Ditariknya kursi. "Bubur dekat persimpangan ya?" Sembari mendudukkan diri."Iya." Lalu, mendudukkan diri di kursi tepat di hadapan Ellio.Dilihatnya Ellio yang memakan bubur ayam lalu Riehla memakan bubur ayam miliknya. "Nanti saya pulang lebih awal," ujar Ellio."Ada apa?""Kita akan pergi belanja bahan-bahan masakan.""Pak Ellio pasti lebih sering makan di luar.""Iya. Lagi pula saya kurang bisa masak.""Pantas cuma ada mie instan." Lalu, memasukkan sesendok bubur ke dalam mulut.Hari semakin siang dan Riehla sedang menikmati hidup. Perempuan itu sedang terduduk di tepi kolam renang dengan kaki yang dibiarkan terendam di dalam air. Mengambil minuman bersoda kalengan yang ada di dekatnya, meminum sedikit, meletakkanya kembali."Riehla?" Sontak Riehla langsung menoleh ke arah belakang. Manik matanya bertemu dengan manik mata Yura yang berjalan ke arahnya.Riehla tahu Yura adalah Sepupu-nya Ellio tapi tidak menyangka jika perempuan satu itu bisa masuk ke Rumah Ellio. Sepertinya Ellio m
Sudah mulai masuk kerja, Riehla sedari tadi terlihat sesibuk biasanya. Bahkan mungkin lebih sibuk. Saat yang lain sempat pergi untuk makan siang, Riehla memilih untuk tetap di Kantor, mengerjakan pekerjaan yang menumpuk. Berjam-jam duduk di depan komputer, bangun hanya untuk membuat teh manis hangat.Intan taruh sebuah map di atas meja kerja Riehla. "Kamu gakpapa, La? Wajah kamu kelihatan pucat.""Gakpapa, Bu." Riehla berbohong. Padahal perutnya sejak tadi terasa nyeri. Bahkan sedikit pusing. Namun, Riehla tidak ingin orang lain tahu.Beberapa jam kemudian...Beberapa orang berdiri di depan lift, sudah waktunya pulang. Ada yang aneh dengan salah satu dari mereka. Wajah Riehla semakin pucat bahkan keningnya dibasahi peluh. Perut yang nyeri itu bertambah dan Riehla hanya bisa memegangi perut dengan salah satu tangan yang tidak mampu membuatnya merasa lebih baik. Berjam-jam ia biarkan perutnya terasa seperti itu bahkan melewatkan makan siang.TingPintu lift terbuka, menampakkan Ellio da
Mendengar perkataan Ellio, Riehla tersenyum tipis. Ia lupa jika dirinya telah dikenal sebagai Kekasih dari Ellio. "Saya gak mau Kakek melihat kamu sakit.""Sebaiknya Pak Ellio makan makanannya. Sebentar lagi Kan Bapak harus ke Kantor." Ellio berdiri dari duduk, berjalan pergi tinggalkan Riehla.Drrrtt drrrtt drrrttDiambilnya handphone yang ada di atas nakas. Layar menampakkan panggilan masuk dari sang Ayah. "Hallo, yah.""Apa kabar putri Ayah? Semuanya baik-baik saja kan? Gimana makannya, teratur?""Baik, yah. Gak ada yang perlu Ayah khawatirkan. Tentu saja Riehla makan dengan teratur." Tidak ingin berbohong, namun ia tidak bisa menceritakan yang sebenarnya."Putri kecil Ayah.""Iya, yah?""Kalau terlalu lelah, kamu bisa berhenti."Bibirnya memang menampakkan lengkungan manis, namun matanya berkaca-kaca. Ayah-nya adalah sesosok yang selalu mencoba mengerti. Bukan seseorang yang lebih mementingkan setiap pemikirannya."Mm. Riehla akan mengingatnya.""Ayah gak mau Riehla merasa tertekan
"Melihat Pak Ellio yang mengajak Pak Randy makan malam pasti hubungan kalian lebih dari rekan kerja." Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Randy itu sudah seperti keluarga.""Sepertinya gak ada orang lain yang bisa diajak makan bersama."Ellio letakkan gelas setelah meminum sedikit orange jus. "Benar. Kenapa? Saya terlihat menyedihkan?""Pak Ellio bisa telepon saya kalau lagi butuh teman makan." Sembari sedikit mengunyah."Saya kira kamu benci sama saya dan ingin menjauhi saya." Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kenapa saya harus benci Pak Ellio?""Karena selama ini saya selalu minta bantuan kamu. Seharusnya saya minta bantuan orang lain, bukannya gitu?""Memang. Tapi, berkat Pak Ellio saya bisa membayar biaya Rumah Sakit Ayah saya. Saya terima kasih sekali mengenai hal itu."***Duduk di sofa panjang yang sama dengan seorang perempuan bergaya modis yang nampak cantik di Ruang Kerja dengan jarak yang dibuat Ellio. Tentu Ellio tidak akan duduk dekat-dekat
