‘’Pahh! Aku sudah besar. Pokoknya aku ingin kuliah di Jerman sesuai cita-citaku dulu!’’
‘’Tidak bisa Samira! Kamu anak perempuan papah! Apalagi kamu anak satu-satunya! Papah tidak bisa melepasmu begitu saja di sana!’’
‘’Pah, please! Aku mohon…aku janji aku bisa jaga diriku di sana pah.’’
‘’Tidak ada yang tau kehidupan mu di sana sayang, papah tidak akan tenang jika kau hidup sendirian di sana. ’’
‘’Tapi kuliah di Jerman adalah impianku pah!’’ tatap Samira dengan genangan air mata di pelupuk matanya.
Ya! dia adalah Samira Aretha, gadis berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMA, kini Samira tengah menentukan kampus mana yang akan ia pilih untuk melanjutkan perguruan tingginya, namun beribu sayang, orang tuanya melarang Samira untuk melanjutkan pendidikan di kampus impiannya, yaitu Techincal University of Munich jurusan kedokteran sesuai dengan cita-citanya.
Sedari duduk di bangku SMP, Samira sudah memimpikan akan mengejar pendidikan jurusan kedokteran di Jerman, dia bahkan sudah menghafal seluk beluk di kampus sana meski hanya dari internet saja, bahkan Samira sampai ikut les Bahasa Jerman agar bisa hidup nyaman di sana jika ia sedang menempuh pendidikannya, terbukti sekarang, lidah Samira sudah lihai jika di ajak berbincang dengan Bahasa Jerman.
‘’Pah, pokoknya aku tidak akan melanjutkan pendidikanku jika aku tidak boleh kuliah di Jerman!’’ tegas Samira. Ia masih mengupayakan masa depan impiannya. Semua orang punya impian bukan? Begitu juga dengan Samira.
Begitulah anak semata wayang Papah Abraham dan Mamah Wulan, Samira masih kekanakan dan tidak bisa berfikir panjang. Itulah yang membuat Papah Abraham ragu untuk memberikan ijin putrinya pergi ke Jerman, apalagi dengan waktu yang cukup lama.
Hening…
Suasana di ruang makan itu hening, hanya ada suara isak tangis Samira sambil berusaha menelan makanan yang ia kunyah meskipun terasa begitu mengganjal di tenggorokannya. Samira merasa lapar meski sedang menangis, jadilah dia makan sambil menangis.
‘Kekanakan’ Gumam sang papah Abraham.
‘’Baiklah, kau boleh kuliah di Jerman, asal…’’’ kalimat itu masih menggantung, sementara raut wajah Samira sudah senang menyambutnya.
PFTTTT....
Tanpa sengaja Samira memuncratkan isi mulutnya, karena saking senangnya mendengar kalimat dari laki-laki paruh baya yang menjadi Papahnya itu.
‘’Yuhuuuu! Asikkkkk..!’’ kata Samira sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
‘’Jangan senang dulu Samira! Papah masih punya syarat untukmu!’’ tegas Papah Abraham.
‘’Apa itu baginda rajaku? Pasti Samira akan lakukan, asal aku bisa kuliah di Jerman, Yuhuuuuuu...’’ Samira berbicara dengan gaya yang dibuat-buatnya.
‘’Sebelum kamu kuliah di sana, kamu harus menikah terlebih dahulu, ’’
Duarrrr!!!!
Hati Samira tercekat mendengar syarat yang diajukan papahnya, apa sampai segitunya demi bisa melanjutkan pendidikan di kampus impiannya? Ini beneran atau hanya gertakan sih? Fikir Samira.
‘’Kenapa harus menikah dulu? Aku akan menikah jika sudah menyelesaikan pendidikanku di Jerman pah. ’’ Samira jelas merasa keberatan.
Menikah? Di umur 18 tahun? Gila! Begitu batin Samira. Sekarang rasanya bukan ia yang kekanakan. Melainkan Papahnya yang bertingkah seperti anak-anak, bahkan masa depannya masih panjang untuk bisa sampai ke jenjang pernikahan.
‘’Tidak ada penolakan jika kau ingin kuliah disana, papah harus memastikan ada yang menjagamu agar papah dan mamah bisa tenang di sini. ’’ Tukas Papah Abraham.
