga aku merasa sangat kelimpungan.

Bagaimana aku tidak stress coba?

Apalagi semenjak kedatangan Pak Althaf Bosku yang baru yang kejam dan disiplinnya mirip penjaga Azkaban yang pikirannya susah ditembus oleh pandangan lahir.

Semuanya mengenai Pak Althaf pokoknya menyeramkan. Saking disiplinnya, pegawai cowok kalau telat lima menit push up-nya 100 kali dan kalau perempuan langsung dikasih SP-1. Untung ganteng, coba kalau enggak, mungkin kami semua sudah mengadakan pemrontakan masal.

Setelah kedatangannya,  harus kuakui  hidup seorang pegawai magang sepertiku mungkin tak akan lama bertahan karena konon katanya dia akan mengadakan PHK besar-besaran. Si Bos kejam itu membuat semuanya menjadi sangat sulit.

Namun, aku masih berharap itu tak terjadi karena sejujurnya aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Terutama untuk biaya adikku sekolah, maka saat Pak Ridwan manajerku tiba-tiba saja memanggilku sore ini ke ruangannya, firasatku langsung saja tak enak.

"Fey, ini ada surat dari bagian HRD. Maaf, kamu dipecat!" tegas Pak Ridwan tanpa pendahuluan.

Aku yang sedang menundukkan kepala refleks mengangkat kepala.

"Apa? Dipecat, Pak? Asli Fey teh dipecat?" tanyaku dengan logat sunda yang kental. Aku ini gadis desa, kalau aku dipecat nanti gimana kabar keluarga di kampung? Hanya aku harapan mereka.

"Iya, Fey, ini sudah keputusan Pak Althaf Fey, dia bilang kita harus menekan angka pengeluaran. Maaf ya Fey, mulai besok gak usah kerja lagi," jawab Pak Ridwan dengan nada sinis.

Aku menggigit bibir sambil menundukkan kepala, ingin rasanya menangis karena bingung. Kabar yang aku terima tak ubahnya seperti halilintar yang menyambar.

Setetes buliran air mataku jatuh, aku sedih. Akan tetapi, aku tak mau menyerah. Aku lebih memilih memutar otak, pokoknya pasti ada cara biar aku enggak dipecat.

"Pak, tapi, apa mungkin keputusan Pak Althaf bisa dirubah? Saya teh lagi butuh banget Pak, emang salah saya teh apa, Pak?" bujukku mencoba mempengaruhi Pak Ridwan.

Pria berkaca-mata itu menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak ada, kamu gak salah, tapi ini sudah keputusan. Tapi kayaknya semua bisa berubah, kecuali ...." Dia menggantungkan kalimatnya.

"Kecuali apa, Pak?" Aku memekik semangat.

"Kamu jadi istri simpanan saya, maka saya akan membujuk Pak Al buat nerima kamu," ujar Pak Ridwan menyebalkan dan membuatku langsung berdiri tegak.

"Jangan harap, Pak! Permisi! Saya akan mengurusnya sendiri ke HRD," ujarku kesal sambil berdiri lalu menuju pintu.

"Silahkan," seringainya mengiringi kepergianku.

Aku tahu sejak dulu, dia memang menyukaiku, tapi aku tidak mau. Menjadi istri simpanan pria kejam ini? Tidak mungkin. Itu mustahil.

Dia kan Kakak ipar Pak Al, menerima penawaran bodoh itu sama saja aku mencoreng harga diri.

(***)

Brak! Kubanting pintu toilet dengan sekuat tenaga lalu menangis dengan kuat di salah satu biliknya.

Hancur.

Harapanku untuk sukses telah gagal dan terpuruk. Hari ini aku merasa telah menjadi gelandangan seutuhnya.

Ternyata aku benar-benar dipecat. Tadi aku pergi ke ruang HRD dan akhirnya aku tahu, semua ini diakibatkan oleh Pak Ridwan yang memfitnahku dengan mengatakan kalau aku suka kesiangan dan mengambil uang perusahaan pada Pak Al.

Bodohnya, si Bos sepertinya percaya dan menyetujui semuanya tanpa konfirmasi dulu.

Sialan.

Aku tidak menyangka Pak Ridwan setega itu mengadukanku hanya karena aku menolak untuk menjadi selingkuhannya. Dasar biadab!

Dia hanya memikirkan dirinya saja, tanpa memikirkan aku yang mungkin kelaparan dan bingung membayar kontrakan.

"Huwaaa!"

Entah sudah berapa lama aku menangis di dalam toilet ini, yang kutahu sejak tadi aku hanya bisa menangis seraya memegangi perut bagian bawahku yang terasa sakit. Mungkin ini karena efek obat terapi hormon dan kelelahan karena naik turun tangga.

Aku ingat kata Bu Dokter, kesakitan yang kurasa bisa disebabkan efek obat itu karena tanggal sekarang adalah termasuk periode haidku. Mungkin tubuhku sedang persiapan mengeluarkan darah kotor.

