‘’Mereka siapa pah?’’ Tanya Samira
‘’Calon mertuamu’’
‘’Huwaaaa…hiksss..hikss..’’ Samira makin kencang mengeluarkan tangisannya.
.
.
.
Seminggu berlalu, Kini Samira sudah bisa sedikit mengontrol emosinya.
Dia juga mencoba untuk menerima persyaratan dari papahnya, yaitu untuk menikah agar bisa melanjutkan pendidikan di kampus impiannya, semua demi cita-cita dan impiannya.
Urusan pernikahan, biarlah dia urus nanti. Samira yakin calon pria nya pun tidak memiliki perasaan apapun pada dirinya, bagaimana bisa dikatakan memiliki perasaan jika mereka saja tidak saling mengenal, dan itu merupakan salah satu keuntungan bagi Samira agar bisa mengajukan kawin kontrak seperti film yang barusan dia tonton, dan mereka akan bercerai pada waktu yang telah di tentukan, tepatnya ketika Samira telah menyelesaikan pendidikannya misal. Itulah tekad Samira sementara ini, anak remaja sepertinya masih sangat labil untuk mengambil keputusan. Samira memang selalu menempati nilai unggul di sekolah nya. Tapi tetap saja, itu hanya dalam sisi akademis tidak dengan kepribadian nya.
‘Argh! Tapi itu lama sekali’ Batin Samira membayangkan jika harus menunggu perceraian sampai dia lulus kuliah, namun karena sikapnya yang masih kekanakan Samira enggan berfikir panjang yang bisa membuat kepalanya jadi makin pusing.
‘’Samira, pukul tujuh malam keluarga Salendra akan makan malam bersama kita untuk membahas pertunanganmu. ’’ kata Mamah Wulan.
‘’Secepat itu mah?’’
‘’Tentu saja, secepatnya agar kau juga bisa mengurus perkuliahanmu di Jerman. Tapi jika kau ingin menunda kuliahmu di tahun depan juga tidak jadi masalah sayang. ’’
‘’Oh No! aku ingin kuliah tahun ini Mam, ’’ jawab Samira.
‘’Kalau begitu bersiaplah untuk nanti malam, pakailah pakaian yang sopan. ’’
‘’Aku tau Mah. ’’ Samira mencibir.
‘’Dan jangan pasang wajah cemberut, kan sebentar lagi anak mamah jadi istri orang, ’’
‘’Aaaaa mamah! Jangan menyebut kalimat itu didepanku, aku masih sulit untuk menerimanya. ’’ Kata Samira bergelayut manja pada sang Mamah, mendengar penuturan itu Mamah Wulan hanya tersenyum saja, ia mengerti perasaan hati anak gadisnya.
.
.
.
Waktu yang tidak ditunggu bergulir cepat bagi Samira, kini ia sudah rapih dengan bedak tipis dan liptint di bibirnya, Samira juga mengenakan dress di bawah lutut yang nampak anggun di depan cermin.
‘’Hufhh, apakah hari ini aku akan bertemu dengan calon suamiku? Pacaran saja belum pernah dan sekarang tiba-tiba mau menikah, ’’ Tangan Samira sedikit bergetar karena gugup.
‘’Samira? Kau sudah siap nak?’’ Tanya mamah Wulan.
‘’Sudah mah, ’’
‘’Yuk turun, keluarga Salendra sudah datang. Papah sedang menyambut mereka. ’’ kata Mamah Wulan.
‘’Baik mah. ’’ jawab Samira terdengar lesu.
Mamah Wulan berlalu dari balik pintu, kini Samira berdiri di depan cermin berusaha yakin dengan keputusannya, dia menarik nafas untuk bisa mengurangi rasa gugup yang mendera di dalam dirinya.
‘’Hai Jeng Wulan, apa kabar?’’ Tanya seorang wanita paruh baya yang bernama Maya.
‘’Kabar baik jeng Maya, Wihhh makin kinclong aja nih? Pasti sering perawatan ya? ’’ gurau Mamah Wulan.
‘’Ah bisa saja kamu jeng Wulan, eh Mana anak gadismu? Pasti cantik seperti mamahnya. Terakhir kali aku melihatnya ketika ia masih duduk di bangku SD kan? Siapa namanya aku lupa..’’ Mami Maya seperti sedang berusaha mengingat sesuatu.
‘’Samira tante. ’’ Kini Samira muncul menyalimi Mami Maya.
