Share

Bab 9 Pesona

"Kita ambil sampel darah Dek Rafi ya, Mba?" Arkan menoleh ke arah Ibu pasien setelah memeriksa tubuh anak laki-laki yang berumur sembilan tahun. Berdiri menghadap ke Ibu Pasien.

"Tidak ada hal yang serius kan, Mas Dokter?"

Ibu pasien yang ternyata adalah Kakak Nadia menimpali pernyataan dr. Arkan dengan cemas.

"Mudah-mudahan tidak, saya hanya memastikan saja. Karena sudah seminggu dari pemeriksaan pertama, suhu tubuhnya kembali naik." Dokter Arkan memberi kode kepada perawat laki-laki yang berada di sebelahnya. Kode agar mengurus anak laki-laki yang sudah diperiksa olehnya.

Perawat yang bertubuh tinggi dan ramping, langsung merapikan pakaian anak laki-laki yang sedang berbaring dalam keadaan sadar. Perawat laki-laki yang memiliki rambut lurus dipotong pendek, membantu Sang Pasien duduk di atas tempat tidur yang dibalut dengan kain berwarna biru muda, pada gerakan selanjutnya.

Ibu pasien, berusaha mengangkat, kemudian memapah anak laki-laki yang kurus, setelah dia melihat dokter spesialis anak yang memakai baju kemeja berwarna otak udang itu duduk kembali di balik meja praktek. Kakak Nadia tersenyum tipis kepada perawat yang berdiri tegak di samping tempat tidur. Kemudian berjalan dengan memapah anaknya menuju kursi pasien di hadapan Sang Dokter.

Nadia terdiam di kursi tunggu, di depan meja praktek. Di sebelah kakaknya. Dia tak ingin banyak bicara. Menunggu kakaknya dengan sabar. Dia sudah berjanji dari rumah tak ingin terlalu banyak bicara ketika bertemu dengan dokter spesialis anak bernama Arkan yang menurutnya mempunyai sifat dingin dan sedikit angkuh.

Setelah pulang dari tempat praktek dokter spesialis ini -seminggu yang lalu- sebenarnya Nadia tak ingin kembali lagi membawa keponakannya berobat kepada dokter yang dilihatnya tiga hari yang lalu di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi. Alasannya karena kejadian seminggu lalu membuat kesan pertama yang tak baik ketika pertama kali berbicara dengan dokter muda ini.

Tapi... Nadin -Kakak Nadia- memaksanya untuk kembali ke praktek dokter spesialis anak yang ada di hadapannya sekarang. Nadin sepertinya sangat tersentuh dengan pelayanan yang diberikan oleh dokter muda itu. Selain itu, tampangnya sangat tampan, indah untuk dipandang, 'sekalian cuci mata,' kata Nadin.

"Percuma tampan tapi perawakannya dingin seperti es," cibir Nadia pada saat kakaknya mengatakan hal itu.

Karena Nadin terus meminta tolong kepada Nadia, akhirnya tubuhnya berakhir di kursi tunggu ruang praktek dokter spesialis anak yang memiliki rambut berbelah pinggir kanan tapi sedikit ikal, hari ini.

Sudah 30 menit Nadia berada di ruangan itu dan dia hanya diam membisu. Yang dilakukan hanya melihat gerak-gerik dokter dan perawat laki-laki sebagai asistennya, bekerja. Perawat laki-laki yang berada di ruangan itu adalah orang yang sudah sering dilihatnya bersama dr. Arkan.

Kali ini tak ada perawat perempuan di dalam ruang praktek. Selama Nadia melihat dan menganalisa gerak-gerik mereka berdua yaitu dokter spesialis anak dan perawat laki-laki yang berbadan kurus dan tinggi, Nadia kagum dengan cara kerja mereka berdua. Nadia melihat mereka sangat profesional dan mereka tidak berbicara masalah yang lain selain berhubungan dengan pekerjaan yang mereka lakukan pada saat itu. Padahal Nadia sudah melihat keakraban mereka berdua ketika di lapangan parkir dan ketika di lobi utama dr. Moewardi tiga hari yang lalu. Dari kejadian itu, Nadia bisa menyimpulkan jika mereka berteman dekat.

Nadia terkadang membandingkan cara kerja dirinya dan Tisna. Mereka terkadang sedikit keluar dari jalur ketika bekerja dan menghadapi pasien. Seperti, tak sengaja membicarakan hal-hal yang tak berhubungan dengan pekerjaan pada saat menghadapi pasien.

