Share

Bab 8 Ngapain?

Lorong utama Rumah Sakit dr. Moewardi sangat ramai dikunjungi pasien setiap hari. Begitu juga dengan pagi ini. Berbagai macam manusia dengan tingkah, gaya dan bau beraneka ragam sudah berkumpul di lorong itu. Padahal matahari belum sampai sepenggalahan di hari ini. Tak tahu mengapa hari ini begitu banyak manusia yang berlalu lalang dan berdiri di lorong utama.

Nadia berusaha berjalan di lorong utama menuju lobi dengan berhati-hati agar tidak berbenturan dengan orang lain. Sesekali dia menebarkan senyum kepada orang yang berselisih jalan dengannya, terutama dengan tenaga medis yang dikenalnya.

Gadis yang memakai baju dinas berwarna putih, lebih menyerupai seperti jas, ingin menuju ke ruangan administrasi. Ada beberapa berkas yang ingin dilihat. Ketukan sepatunya terdengar cepat, dia berjalan seperti biasanya, lincah dan gesit. Kelincahan juga teruji dengan menghindari beberapa orang di lorong yang berjalan dengan seenaknya. Tak memedulikan orang lain yang juga sebagai pemakai di ruang yang digunakan sebagai ruang penghubung antara ruangan sebelumnya dan lobi utama.

Tiba-tiba, langkahnya tersekat, ketika mendekati ambang pintu lorong menuju lobi utama. Beberapa detik kemudian, dia langsung berlari kecil dan bersembunyi di balik dinding, di sebelah ambang pintu yang membatasi ruangan lobi dan lorong utama. Dia sedikit mengintip.

"Ngapain dia di sini?" lirih Nadia pelan. Berbicara dengan dirinya sendiri.

"Siapa sih?" Terdengar suara yang bertanya di belakangnya.

"Astaghfirullah!"

Nadia terperanjat. Berdiri dan melihat ke arah belakang. Mengelus dadanya ketika melihat satu sosok di belakang tanpa sepengetahuan dirinya.

Ternyata... sudah ada Tisna, teman yang sekaligus menjadi perawat di bagian tempat dia bekerja, menempel di pinggangnya.

Sebelumnya Tisna juga mengintip seperti Nadia. Tapi posisi dia sedikit menunduk berada di pinggang dokter perempuan itu.

"Ish... Tisna, ngapain sih?"

"Lah... Bu Dokter yang ngapain?" Tisna balik bertanya dengan cepat.

"Aku melihat dokter spesialis yang aku ceritakan ke kamu kemarin."

Nadia mengatakan hal itu sedikit berbisik dan melanjutkan pengintaian. Kembali mengintip di balik dinding. Dia mengintip dengan sebelah mata. Hanya sebelah wajah yang terlihat di balik dinding. Sebelahnya lagi tersembunyi dengan rapi.

Begitu juga Tisna, kembali mengintai tapi posisi Tisna yang berada di pinggang Nadia, sangat berbeda, seluruh kepala dan lehernya terlihat jelas. Hanya badannya yang tersembunyi di balik dinding. "Yang mana? Pria yang tinggi dan memakai baju biru muda itu?" tanya Tisna dengan nada sedikit berbisik.

"Ya."

"Wah... tampan. Sangat tampan malah. Wajahnya seperti Aliando." Tisna spontan mengatakan kalimat itu setelah melihat wujud dari orang yang diintai oleh Nadia.

"Aliando... matamu!" teriak Nadia kesal. "Tapi... alisnya emang mirip sih..." Nadia menyangkal sendiri omongan yang dikatakannya di awal. Di kalimat terakhir, Nadia berkata dengan pelan dan sedikit tersenyum cengengesan.

"Eh... kita ngapain begini?"

Nadia baru sadar bahwa perilaku mereka sangat aneh di tengah keramaian di lorong rumah sakit. Padahal manusia yang ada di dekat mereka sudah memperhatikan perilaku aneh yang mereka lakukan dari beberapa menit yang lalu. Dia langsung bergeser ke dalam dan menarik kepala Tisna yang mencuat keluar dari dinding. Berusaha menegakkan tubuh temannya yang berprofesi sebagai perawat.

"Bu dokter yang duluan, kan?" tanya Tisna setelah berdiri di hadapan Nadia. Tubuhnya ditarik paksa oleh Nadia.