Cantik! Begitu fikir Samira didalam hatinya. Wanita paruh baya yang sedang bersama ibunya sangat cantik di usianya yang sekarang. Tidak terlihat begitu tua, wajahnya masih fresh dan berseri. Begitu penilaian Samira pada calon mertuanya.
‘’Nah ini orangnya, Wahhh tumbuh jadi anak gadis yang cantik ya kamu Samira. ’’ Mami Maya tersenyum puas saat melihat calon mantunya yang masih belia itu. Samira sangat anggun dan cantik, pasti anaknya akan menyesal jika menolak perjodohan mereka, Batin Mami Maya.
‘’Panggil Mami oke?’’ pinta Mami Maya.
‘’Hehe tante saja yaa tan, ’’ jawab Samira. Rasanya sangat sungkan untuk menyebut tante Maya dengan panggilan Mami. Dia kan belum sedekat itu untuk jadi menantunya. Batin Samira.
‘’Mami sayang! Kan Mami bentar lagi jadi mertuamu. ’’
‘’Baiklah Mami. ’’ Samira hanya bisa tersenyum kaku menanggapinya, tapi setidaknya dia bisa bernafas lega karena Mami Maya sangat humble orangnya, Samira bahkan sebelumnya sempat khawatir jika calon mertuanya akan jutek dan kasar seperti mertua yang ada didalam film ikan terbang.
‘’Ini anak gadisku Ndrew, gimana cocok sama anakmu?’’ kata Papah Abraham memperkenalkan putrinya.
‘’Cocok banget sih ini mah, aku yakin Vino suka sama anak gadismu. ’’ Timpal Papah Andrew.
‘’Samira, ayo kenalan dengan calon papah mertua kamu. ’’ ajak Papah Abraham yang tak lain adalah Papah Samira.
‘’Halo om, saya Samira. ’’ salam Samira sopan.
‘’Panggil papah saja Sam, bentar lagi kan saya jadi papahmu. Agar kamu juga bisa terbiasa. ’’ papah Andrew tersenyum lebar, menampilkan guratan senyuman di pipinya.
‘’Ndrew! Kamu membuat putriku malu, lihatlah pipi nya jadi merona hahaha. ’’ Kata Papah Abraham meledek Samira.
Mendengar penuturan sang Papah, Samira hanya bisa mengomel dalam hatinya, bisa-bisa nya papah Abraham membuat dirinya semakin malu, batin Samira.
‘’Yukk mari kita duduk di meja makan. ’’ Ajak Papah Abraham.
~~~~~~~~~~
‘’Jadi kamu yakin mau menikah di usiamu yang masih muda Samira?’’ Tanya papah Andrew di tengah perbincangan mereka.
‘’Yakin Pah, saya akan belajar jadi istri yang baik. ’’ Kata Samira sekenanya, padahal kata-kata itu sangat berbanding terbalik dengan isi hatinya.
‘’Baguslah, hidup itu memang harus terus belajar. Saya yakin Davino juga akan belajar untuk jadi suami yang baik untukmu, dan yang paling utama kalian harus saling belajar mencintai. ’’ jelas papah Andrew.
‘’Kalau boleh tau, Davino kenapa tidak ikut pak Andrew?’’ Tanya Mamah Wulan.
‘’Kebetulan Davino sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan bu Wulan, Davino sedang sangat sibuk, dia juga tidak bisa ambil banyak cuti untuk pekerjaannya, tapi jangan khawatir, dia sudah menyetujui pernikahan ini dengan Samira, dan mungkin Davino akan bisa hadir di hari pernikahan mereka saja. ’’ jelas Papah Andrew.
‘’Itu bagus Pak Andrew, menjelang hari pernikahan sebaiknya mereka memang tidak perlu bertemu, kalau kata orang dulu si namanya di pinggit. ’’ jelas Mamah Wulan.
‘’Tapi kami sekeluarga mengucapkan permohohan maaf lho jeng, bukan kami tidak menghargai keluarga pak Abraham. Tapi Davino tidak bisa melalui proses hari pertunangan, dia menyarankan untuk langsung menikah saja, setelah itu Samira akan segera di boyong ke Jerman. ’’ jelas Mami Maya.
Uhukkk uhukkkk..