‘’Pah jangan ngaco!’’ sarkas Samira.
‘’Papah Serius!’’ balas Papah Abraham.
‘’Lalu siapa yang akan menikah denganku pah? Apa laki-laki itu tidak memiliki pekerjaan sampai harus menjagaku di sana?’’
‘’Justru karena dia juga bekerja di Jerman makanya papah menyuruhmu untuk menikah dengannya. ’’
‘’Tapi apakah papah yakin dia mau menikahiku?’’ Samira masih terus menyuarakan keraguannya.
Pernikahan dini tidak boleh terjadi di kehidupannya. Usianya masih muda. Jalannya masih panjang. Begitu fikir Samira.
‘’Orang tuanya adalah kerabat papah, kami sudah membicarakan ini sebelumnya, awalnya papah menolak usulan mereka untuk menjodohkanmu dengan putranya, karena usiamu masih terbilang cukup muda. Namun jika kau memaksa untuk berkuliah di Jerman maka papah akan menerima tawaran mereka. ’’
‘’Tapi pah, aku masih ingin kuliah. ’’
‘’Justru karena kamu ingin berkuliah di sana, makanya harus ada yang menjagamu sayang. ’’ kini tatapan Papah Abraham mulai menyendu, tapi tidak dengan keputusannya.
‘’Papah tega..hiksss...’’
Samira langsung meninggalkan meja makan, meninggalkan Papahnya yang masih terdiam dan memikirkan semuanya.
.
.
.
‘’Papah yakin?’’ Tanya sang istri.
‘’Yakin mah, bagaimana keadaan ibu tadi?’’
‘’Syukurlah kondisi Ibu sudah membaik, Ibu juga menitipkan salam untukmu dan Samira’’
‘’Syukurlah kalau begitu, akhir pekan ini kita jenguk Ibu bersama, sekalian papah akan membicarakan tentang perjodohan Samira. ’’
‘’Tapi apa tidak terlalu muda pah, jika Samira harus menikah di usianya yang baru 18 tahun?’’
‘’Ini yang paling aman mah, kita tidak tau kehidupan seperti apa yang akan Samira lalui jika tidak ada yang mengawasinya di sana. ’’
‘’Kalau untuk mengawasi, kirim saja bodyguard untuk memantau pergaulannya pah,'’
‘’Apa mamah bisa yakin dengan bodyguard itu? tidak ada yang bisa di percaya mah, apalagi jika mereka tidak memiliki status yang terikat. Papah tidak ingin ada hal buruk yang menimpa Samira, makanya papah memilih keputusan yang terbilang aman mah. ’’
‘’Hufhhhh, mamah juga jadi bimbang pah. Lalu Samira bagaimana?’’
‘’Dia menangis, coba mamah cek ke kamarnya. Papah juga akan coba menghubungi Andrew untuk membicarakan ini. ’’
‘’Baik pah.'’
.
.
.
Tok Tok Tok,,
‘’Sayang, boleh mamah masuk?’’
‘’Iya mah, hikss..’’ Samira masih menangis di atas kasurnya, gumpalan tisu sudah memenuhi atas kasurnya bahkan ada beberapa yang terjatuh ke lantai, hal itu menunjukkan betapa banyak air mata dan ingusnya keluar mengiringi kesedihannya.
Kenapa ia dipersulit untuk menempuh pendidikannya, bukankah seharusnya orang tuanya bangga, jika Samira memiliki cita-cita mulia yaitu menjadi seorang dokter? Fikir Samira.
‘’Mamah tau, ini pilihan yang sulit untukmu sayang. ’’ kata Mamah Wulan seraya mengelus punggung sang anak gadisnya, mencoba memberikan ketenangan untuk Samira.
‘’Sudah tau ini pilihan sulit. Lalu kenapa papah meminta hal itu untukku hiksss.hiksss..’’ tangis Samira semakin menjadi-jadi.
‘’Papah ingin yang terbaik untukmu sayang. ’’ meski kalimat itu terucap dari bibir Mamah Wulan, tapi tetap saja hatinya pun berat menerima keputusan sang suami.