Kedua mata Nadia tetap menyorot ke arah dr. Arkan yang sekarang sudah duduk di balik meja praktek. Dia duduk di seberang dokter muda itu, dipisahkan oleh meja praktek, tepat di sebelah kakaknya yang sedang memangku anaknya. Kakaknya, Nadin sudah kembali duduk di kursi, pas berhadapan dengan dr. Arkan, memangku Rafi. Saat ini, pandangan Nadia tertuju kepada perawat laki-laki yang sedang melakukan pekerjaannya, membelakangi mereka bertiga. Dia sangat serius dan tidak ingin mencampuri urusan dokter dan pasien.

"Setelah dari sini, silakan ke Ruangan Sampling ya, Mba. Nanti darah Rafi akan diambil di ruangan itu?"

"Lamakah, Mas Dokter? Hasilnya langsung keluar?" Nadin sengaja memanggil dr. Arkan dengan sebutan mas dokter agar lebih akrab. Ada nada cemas dari pertanyaan yang dilontarkan.

Waktu di awal berbicara, -30 menit yang lalu- ketika bertemu dengan dokter berpenampilan rapi itu, Nadia mendelikkan matanya yang kecil, mendengar kakaknya memanggil dr. Arkan dengan sebutan Mas dokter. Tapi... belum selesai sampai di situ reaksi matanya, karena indra penglihatan itu semakin membesar ketika dokter spesialis anak, menimpali panggilan kakaknya dengan menyebutkan kata Mba.

Sekarang Nadia sudah mendengar kata itu, hampir lima belas kali selama 30 menit terakhir dan dia menanggapi ucapan kakaknya biasa saja, walaupun masih ada rasa geli di hati.

"Tergantung antrian, Mba. Kalau hasil, besok baru bisa diambil." Arkan menyerahkan kertas yang ditulisnya sedari tadi. Wajahnya serius. Tak ada senyum sama sekali.

"Besok?" Nadin terkaget ketika mengambil kertas yang diberikan Arkan. Melongok ke arah dr. Arkan.

Pemuda yang berkulit putih dan memiliki hidung mancung itu hanya mengangguk. Menatap ke arah Ibu Pasien. Lagi-lagi tak ada senyum di wajah. Dia juga tidak menanggapi rasa terkejut lawanbicaranya dengan ekspresi biasa saja. Tidak bertanya dan tidak menanggapi reaksi itu.

"Hanya mengambil saja kan, Mas Dokter? Tidak membawa Rafi lagi?" tanya Nadin dengan segera mengharapkan jawaban positif sesuai harapannya.

"Tidak perlu. Hanya mengambil hasil tes darah dan mengantarnya ke sini,” tukas dr. Arkan.

"Kamu aja Nad yang mengambil hasil tes darah. Kakak enggak mungkin menutup toko lagi besok," nyata Nadin, langsung menoleh ke arah Nadia.

"Apa? Dan besok aku harus bertemu lagi dengan dokter yang dingin ini?"

Nadia memandangi kakaknya seakan mau menunjukkan ekspresi wajah tak setuju.

"Ya. Dan mudah-mudahan tidak bosen bertemu dengan saya...!" celetuk dr. Arkan, memasang senyum yang sangat mempesona dan memperlihatkan senyum itu ke arah Nadia. Senyum pertama kali sedari tadi meladeni pasien yang dihadapannya.

Deg.

Wew...

Pria yang dianggapnya seorang dokter spesialis berkarakter dingin dan sedikit angkuh, ternyata mempunyai senyum yang sangat mempesona.

"Mudah-mudahan, besok, aku melihat senyum itu lagi."

Hati Nadia seperti melayang ketika melihat bibir yang tersenyum di wajah dokter muda yang menatapnya.

"Apa-apaan ini? Sadar kamu Nadia!"

Hati yang melayang itu seketika ambruk dan bertarung dengan sisi hati yang lain.

Hati Nadia terkalahkan karena senyum itu, akhirnya dia setuju atas permintaan kakaknya untuk mengambil hasil tes darah ponakannya. Tentu saja bukan karena permintaan kakaknya. Tapi karena senyum dokter spesialis anak. Namun, dia malu untuk mengakui hal itu. Disimpannya rasa yang baru saja menyisip di dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status