Samira tersedak air liurya sendiri, ia masih sangat terkejut, ternyata langsung secepat itu dia akan menyandang status sebagai istri, tanpa melalui hari pertunangan lebih dulu? Gila! Bukan! Ini sih namanya GILA BANGET!
~~~~~~~~
POV Samira,
Kenalkan aku Samira Aretha, tahun ini usiaku menginjak 18 tahun, tepat di tahun kelulusan ku sebagai siswi SMA, dan tahun ini pula aku meraih perguruan tinggi sebagai mahasiswi. Oh No! Bukan hanya itu! tahun ini pula aku harus menikah sebelum bisa berkuliah di kampus impianku.
Pernikahan yang aku impikan tampak sirna di depan mata, bukan karena dekorasi nya yang kurang mewah, tapi tentang dengan siapa aku akan menikah. khayalanku dulu yaitu aku akan menikah dengan orang yang aku cintai, tapi boro-boro aku cintai, bagaimana wajahnya pun aku tidak tau.
Aku bahkan sangat terkejut saat Papah Andrew mengucapkan usia anaknya. Apa kalian tau berapa umur laki-laki yang akan jadi calon suami ku itu? 30 tahun!! Oh God! Mendengar itu rasanya roh ku langsung terangkat dari ubun-ubun, aku memang sudah menerima jika aku harus menikah agar bisa kuliah di Jerman, namun aku tidak mengira jika aku akan menikah dengan om-om! Ya om-om! Usia kami terpaut 12 tahun! Oh tuhan sadarkan aku dari mimpi buruk ini.
Bagaimana aku menghadapinya nanti? Dan bagaimana rupanya? Buncit? Berkumis? Gaya nya norak? Ala bapak-bapak? Gusti nu agung kumaha ieu?! Hufhhh,, nasi terlanjur sudah jadi bubur.
Aku mencoba memejamkan mataku di atas ranjang, semoga hari ini cepat berlalu, setidaknya aku butuh ketenangan saat ini.
Malam berganti pagi, rasanya baru tidur sebentar namun Mamah sudah membangunkanku.
‘’Sayang, pernikahanmu maju minggu depan. ’’
‘’HAH?? Seriously? Mahh kan perjanjiannya dua bulan lagi, kenapa jadi minggu depan? Mentalku belum siap mah. ’’ jujur saja, Aku begitu terkejut mendengar penuturan Mamah, benar-benar belakangan ini mentalku di obrak abrik oleh keadaan.
‘’Sabar sayang, Davino tidak punya banyak waktu, dia hanya dapat libur minggu depan. ’’ jawab Mamah.
‘’Kenapa hanya memikirkan laki-laki itu mah, tapi perasaanku tidak kalian perhatikan? ’’ buliran air mataku terasa hangat membasahi pipi ku yang mulus, aku benar-benar belum siap.
‘’Maaf kali ini mamah tidak bisa berbuat apa-apa Samira, pernikahan ini juga sudah kamu setujui, mau tak mau harus tetap di jalani, jangan fikirkan menikahnya, namun fikirkan apa yang bisa kau dapat setelah menikah, kamu bisa langsung urus pendaftaran kuliah mu, dan Davino juga akan membantumu sayang. Dia laki-laki dewasa yang bisa menuntun dan mengarahkanmu. Dia bisa mempermudah semuanya.’’
‘’Mah..hikss..’’ aku tidak tahan.
Aku menangis tersedu dalam pelukan mamahku. Kenapa bisa secepatnya ini? Aku benar-benar belum siap untuk berganti status menjadi istri orang.
"Tidak ada acara pertunangan. Minggu depan Davino akan datang dan langsung ijab kabul, " Ucap mamah seraya mengelus punggungku. Mendengar itu sontak tangisanku kian menjadi.
"Kenapa kalian tidak memberikan ku sedikit waktu mah? " Tanyaku dengan suara tercekat.
"Maaf sayang, keputusan keluarga Salendra sudah papah setujui. Davino sangat sibuk disana. Ia tidak bisa mengambil cuti terlalu banyak. Hanya bisa cuti 2 hari di hari pernikahan mu saja. "
.
.
.
Pov Samira,
Seminggu berlalu begitu cepat bagiku. Tepat hari ini, hari H pernikahanku dengan laki-laki bernama Davino. Laki-laki yang usianya terpaut 12 tahun denganku.
Jika di tanya apakah aku siap? Jawabannya tidak!
Aku sama sekali tidak siap dengan pernikahan ini. Tapi apa boleh buat. Aku harus berkorban demi bisa memenuhi impianku.