Anak gadisnya baru saja beranjak dewasa, sementara menikah bukan pilihan yang mudah. Tapi membiarkan Samira tinggal di Jerman dalam waktu yang lama pun tidak menjamin keamanan untuknya. Pergaulan bebas pasti ada di sekitar Samira, bukan dia tidak mempercayai anaknya. Tapi tetap saja sebagai orang tua, mereka harus berjaga-jaga dan menjaga Samira agar tidak terjerumus pada hal yang tidak baik.
‘’Terbaik apa nya mah? Hikss..hikss.. tidak ada sesuatu yang menyiksa bisa dikatakan yang terbaik. ’’ dia mencengkram tisu yang ada di tangannya. Hatinya semakin hancur takkala Mamah Wulan justru ikut menyetujui permintaan konyol papahnya.
‘’Hufhhhh, kamu masih bisa mundur sayang. ’’
‘’Tapi kuliah di Jerman adalah impian ku mah, It’s my dream!’’ Samira mulai bangkit dan mengambil posisi duduk. Ia menatap Mamah Wulan dengan mata sembabnya. Berharap Sang Mama bisa dengan jelas melihat kesedihan yang dibuat oleh papahnya sendiri.
‘’I know, tapi mamah juga khawatir kalau kamu hidup sendirian di sana sayang. ’’ berat! Iya itu juga berat bagi Mamah Wulan.
‘’Belum di coba saja sudah pada khawatir hikss..’’
‘’Karena kamu anak kesayangan kami, papah dan mamah tidak ingin kamu salah pergaulan di sana, kami tidak bisa memantau teman-temanmu sayang. Apalagi jika kamu sakit disana, siapa yang akan mengurusmu? Berpikirlah panjang untuk kedepannya. ’’
‘’Mamah sama saja! Mamah tidak bisa mempercayaiku hiksss..hiksss..’’ isak tangis Samira semakin menjadi, tapi Mamah Wulan juga tidak bisa meredakannya.
‘’Bukan begitu, mamah hanya tidak bisa membiarkanmu hidup sendirian tanpa seseorang yang bisa menjagamu disana sayang,'’ ujar Mamah Wulan dengan selembut mungkin.
‘’Mah, tapi aku belum siap jika harus menikah?’’
‘’Kalau begitu kuliahlah di sini saja. ’’
‘’Tapi aku ingin di sana mah, ’’
‘’Kalau itu pilihanmu, maka menikah solusinya, maafkan mamah dan papah. Ini semua demi kebaikanmu, ’’ kata Mamah Wulan.
‘’Hiksss…Hiksss… seperti apa orang yang akan menikahiku mah?’’
Mengalah, ya solusinya Samira harus mengalah pada orang tuanya demi bisa berkuliah di kampus impiannya. Tidak masalah dia menikah, nanti setelah lulus Samira bisa bercerai dari suaminya dan mencari sosok laki-laki yang dicintainya, anggaplah begitu. Fikir Samira mencoba menenangkan hatinya. Meski sebenarnya itu masih terlalu berat untuk nya.
Seperti itulah gambaran Samira, dia masih kekanak-kanakan dan berfikir dengan mudah untuk menghalalkan segala cara. padahal dunia pernikahan tidak semain-main itu, ada janji suci yang di ucapkan ketika pernikahan berlangsung. Samira masih belum mengerti tentang itu. dia hanya berfikir mudah untuk dirinya sendiri.
‘’Samira, bagaimana keputusanmu?’’ Tanya Papah Abraham muncul di balik pintu.
‘’Baiklah, demi bisa kuliah di Jerman dan cita-cita ku. aku menyetujui syarat dari papah hiksss…'’ Kata Samira masih mengeluarkan air matanya.
"Bagus kalau kamu setuju, papah juga barusan sudah menelfon Om Andrew dan Tante Maya. ’’
‘’Mereka siapa pah?’’ Tanya Samira,
‘’Calon mertuamu. ’’
Deghh....
Calon mertua?