Namun, bagaimana aku tidak lelah jika harus seperti ini terus?

"Ah! Semua karena Bos jahat itu, kudoakan dia akan mendapat balasannya!" Lagi-lagi teriakanku terdengar seperti lolongan serigala di petang hari.

Aku mengambil tissu untuk kesekian kali, biarkan kuhabiskan semua tissue di toilet lobby ini karena besok mungkin aku tak di sini.

Saakiiiit. Napasku mendadak sangat sesak.

Tok. Tok. Tok.

"Ada orang?" Suara wanita yang tak dikenal tiba-tiba saja menggangguku yang sedang meratapi nasib.

"Iya ada, sebentar," jawabku bergegas merapikan diri. Kulirik arloji di tangan, pantas saja sudah mendekati jam setengah enam sore, lebih baik aku pulang dan meneruskan acara menangis di kosan.

Sabar. Kuat. Semangat. Aku pasti menemukan jalan keluar.

Setelah siap menghadapi dunia, aku pun membuka pintu dan kulihat ada seorang wanita berdandan fancy di depanku.

"Mbak kenapa? Kok kayak teriak-teriak gitu?" tanya si Ibu dengan wajah khawatir.

"Nggak, nggak apa-apa, cuman sakit bagian perut bawah saja Bu, saya sudah tidak haid tiga bulan," jelasku jujur seraya menuju wastafel. Entah kenapa mulutku ini bicara begitu lancar pada orang yang tak dikenal. Mungkin aku sudah hilang akal.

Ingin rasanya menangis lagi, tapi aku malu.

"Yakin? Mbak gak apa-apa? Kok pucat?"

Aku menganggukkan kepala, terus berusaha mengatur napas.

"Oh ya udah, Mbak, tahu kantor Al, Altaf namanya?" tanya si Ibu lagi seraya berdiri di sampingku yang sedang merapikan muka sembab dengan sedikit bedak tabur.

"Pak Altaf? Ibu mau ke sana? Ibu siapanya?" Mendengar nama Bosku itu, entah kenapa rasa sakitku semakin menjadi dan mataku kembali memanas seakan membawa kembali kesan buruk akan Bos itu.

"Iya. Saya kenalannya. Apa Mbak tahu di mana ruangannya?"

Aku menganggukkan kepala lagi, tapi bulir-bulir air mata ini tak mau bekerja sama. Tanpa aku sadar, tangisanku pecah sudah, sampai-sampai napasku tersenggal persis bengek.

"Eh, eh, kenapa kok nangis? Kalau enggak tahu, enggak apa-apa." Si Ibu berwajah ramah itu tampak panik.

"Bukan begitu Bu, tapi ... tapi ... dia itu sudah berbuat gak adil Bu, dia pecat aku ... huwaaaa!" Lagi-lagi aku berteriak dan menangis sampai ingusku keluar sempurna.

"Kenapa dipecat Mbak? Mbak melakukan kesalahan? Atau ada yang lain?" Si Ibu menatapku heran.

"Aku gak ngelakuin kesalahan Bu, tapi Bu karena dia juga aku jadi begini, padahal aku ini gak punya kerjaan lagi Bu ... ah, sakit lagi kan Bu! Semua karena Pak Al nih Bu, saya stress." Aku memegang perutku lagi. Entah kenapa semakin kugerakkan kaki dan membicarakan Pak Al, sakitnya semakin terasa.

"Hah? Kenapa kok bisa sakit perut? Kamu kenapa? Jangan-jangan kamu dipecat karena ...."

"Karena apa, Bu?" Aku memandangnya enggak mengerti.

"Kamu tadi bilang perut bawah kamu sakit, kan? Terus kamu tidak haid selama tiga bulan?" tanya si Ibu memberondong. Mata lentiknya bergerak panik.

"Iya Bu. Aku stress enggak menyangka Pak Al melakukan ini, kukira dia cukup bijak menyelesaikan semua. Ternyata sama saja dengan lelaki lainnya," cicitku lagi. Sengaja kukeluarkan semua uneg-uneg yang ada di dada, aku memang tak menyangka dia percaya begitu saja obrolan Pak Ridwan.

"Al yang melakukannya?"

Si Ibu memandangku dengan tatapan sangat terkejut tapi kemudian dia memegang pundakku kuat. Wajahnya yang tegang berangsur tenang.

"Mbak, ibu mau nanya lagi. Kamu merasa mual-mual gak akhir-akhir ini?"

Aku mengerutkan kening, berpikir. Memang akhir-akhir ini aku sering mual-mual dan pusing, karena penyakit magh-ku yang memang kronis.

"Mual-mual? Iya Bu, akhir-akhir ini saya memang sering mual dan pusing, tapi itu ...."