"Calon mempelai sudah datang, bersiaplah! " Kata Tante Luna padaku. Aku hanya terdiam menatap wajahku di depan cermin. Pernikahan kami sederhana, apalah arti pernikahan bak di negri dongeng tapi dengan pria yang tidak sama sekali aku cintai?
"Sam, calon suami mu sudah duduk di depan penghulu. Tetaplah disini sampai ia menyelesaikan kalimat ijab kabul nya. " Mamah memelukku dengan linangan air matanya.
"Mahh.. Hiksss… " Aku kembali menangis. Jujur saja rasanya aku ingin kabur dari pernikahan yang tidak diinginkan ini.
"Jangan menangis. Nanti riasanmu luntur! " Mamah memegang pipiku dengan senyum yang di paksakan. Aku sangat yakin jika mamah masih berat untuk melepaskku sebagai anak gadisnya.
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA, SAMIRA ARETHA BINTI ABRAHAM KUSUMA DENGAN MAS KAWIN TERSEBUT DIBAYAR TUNAI"
Degghh,
Jantungku terasa berhenti berdetak ketika pria itu menyebut namaku dan nama papah di ijab kabul nya.
Aku memang tidak bisa melihat rupanya, tapi suara itu begitu nyaring karena menggunakan mikrofon.
"BAGAIMANA SAKSI? SAHH??? "
"SAHHH!! "
"ALHAMDULILLAH.. "
"Duduklah di samping suamimu. Biar pak ustad membacakan doa untuk kalian. " Kata mamah sambil mengusap bahuku.
"Aku? "
"Mau peluk cium. " Ucap Samira dengan manjanya membuat Davino langsung merengkuh tubuh istrinya dengan gemas. Entah siapa yang memulai, tapi bisa dipastikan itu diawali oleh Davino yang menempelkan bibirnya di atas bibir sang istri. Samira melebarkan matanya saat Davino tiba-tiba menempelkan bibir nya di atas bibir Samira. Tentu saja, meski sudah pernah berciuman, namun rasanya selalu menggetarkan jiwanya. Apalagi sekarang, mereka baru saja saling berbincang ringan dari hati ke hati. Samira sedikit terkejut sebelum akhirnya mampu menetralkan dirinya. Samira memejamkan matanya, melihat sang istri yang seolah memberi lampu hijau. Kini Davino, mulai berani untuk menggerakan bibirnya di atas bibir Samira. Davino memagut dan menghisap bibir yang jadi candu dan kerinduannya. "Aku mencintaimu Samira. " Ucap Davino melepaskan pagutannya. ""Aku juga mencintai Om. " Balas Samira yang padahal hatinya bergemuruh hebat didalam sana. Kemudian, Davino kembali melahap bibir ranum sang istri. Di
"Akhh Om… uhhh, geli banget. "Tok, Tok, Tok!! TOK, TOK, TOK!!!! "Shit! Pengganggu saja! Sepertinya kita harus pindah rumah agar tidak ada yang mengganggu. " Keluh Davino. Davino melangkah lebar dengan mulut yang terus menggerutu kesal. Siapa di balik pintu sana yang berani mengganggu kemesraan nya dengan sang istri? Jengkel sekali. Ingin rasanya mengabaikan, tapi ketukan pintu dan suara bel itu justru semakin bising dan mengganggu. Cklek, "Ada apa?! " Tanya Davino ketus dengan raut wajah tak bersahabat. "Dokter Vander? " Ucap Davino mengendalikan emosinya, dia harus profesional untuk teman seprofesi nya. "Dokter Davino, maaf mengganggu waktunya. Tapi kita ada panggilan dari rumah sakit sekarang juga. Keadaan benar-benar genting, Dokter Deby sudah menghubungi anda namun tidak ada jawaban. Beruntung saya sedang dijalan menuju rumah sakit dan berbelok ke rumah anda untuk memberitahu soal ini. " Ucap Dokter Vander cepat karena situasi mereka benar-benar terdesak. Meski Davino seh