‘’Mereka siapa pah?’’ Tanya Samira‘’Calon mertuamu’’‘’Huwaaaa…hiksss..hikss..’’ Samira makin kencang mengeluarkan tangisannya....Seminggu berlalu, Kini Samira sudah bisa sedikit mengontrol emosinya.Dia juga mencoba untuk menerima persyaratan dari papahnya, yaitu untuk menikah agar bisa melanjutkan pendidikan di kampus impiannya, semua demi cita-cita dan impiannya.Urusan pernikahan, biarlah dia urus nanti. Samira yakin calon pria nya pun tidak memiliki perasaan apapun pada dirinya, bagaimana bisa dikatakan memiliki perasaan jika mereka saja tidak saling mengenal, dan itu merupakan salah satu keuntungan bagi Samira agar bisa mengajukan kawin kontrak seperti film yang barusan dia tonton, dan mereka akan bercerai pada waktu yang telah di tentukan, tepatnya ketika Samira telah menyelesaikan pendidikannya misal. Itulah tekad Samira sementara ini, anak remaja sepertinya masih sangat labil untuk mengambil keputusan. Samira memang selalu menempati nilai unggul di sekolah nya. Tapi tet
"Davino, Mamah titip anak mamah ya. Tolong awasi Samira dari pergaulan yang tidak baik di sana, jaga hati dan raganya. Arahkan dia jika langkah nya penuh keraguan. Mamah percaya kamu laki-laki dewasa dan bijaksana. Tolong bimbing Samira ya. " Mamah Wulan mengelus pundak Davino saat menantunya menyalimi tangannya. Ia memberikan sedikit wejangan sebelum mereka benar-benar pergi ke Jerman.Paspor dan Visa Samira sudah siap. Hari ini juga mereka akan terbang ke sana menempuh hidup baru dengan status baru di Jerman."Pasti mah, saya pasti memastikan Samira dalam keadaan baik. Saya cukup minta do'anya dari mamah dan papah. " Ucap Davino."Pasti, mamah dan papah akan selalu mendoakan kebaikan untuk kalian. " Mamah Wulan mengusap air matanya. Ia tersenyum lega pada Davino. Setidaknya Samira akan aman bersama suaminya.Sementara Samira masih menangis dalam pelukan papah Abraham. Meski berat di tinggal putri semata wayangnya, namun setidaknya papah Abraham sudah tenang sekarang. Karena akan ada
"Kamu bisa nyapu? ""Bisa Om. ""Bisa nyuci baju? ""Bisa Om. ""Bisa masak? ""Uhmm sedikit. ""Kalau muasin suami? "Deghhhhh…Samira jadi gelagapan sendiri. Hah? Muasin? Muasin dalam konteks apa maksudnya? Meskipun dia masih kecil tapi dia sering nonton drama Korea yang kelewat romantis kali. Jadi fikiran Samira langsung menari kemana mana. Pipinya merona membayangkan.. Arghhhh!!Oh no Samira! Sadarlah! Dia bukan Sehun-mu. Dia itu Om-om. Ngebayangin nya aja udah langsung bikin bulu kuduk Samira merinding seketika."Jangan terlalu di fikirkan Samira. Sudah ku duga, kamu masih terlalu kecil. Lagian papah ada ada saja, menjodohkan saya dengan anak kecil seperti mu. " Decih Davino dengan senyuman miring nya.Senyuman itu terlihat begitu meremehkan dimata Samira. Hatinya juga jadi kesal mendengar penuturan Davino.'Yaa emang bener sih. Aku juga gak mau di ajak begituan sama dia, tapi kan bukan berarti gak bisa. Hanya gak mau. ' batin Samira dongkol."Ayo jangan banyak melamun, rapih kan
Samira meregangkan tubuhnya. Ia menatap ke sisi ranjang yang nampak kosong. Kemana Davino? Batin Samira. Namun tidak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Davino yang sudah memakai celana panjang nya dengan handuk yang dilebarkan di bagian dada untuk menutupi area itu. Untung saja Davino tidak bertelanjang dada, tidak seperti adegan-adegan yang pernah Samira tonton di dalam drama. "Sudah bangun. Kamu mau masak sendiri atau pesan sarapan saja? " Tanya Davino sambil mengeringkan rambutnya didepan cermin. "Ada roti Om? ""Ada.""Telur? ""Ada, ""Mentega? ""Ada, ""Kalau keju? ""Terlalu banyak tanya, kamu bisa cek sendiri di kulkas, semua tersedia di sana. " Samira benar-benar bawel padahal ini masih pagi, batin Davino. "Oke oke. Om mau kemana? ""Saya harus kerja, kamu bisa kan urus keperluan mu sendiri? Jangan keluar rumah, nanti kalau nyasar saya yang repot. ""Bisa sih. Tapi kan aku mau persiapan daftar kuliah Om. Katanya Om bakal bantuin aku? ""Saya sudah at
