"Kamu sudah menghancurkan rumah tanggaku sekali. Jangan harap kamu bisa mengahncurkannya sekali lagi. Dasar pem.bu.nuh!" Kiara tak lagi menahan diri untuk meluapkan emosinya. Selain lama ia mencoba untuk melupakan semua kisah pilu masa lalunya. Namun dengan berani dan percaya diri wanita penyebab kehancuran rumah tangganya justru kembali dan ingin merebut kembali seseorang yang pernah ia rebut. Kedua mata Paurina membelalak. Kedua tangannya terkepal di atas meja dengan sorot mata tajam. "Aku bukan pembunuh!" teriaknya tanpa sadar hingga beberapa pengunjung kafe yang sedang menikmati sarapan menoleh padanya. "Kamu merebut suamiku lalu dengan sengaja menabrakku hingga aku keguguran dan kehilangan bayiku. Apa namanya kalau bukan pembunuh?" Suara Kiara tidak terlalu keras, tapi ia menekan setiap kata hingga membuat orang-orang yang mulai penasaran menatapnya dengan tatapan ingin tahu. Paurina samakin emosi. Tangannya terangkat hendak melayang ke pipi Kiara. Spontan kedua mata Kiara la
Mendadak Kiara mengingat bahwa ada Liana diantara mereka. Spontan ia menyenggol sepatu Damian dengan sepatunya untuk tidak melanjutkan berbicara lagi. Damian paham. Dia langsung fokus pada pembahasan utama lagi. Namun sebuah notif pesan di HP Kiara membuyarkan konsentrasi keduanya. Kiara termenung di balkon kamarnya. Merasakan lembutnya angin menerpa kulit wajahnya yang polos tanpa make up. Sepulang dari kantor tadi, sikap Kiara memang berubah pendiam. Samudra hanya diam. Bukan karena tak peduli pada sang istri. Dia hanya bingung saja dengan situasi ini. Tadi siang waktu di kantor masih baik-baik saja tapi sekarang wanita yang sudah menduduki kita pada hatinya itu mendadak diam seribu bahasa.Ketika di rumah Samudra memilih untuk menyibukkan diri di ruang kerja sembari membiarkan sang istri menikmati waktu sendiri. Berulang kali Kiara menarik nafas panjang seolah ingin membuang sesak yang menghimpit dadanya. Isi pesan misterius tadi siang benar-benar sudah menjajah kepalanya sehingg
Kiara memutar otaknya dengan cepat untuk meredam kecemburuan suaminya. Dia tahu apa yang dilakukan Damian kali ini memang terlalu nekat. Namun ia juga tak berani untuk menegurnya terlebih orang itu adalah Damian. "Mas, Kami mau ada meeting sebentar lagi. Hanya saja Kak ... eh Pak Damian datang terlalu pagi sehingga membawa sarapan. Bu-bukankah begitu, Pak?" Kiara menatap Damian dengan tatapan seolah meminta dukungan. Beruntung Damian sangat mengenal dan memahami Kiara. Sehingga kode melalui tatapan mata itu bisa ditangkap dengan mudah. "Ya. Kebetulan saya menginap di hotel dekat sini. Jadi karena saya malas sarapan sendiri saya sengaja membawa sarapan banyak ke sini. Mari Pak Samudra, kita bisa sarapan bersama." Damian menunjuk sofa yang kosong untuk ditempati Samudra. "Tadinya saya mau meminta tolong sekretaris Kiara ... Bu Kiara untuk memanggilkan anda. Tapi Anda sudah di sini."Damian mengatakan itu dengan sangat tenang. Berbeda sekali dengan Kiara yang tampak gugup. Andai Kiar
Pagi ini udara terasa segar. Aroma hujan sisa-sisa semalam masih terasa. Mentari pagi malu-malu menampakan diri di balik celah dedaunan. Kiara sudah siap untuk berangkat ke kantor bersama dengan suaminya. Sedangkan Cantika untuk hari ini langsung aja diliburkan mengingat peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Kedua orang tua gadis kecil itu merasa situasi belum aman untuk melepaskan buah hati mereka kembali ke sekolah. Tadi pagi selepas salat subuh Kiara menceritakan pesan ancaman yang ia terima semalam kepada suaminya. Dan akhirnya diputuskanlah bahwa Cantika tidak di sekolahkan di sekolah umum lagi melainkan homeschooling dengan mengundang guru privat ke rumah. Awalnya bocah kecil itu menolak karena dengan sekolah di rumah pasti tidak bisa bertemu dengan teman-temannya. Namun setelah diberi pengertian akhirnya dia mau menerima walaupun dengan berat hati. "Papa sama Mama berangkat dulu ya sayang. Cantik baik-baik di rumah. Dua hari ini nanti bebas bermain apa saja di rumah sambil