BUGH! "Fuck! " Umpat Davino seraya memegangi sudut bibirnya yang terkena pukulan tiba-tiba dari Arfa."Akh!! Mas Arfa!! Apa-apaan sih?! Om, sudah Om! Jangan bertengkar lagi. " Samira menatap marah pada Arfa yang tiba-tiba memukul suaminya, kemudian dia langsung menghadang tubuh Davino yang siap menyerang Arfa. "Sudah, tenang. " Kata Samira menenangkan suaminya, sementara Davino langsung diam ketika Samira memeluknya dari samping, sepertinya Davino sudah menemukan pawangnya. "Dia menyakitimu lagi Mir? " Tanya Arfa nyalang menatap Davino yang tak kalah sengit menatap tajam. "Mas maaf, sepertinya aku salah paham. Om Davino tidak menyakitiku, maaf ya Mas sudah membuat khawatir. Sampaikan maafku juga pada Tante. " Ucap Samira dengan mata mengiba. Sungguh malu sekali, dia menyimpulkan terlalu cepat. Ketika Samira mendengar nama Dinha disebut, dia langsung mengirimkan pesan pada ibunya Arfa jika Davino kembali membohonginya. Tapi ternyata semua hanya salah paham ketika Samira melihat b
"Makan yang lahap ya, ini jus buah untukmu. Katakan apa yang kamu mau? Aku pasti akan mengusahakan nya, paham? " Davino bertutur begitu lembut diiringi senyuman hangatnya, dia mengusap perlahan perut Samira yang masih rata, sementara Samira terdiam merasakan sentuhan hangat dari suaminya. Andai sosok Dinha tidak pernah ada, mungkin masa kehamilan di trimester pertamanya akan terasa hangat. Namun sayang, setelah kejadian itu, Samira justru lebih menutup dirinya, seseorang yang biasanya ekspresif itu, kini nampak pasif. Samira hanya mengangguk patuh, beberapa hari belakangan ini, Davino benar-benar memperlakukannya bak tuan putri. Mual sedikit saja Samira langsung dapat perhatian intens, Davino bahkan selalu memberinya pijatan setiap malam sampai dia benar-benar tertidur lelap. "Aku senang kamu kembali, aku kacau saat kamu pergi Mir. " Davino membawa istrinya ke dalam dekapannya, entah sudah berapa puluh kali Davino mengatakan itu. Tapi sepertinya, laki-laki itu tidak pernah bosan m
"Wajahmu tampak pucat, langsung istirahat ya? Atau mau makan dulu? Kamu sudah makan belum? Mau makan apa? " Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Davino ketika mereka sudah tiba di rumah. Rumah yang Samira tinggalkan sejak tiga minggu yang lalu. Selama perjalanan, Davino merasa cemas pada gelagat Samira yang terlihat tidak nyaman, sesekali wanita itu memegangi perutnya, sesekali terlihat meringis, dan sesekali terlihat sedang menahan mual. Tapi Davino urung untuk membuka pertanyaan, dia masih sangat terbebani dengan perasaan bersalahnya pada sang istri. Sampai tiba dirumah, barulah Davino menumpahkan segala pertanyaan yang ia tahan sejak perjalanan tadi. Samira menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, membuat Davino tidak puas dengan jawaban istrinya, Davino memegangi kedua bahu Samira dari belakang seraya mengelus nya begitu lembut, menggiring Samira ke dalam kamar mereka, kamar yang terlihat kacau tidak seperti biasanya. Samira sampai diam sejenak mendapati ruangan yang biasanya
Hari ini, Davino memutuskan untuk menjemput istrinya, tiga minggu sudah ia tidak melihat Samira, dan hari ini dia harus membawa pulang sang istri. Tidak bohong, ada rasa rindu yang terselip di bagian dalam perasaannya, ada rasa kecewa dan amarah yang ingin ia ceritakan pada sang istri, kini perasaan dan pikirannya mantap untuk mempertahankan rumah tangga mereka, Davino agaknya telah mencintai istri kecilnya meski tanpa ia sadari kapan cinta itu tumbuh dalam hatinya. Dan nampaknya, ia sedang mematahkan statement 'Jika laki-laki hanya jatuh cinta sekali seumur hidup, sisanya hanya melanjutkan hidup. ' karena di kehidupannya yang sekarang, dia masih mencintai wanita lain selain cinta pertamanya. Semua bisa terasa jelas, jika kisah masa lalunya sudah selesai, Davino tidak lagi menginginkan Dinha ataupun kisah kenangan mereka. Dia sudah menutup buku tentang masa lalunya. Davino hanya menginginkan istrinya untuk merajut kisah cinta yang sempurna dalam ikatan janji suci pernikahan, untuk di