"Ah... kenapa kamu ikut-ikutan!" teriak Nadia dengan suara tak terlalu tinggi. Dia sadar bahwa orang-orang masih melihat aksi mereka.

Nadia keluar dari persembunyian, menarik tangan Tisna. Melalui ambang pintu penguhubung lorong dan lobi utama. Berjalan menuju pangkal lobi dan berdiri lima langkah di depan pintu penghubung itu.

"Ngapain, Bu Dokter?" tanya Tisna dengan nada keheranan. Tangannya masih ditarik oleh Nadia ketika mengatakan kalimat itu.

"Sudah... berdiri saja di sini sambil ngobrol," perintah Nadia.

"Ouh, iya," jawab Tisna cepat, menandakan dia setuju dan mengerti apa yang dimaksud dengan temannya yang dipanggil Bu Dokter. Dia berdiri menghadap ke Nadia. Jarak tubuh mereka sejengkal.

Mereka berdua berdiri berhadapan. Berpura-pura seperti orang yang sedang bercerita tapi kepala mereka berpaling lurus ke samping. Bukan bertatapan.

Nadia melihat laki-laki yang berdiri sekitar lima meter di hadapan mereka. Laki-laki itu sedang asyik bercerita dengan seorang dokter yang dikenal oleh Nadia, dokter yang juga bekerja di Rumah Sakit Dr. Moewardi.

Laki-laki yang berada di ujung lobi adalah dokter spesialis anak yang dikunjunginya tiga hari yang lalu yaitu dr. Arkan Wibowo. Mata Nadia tak lepas dari sosok yang membuat dia kesal pada saat itu.

Di sisi lain, berhadapan dengan Nadia, Tisna melihat ke arah sosok yang mereka intai dengan tersenyum simpul. Tubuhnya sedikit menggeliat. Entah apa yang dipikirkannya.

Di ujung lobi, setelah tak berapa lama mereka mengintai, Nadia melihat pemuda yang sedang berjalan mendekati dr. Arkan Wibowo dan memegang lembut bahu sosok itu dari belakang ketika mendekati lelaki yang berkarakter dingin, menurut Nadia.

Arkan Wibowo menoleh secara spontan karena setuhan di bahunya. Dia tersenyum manis. Melihat ke arah pemuda yang telah berada di sampingnya. Pemuda itu memiliki tinggi yang cuma beda sedikit dengan dr. Arkan, tapi mereka memiliki tubuh kurus yang sama.

"Itu perawat yang aku ceritakan semalam, Tis,” nyata Nadia bernada mendesis seperti ular yang sedang mengintai mangsa dan akan segera menyerang.

"Wow... mimpi apa aku semalam, pagi ini aku melihat dua malaikat di rumah sakit tempatku bekerja." Tisna mengeluarkan suara dengan nada yang penuh semangat. Lagi-lagi tubuhnya sedikit menggeliat.

"Hush...!" bentak Nadia.

Tisna terkejut dan menoleh ke arah gadis yang di depannya. Keningnya berkerut.

"Kayaknya cocok, Nad. Kamu dengan dokter itu. Aku dengan perawat itu."

Tisna melontarkan kalimat itu dengan mimik riang gembira. Dia sedikit melompat. Wajahnya sudah berpaling lagi ke dua subjek yang mereka amati.

"Kamu sudah tunangan!" seru Nadia dengan cepat.

"Aduh...."

Tisna menepuk jidatnya. Dia mengingat bahwa dirinya telah disegel. Tidak berstatus singel lagi. Wajah riang gembiranya berubah menjadi kelabu. Tubuhnya kaku tanpa ada gerakan menggeliat seperti yang dilakukan sebelumnya.

Nadia dan Tisna masih menatap lurus ke samping dengan posisi masih berhadapan. Mereka berusaha mengamati dengan seksama apa yang dilakukan oleh dokter dan perawat yang bertugas di rumah sakit lain, bukan di tempat Nadia dan Tisna bekerja. Setelah lima belas menit mengintai, akhirnya kegiatan mereka berakhir dengan bergeraknya dr. Arkan Wibowo dan perawatnya, menjauh dari lawan bicara mereka. Kedua lelaki yang memiliki ketampanan yang luar biasa, masuk ke dalam ruangan berikutnya mengikuti langkah lawan bicara sebelumnya yang juga berprofesi sebagai dokter di rumah sakit tempat Nadia dan Tisna bekerja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status