"Kenapa lagi sih Samira? Kenapa kamu masih nangis saja? Barusan kan sudah makan? Kamu masih lapar?!! " Davino menatap Samira dengan tatapan kesalnya.Samira menggeleng tapi isak tangisnya masih terdengar. Padahal sudah makan banyak tapi tetap saja dia masih menangis. Begitu batin Davino."Tolong ya,, sudahi nangis mu itu Mir. Saya harus istirahat, besok harus kerja lagi. Kalau kamu nangis terus, kualitas tidur saya jadi terganggu Samira! " Haduh, lagi-lagi Davino merasa heran dengan Samira yang hobi nya menangis tidak jelas itu. Ini kan sudah malam. Harusnya kalau tidak bisa menyenangkan suami ya tidur saja, jangan nambah cenat cenut di kepalanya."Aku kangen mamah papah.. Hiksss. " Kata Samira persis anak kecil sambil memeluk bantal dan melihat foto kedua orang tuanya di ponsel miliknya."Astaga! Kalau gak bisa jauh dari orang tua kenapa milih kuliah di Jerman? ""Tapi itu juga cita cita aku… hikss… ""
"Berkas yang aku minta kemarin sudah kamu siapin belum Ra? " Tanya seseorang bernama Raja.Raja memiliki paras tampan dengan kulit putih dan kemerahan. Terdapat freckles di bagian pipinya menghiasi ketampanannya. Giginya rapih dengan senyumnya yang manis. Usianya sekitar tiga tahun di atas Samira, tepatnya 21 tahun.
"Kak, emang kakak gak ada kelas apa? sampai ajak aku keliling kampus gini? " Tanya Samira mengekor di belakang tubuh Raja. Hari ini tiba-tiba tanpa sebuah pesan. Raja menjemput gadis cantik itu. Katanya, ia ingin memperkenalkan setiap sudut kampus pada Samira. Berhubung Samira belum di sibukkan dengan kegiatan mahasiswa baru, jadi ini waktu yang tepat untuk Samira meluangkan waktunya. "Kelasku besok, hari ini kosong. Tapi besok langsung full. " Jawab Raja. "Fakultas kedokteran ada di lantai 7." Kata Raja sambil menekan angka 7 di dalam lift. Ting! Samira hanya menjadi buntut dan pendengar yang baik. Tidak perlu banyak tanya karena Raja sudah menjelaskan dengan detail setiap sudut di sana. Raja sangat cocok menjadi tour guide. Bahasanya cukup jelas dan mudah di mengerti. Apalagi dia sangat asik di ajak berbincang, menurut Samira. Pembawaan Raja sangat friendly, membuat rasa sungkan itu memudar dengan perlahan, nampaknya Samira sudah mulai bisa mengakrabkan diri dengan Raja. "Nah
Bibir ranum itu terngiang-ngiang dalam benak Davino. Iya, bibir Samira, yang teramat menggoda apalagi saat dipandang ketika istrinya sudah terlelap. Karena hanya saat itu, Davino bisa menatap Samira semaunya. Harus Davino akui, jika istrinya memiliki paras yang cantik dan aduhai. Tubuhnya terbilang pas dengan tinggi 163 cm, dengan buah dada yang ditaksir berisi dan sekal dibalik piyama tidurnya. Apalagi bagian pinggul yang terlihat seperti gitar Spanyol. Ada rasa ingin meraba dan mengelus setiap lekukan di sana, namun untuk saat ini bisa memandang Samira sebebas ini saja rasanya sudah cukup. Jika Davino memaksakan kehendaknya, bisa habis dia dihajar gadis kecil itu. Bukan kecil fisiknya, tapi fikiran nya yang terbilang masih seperti anak kecil jika dibandingkan dengan Davino yang sudah matang di usia kepala tiga. Meski teramat menguji iman suami, namun Davino tetap menahan sampai waktu itu tiba. Daun muda memang lebih segar dan menggiurkan kan? Batin Davino dengan senyuman mesemnya