Hari sudah gelap dan beberapa lampu Kantor telah dimatikan. Hampir semua orang telah pulang, dan Riehla baru akan pulang. Ini hari terakhirnya dan ia bukan tipe orang yang lari dari tanggung jawab. Riehla menyelesaikan semua pekerjaan sebelum meninggalkannya. Setelah merapikan meja, memakai jaket dan tas, tak lupa mematikan lampu, melangkah pergi dari sana.Berdiri di depan pintu lift dengan tangan yang dilipat di depan dada. Mata sembab itu mungkin sudah tidak terlihat, namun hatinya masih sama. Enggan meninggalkan Kantor tetapi tidak ada yang bisa dilakukan. Riehla ingat perkataan Ellio waktu itu. Ellio bilang jika Riehla tidak ingin merepotkannya lebih banyak, maka Riehla harus mematuhi apa yang dikatakan Ellio. Kali ini ia mematuhinya.Seorang pria dengan pakaian santai sedang duduk di bawah sinar yang lumayan minim cahaya. Duduk di sofa panjang, menuang wine ke dalam gelas yang sudah kosong. Diteguknya habis minuman beralkohol dalam sekejap. Ellio terlihat seperti banyak hal yang
Malam semakin larut dan Ellio masih berada di Kantor. Melangkah keluar dari dalam lift. Bukan berada di Lobi, Ellio berjalan ke arah Ruang Kerja para Editor yang sudah gelap. Melangkah masuk ke dalam sana, menyalakan lampu. Menoleh ke arah meja tempat Riehla, berjalan ke arah sana. Diperhatikannya setiap inci meja kerja. Ia terus kepikiran ucapan Intan dan Randy. Mengeluarkan handphone dari dalam saku jas. Mencari kontak Riehla, dan saat hendak menekan tombol panggilan keluar, jempolnya terhenti. Memasukkan kembali handphone ke saku.Riehla terbangun dari tidurnya. Mendudukkan diri, menoleh ke arah jam weker yang ternyata masih malam. Ia pikir sudah mau pagi. Mengambil handphone, melihat apakah ada notif yang masuk. Ada satu pesan dari Intan. Riehla langsung membukanya.'Sebaiknya kamu kembali ke Kantor. Saya sangat membutuhkan kamu. Biar saya bantu bicara dengan Pak Ellio'Ia juga ingin kembali, namun tidak bisa. Terkecuali Ellio memintanya kembali. Riehla tidak ingin terus merepotka
Di salah satu kursi Taman, sudah terdapat Ellio dan Riehla. Mereka yang sedang saling diam dengan jarak duduk yang cukup jauh. "Kamu pasti masih berpikir kalau saya keterlaluan."Riehla menoleh ke arah Ellio yang menatap lurus ke depan. "Keterlaluan? Menurut saya nggak. Pak Ellio berhak mengutarakan apa yang Bapak pikirkan, termasuk merekomendasikan buat saya berhenti."Ellio menoleh ke arah Riehla yang sedang menatapnya. "Seharusnya kamu marah. Bahkan kamu bisa saja memaki saya.""Kehilangan kesempatan merekrut Penulis ternama itu bukan hal main-main. Saya tahu kesalahan saya.""Sudah dapat pekerjaan?""Belum mencari.""Bagaimana ka—"Drrrtt drrrttSegera Riehla keluarkan handphone dari dalam saku jaket. Nampak panggilan dari Ayah-nya. "Hallo, yah.""Bisa pulang sekarang? Ibu tiba-tiba pingsan.""Iya, Riehla pulang sekarang." Lalu, mematikkan panggilan."Ada apa?" tanya Ellio."Ada sedikit masalah di Rumah. Kalau gitu saya duluan, Pak." Riehla tinggalkan Ellio.Ellio terus memperhati
"Siapa pria yang tadi mengantar kamu?" tanya Ayah-nya yang juga duduk di sofa panjang dengan manik mata tertuju pada layar televisi.Riehla tatap sang Ayah dari samping. "Ayah percaya kalau Riehla bilang pria itu atasan Riehla?""Melihat dari gaya berpakaiannya, Ayah percaya. Tapi ...." Ayah-nya menoleh ke arah sang putri."Tapi, apa?""Putri Ayah ini cantik dan baik hati. Seorang laki-laki pasti akan menyukainya. Gak menutup kemungkinan kalau Riehla punya hubungan dengan pria tadi."Riehla tersenyum. "Mmm ... melihat reaksi Ayah, pasti Ayah belum siap kehilangan anak Ayah yang cantiknya luar biasa ini.""Sudah sedewasa apa pun seorang anak, pasti akan tetap dianggap seperti anak kecil oleh orang tua-nya," kata Ibu-nya Riehla sembari jalan ke arah kedua orang itu. Mendudukkan diri di samping Riehla, sehingga Riehla berada di tengah-tengah Ayah dan Ibu-nya."Sampai kapan pun, walau Riehla sudah punya anak pun, Riehla tetap gadis kecil Ayah sama Ibu." Lalu, menatap Ayah dan Ibu-nya berg