"Baik, saya mengerti. Kamu tenang saja. Kalau begitu, biar saya yang beri dia pelajaran! Siapa namamu? Dan bagian apa kamu di sini?" putus si Ibu lagi dengan emosi.

"Eh, namaku?"

"Iya."

"Aku Fey Bu, bagian keuangan di bawah Pak Ridwan."

"Oke, Fey, biar saya urus masalah ini, kamu tenang saja, besok kamu harus tetap bekerja," jawab si Ibu sambil memelukku, sedang aku masih tak mengerti apa maksudnya.

(***)

Esok harinya, seolah mimpi aku kembali dipanggil ke kantor. Kabar ini aku tahu dari sahabatku, Arin. Tentu saja, aku langsung bahagia dan bahkan haid-ku langsung lancar, keluar dengan baik.

Alhamdullilah. Aku tersenyum sepanjang lorong seraya menerka-nerka alasan aku dipanggil lagi.

Apa mungkin karena mereka kasian? Atau mungkin karena mereka merasa bersalah? Dan akhirnya tahu, aku dikeluarkan karena fitnah Pak Ridwan? Ah, apa pun itu pasti hal yang baik.

Namun, ada yang lain hari ini semua mata memandangku curiga. Bahkan Arin, sahabatku langsung memelukku begitu aku tiba di meja.

"Sabar ya, Fey! Tapi gue gak nyangka elo kayak gini!" ujarnya dengan nada menyesalkan.

"Eh, kenapa?" tanyaku bingung. Arin melepaskan pelukannya lalu memegang pipiku sok drama.

"Elo ditunggu di ruangan Pak Al, sekarang." Begitu katanya dengan wajah kecewa lalu berlalu.

Ah, apakah mereka tahu kalau aku belum membayar kontrakan? Dan aku dipecat?

Ya Allah!  Sampai segitunya.

Sesuai info Arin, aku pun berjalan menuju ruangan Pak Al yang berada di ujung lantai dan ruangannya paling luas. Aneh, baru kali ini aku dipanggil ke ruangan tertutup yang di dalamnya ada si killer.

Sangat mengejutkan.

Tok. Tok. Tok.

Aku mengetuk pintu perlahan, lalu membukanya pelan ketika dipersilahkan. Akan tetapi, baru saja aku menyembulkan kepala seseorang menarik gagang pintunya dari dalam.

Sepersekian detik kami bertatapan. Dia menelan ludah, aku juga. Baru kusadari Pak Al selain kejam juga sangat tampan.

"Pak Al? Sa-sa-ya mau ...."

"Saudari Fey, jawab! Gosip apa yang kamu sebarkan! Kalau memang kamu hamil sama saya, ayo kita menikah! Tapi tolong buktikan!" tegas Pak Al membuatku seketika serasa tersambar petir di siang bolong. Aku kira kedatanganku ke sini akan mendapat kabar bahagia ternyata malah dituduh hamil.

"Eh, siapa yang hamil Pak? Saya enggak hamil," dalihku langsung. Aku menggerak-gerakkan tangan dengan menyilang tanda itu tak benar, sungguh terhinanya jika aku hamil di luar nikah.

"Kalau begitu kenapa Ibu saya minta saya nikahin kamu? Pokoknya saya enggak mau tahu, kamu harus jelasin ke Ibu saya."

"Loh, emang kapan saya ketemu ibunya Pak Al, perasaan saya enggak pernah," jawabku bingung.

"Kamu yakin?"

"Iya, betul Pak."

Pak Al menyeringai, lalu wajahnya bergerak ke samping. "Lihat ke sana!"

Aku mengikuti gerakan wajah Pak Al dan alangkah terkejutnya ketika aku melihat seorang Ibu yang kemarin aku temui di toilet sedang berdiri melambaikan tangan.

"Fey, Kamu sudah datang? Siang ini kita ke Dokter kandungan ya, mau kan? Tenang kamu gak akan dipecat, kan ada Ibu. Ibu sudah bilang semua pada Al, dia akan bertanggung jawab atas perbuatannya," ujar si Ibu itu lantang, sedang aku hanya bisa melongo bego.

Jadi, kemarin itu ibunya Pak Al? Astaghfirullah! Pantas saja dia begitu terkejut ketika aku membicarakan anaknya.

Akhirnya, aku tahu alasan aku dipanggil lagi ke kantor bukan karena mereka kasihan tapi akibat disangka hamil. Dan sepertinya, ibunya Pak Al salah paham.

"Jadi Fey, kamu bisa menjelaskan ke saya? Apa yang kamu bicarakan dengan ibu  saya?" tanya Pak Al, tajam dan mematikan.

Ah, gawat. Mending enggak usah dipanggil kalau ini alasannya. Gara-gara disangka hamil.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
inggrid LARUSITA Nganjuk
terusi aja salah fahamnya hidup kmu akan terjamin ......
goodnovel comment avatar
Mama Siva Siva
lucu jg ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status