"Kamu nggak papa, Sayang?" tanya Samudra tanpa bisa menyembunyikan kepanikan dari wajah tampannya.Kiara terbengong-bengong melihat sikap suaminya yang tidak biasa. Hingga suara Cantika yang menginterupsi mereka membuat kesadaran Kiara kembali. "Papa, tadi kita melihat orang yang seperti tante jahat!"Samudra langsung menatap sang buah hati dengan tatapan tak kalah khawatir. Lalu menoleh lagi pada sang istri dan bertanya melalui tatapan mata. "Mending kita masuk dulu deh, Mas," usul Kiara. Samudra mengangguk. Benar apa yang dikatakan sang istri. Saking paniknya mendengar laporan dari salah satu anak buah yang mengawal Kiara, Samudra sampai lupa kalau mereka masih berada di luar rumah. Akhirnya mereka masuk ke rumah beriringan. Sementara Cantika berlari lebih dulu karena sudah tak sabar untuk membuka barang-barang yang dibelinya.Sesampainya di ruang tengah, Samudra meminta ART untuk membuatkan minum untuk mereka berdua. Ia duduk di samping sang istri yang masih terlihat sedikit sho
Paurina menatap Kiara dengan senyum sinis. Namun dia mencoba untuk menebalkan muka demi tujuan yang ingin dicapai. Dia duduk di kursi yang berhadapan dengan Kiara meski tahu wanita berhijab itu tampak keberatan. "Maaf ya, sepertinya kita tidak seakrab itu hingga menghabiskan waktu bersama." Entah kenapa Kiara merasa jengkel dengan wanita di hadapannya ini. Paurina kembali menebar senyum andalannya. Senyum kepura-puraan yang hanya dirinya dan Tuhan yang tahu kalau dirinya tidak tulus. "Kalau begitu gimana kalau mulai sekarang kita berteman?" Paurina mengulurkan tangan. "Namaku Paurina, Kamu bisa panggil aku Rina."Kiaw menatap tangan yang terulur di hadapannya. Tidak langsung menerima uluran itu. Namun ia menatap gelang yang melingkar di tangan wanita berambut blonde itu. Kedua matanya membola saat mengenali gelang tersebut. Itu adalah gelang yang dibeli suaminya dulu. Gelang yang sama yang membuatnya salah paham karena ternyata bukann dibelikan untuknya. Perasaan Kiara menjadi sem
Kedua mata wanita itu membola mendengar permintaan itu. "Kau!"Bukannya takut, lelaki yang sangat berkuasa itu justru tersenyum misterius. Di kepalanya sudah tersusun banyak rencana untuk membuat wanita di hadapannya ini takluk di bawah kekuasaannya. Walaupun sebal tapi wanita yang kini bernama Paurina itu harus menyetujui demi terwujudnya keinginan. Dendam, kebencian dan obsesi sudah membutakanya hingga menghalalkan segala cara. Tak peduli jika dia harus mengorbankan orang lain yang tak berdosa. "Bagus. Itu baru wanitaku!" Lelaki berkuasa itu bangkit lalu menyeret tangan Paurina untuk mengikutinya. Luasnya rumah ini membuat Paurina harus menghafal setiap lorong yang mirip labirin itu. Salah belok bisa membuatnya tak bisa keluar dari sana. Namun jika dia jeli setiap lorong memiliki ciri khas tertentu. Namun hanya pemilik rumah dan para pekerja yang mengetahuinya. "Kita mau ke mana?" Paurina, wanita yang wajah cantiknya merupakan hasil operasi plastik itu tak bisa menolak. Meski da
"Kak Dam, kenapa baru muncul sekarang. Bukankah dulu kamu sudah berjanji untuk selalu ada untukku jika aku mengalami kesulitan?" Entah mengapa dada Kiara merebak. Di saat seperti itu, pintu ruangannya terbuka. Buru-buru Kiara mengusap pipinya yang basah. Mengingat setiap momen masa kecilnya membuat wanita itu tak bisa menahan haru. Setelah beratus purnama terpisah, kini mereka dipertemukan lagi dengan kondisi Kiara yang sudah memiliki suami. "Sayang, mau makan siang ke luar atau pesan antar saja?" Samudra masuk dengan senyum mengembang di bibirnya. Kiara yang menatapnya dengan tatapan kosong karena sedang memikirkan temn masa kecilnya terkesiap mendengar suara suaminya. Seketika dia mengucapkan istighfar dalam hati berkali-kali karena telah memikirkan lelaki lain. "Kayaknya makan di kantor aja deh, Mas. Pesan antar aja ya? Soalnya habis jam makan siang ada meeting lagi." Kiara menutup laptopnya lalu berjalan menuju ke sofa sambil meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Lal
Wanita itu segera berkutat dengan deretan angka yang membuat pusing kepala bagi yang tidak memahaminya. Namun Kiara sepertinya sangat menikmati pekerjaan sebagai CFO ini hingga tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.50. Liana kembali masuk."Sudah waktunya meeting, Bu."Kiara mendongak lalu merentangkan kedua tangannya yang mulai pegal. "Ah, iya. Ayo!"Kiara berjalan mendahului Liana. Saat memasuki lift, ternyata di dalam lift ada seseorang yang menatapnya dengan tatapan intens.Kiara menggeser tubuhnya hingga mepet ke dinding lift, sementara Liana berada di belakangnya. Pria yang sudah beberapa kali bertemu dengan Kiara itu memilih diam dan hanya melirik sekilas padanya. Pun dengan Kiara, dia hanya mengangguk hormat sebagai sapaan.Tak butuh waktu lama lift berhenti di lantai 13. Di lantai inilah ruang meeting dan aula berada. Kiara keluar lebih dulu diikuti oleh asistennya. Tak berselang lama lelaki dengan penampilan bak eksekutif muda itu juga keluar. Dia berusaha untuk me