"dr. Arkan sedang istirahat, Mba."
"Tapi... sekarang sudah hampir jam 2 siang...."
"Biasanya setelah makan siang, dr. Arkan langsung Sholat Zhuhur, dia memang selesai istirahat jam 2 siang, baru kembali masuk ke ruang praktek."
Perawat perempuan yang berkacamata menjelaskan dengan lembut kepada Nadia.
Nadia manyun. Dia hanya bisa keluar dari tempat kerjanya pas istirahat juga. Itu pun... tadi dia izin keluar dari jam 11 siang agar bisa kembali dengan cepat. Ternyata jalanan macet, seharusnya perjalanan dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi ke Rumah Sakit dr. Oen Solo Baru,bisa ditempuh dalam waktu setengah jam, akhirnya menjadi satu jam perjalanan.
Nadia kembali ke Rumah Sakit Swasta yang berlokasi di Sukoharjo untuk mengambil hasil tes darah keponakannya. Sampai di Ruang Sampling, dia harus menunggu 1 jam lagi. Dan akhirnya hasil tes sudah keluar dan akan diserahkan
"Hai...."Arkan menyembulkan kepalanya dari dalam mobil melalui kaca jendela, keluar. Tersenyum manis. Wajah tampannya terpapar sinar matahari sore. Mobil berhenti di samping gadis yang ditegur.Nadia terkejut. Langkahnya terhenti. Menoleh ke arah asal suara."Bu dokter mau ke mana?"Arkan melihat ke arah gadis yang di tegur, sedang berjalan di lapangan parkir. Kedua mata Arkan yang indah dengan alis mata yang tebal, menatap dengan tatapan yang ramah."Eh... Pak Dokter. Saya mau pulang," tukas Nadia dengan cepat setelah menyadari siapa yang menegurnya dari dalam mobil. Gadis yang berprofesi sebagai dokter umum sedikit menunduk ketika melihat lelaki di dalam mobil."Panggil saja dengan nama Arkan. Ditambah kata Mas juga boleh."Arkan masih tetap berbicara dari balik jendela mobil yang terbuka lebar. Kedua matanya dengan alis mata yang tersusun rapi, seperti menggoda gadis ya
Nadia dengann cepat mengangkat handphone yang berbunyi di meja ruang tamu. Tertera satu nama di layar handphone. Nama yang tertera adalah nama seseorang yang menelepon dia dua malam yang lalu."Halo...."Gelagatnya sekarang sedang mempersiapkan hati yang sudah berdebar-debar."Selamat sore, Bu Dokter....""Ya. Sore juga, Pak Dokter."Nadia berusaha menjawab dengan santai."Saya sedang berada di Jalan Veteran sekarang ini. Rumah Bu dokter di bagian mana?""What?" batinnya menjerit.Nadia terdiam. Di sore Minggu yang tak ada angin atau hujan, dia seakan disambar petir di siang bolong."Halllllloooo...." Suara di ujung telepon bernada mendayu."Ehem... ya... halo...." Nadia gelagapan. Santai sorenya tidak seperti biasa. Sore ini dia sedang menikmati novel koleksinya."Saya sedang di Jala
Di ruangan kerja yang lumayan besar, hanya terdengar satu suara. Suara hiruk pikuk rumah sakit di luar ruangan sudah tidak terdengar lagi.Terdengar suara beberapa ketukan dari laptop di depan meja praktek. Laptop itu seakan tersiksa dengan ketukan jari yang cepat dan terlalu kasar. Jari-jari tangan yang bergerak dengan lincah mengetik sesuatu di laptop dan... terakhir menekan tombol enter dengan mengangkat tangan perlahan tapi jari telunjuk menekan tombol itu dengan ketukan keras pada akhirnya.Tuk.Nadia tampak kesal di balik meja kerja di ruangannya. Sudah tiga hari dokter spesialis itu tidak menghubunginya. Itu yang membuatnya kesal. Pertama kali, dokter muda itu datang ke rumah-Minggu sore-Nadia tak terlalu banyak berbicara karena Ibunya yang menguasai waktu pada saat itu. Dari pertama datang sampai dokter spesialis bernama Arkan itu pulang, selama 2 jam Ibunya ikut nimbrung ke dalam pembicaraan mereka. Nadia tak bi
Tok... tok... tok..."Ya. Masuk...."Nadia masih menundukkan kepala, menulis beberapa kalimat di atas selembar kertas yang ada di meja. Matanya fokus ke tulisan ketika mengatakan kalimat mempersilakan tadi.Terdengar suara pintu terbuka."Pasien selanjutnya ya, Bu Tisna?"Dokter umum yang masih fokus dengan kerjaannya, tidak mengangkat kepala sedikit pun. Pandangannya tetap ke kertas dan terus menulis di benda putih di atas meja praktek. Dia melontarkan kalimat pertanyaan tanpa melihat ke perawat yang tak lain adalah Tisna. Dia tahu pasti kalau yang mengetuk tadi adalah perawatnya. Dia hapal ketukan itu."Ada tamu, Bu dokter. Tapi bukan pasien...."Tisna berbicara sedikit pelan. Dia menyunggingkan senyum kecil. Kedua pundak sedikit naik ketika mengucapkan kalimat terakhir."Lantas...." Tangan Nadia masih sibuk menggoreskan pena ke kertas putih. Kepala belum j
Arkan duduk di depan teras rumah yang sederhana dengan tenang. Dia menyilangkan kakinya. Kaki kiri menjadi tumpuan. Pria yang memakai baju kaos dan celana jeans, sedang memegang handphone-nya saat ini. Mengetik sesuatu di chat room."Sudah lama datang, Nak Arkan."Arkan terkejut. Handphone yang dipegang hampir lepas dari tangan. Kepalanya langsung ditolehkan ke samping.Tiba-tiba wanita setengah baya keluar dari ruangan membawakan minuman dan sedikit makanan ringan. Tersenyum melihat tingkah tamu putrinya sembari meletakkan baki yang tertata beberapa benda di atasnya."Oh, Tante. Baru saja, Tan."Pria yang memiliki dada bidang, langsung berdiri dan menyalami wanita setengah baya. Dia berusaha untuk menetralisir rasa kaget yang mendera."Ayo, silakan duduk. Nadia di mana ya?"Wanita yang merupakan Ibu Nadia bertanya ke arah Arkan, sembari duduk di kursi plast
"Kenapa aku harus dibawa-bawa sih?" ujar Tisna sambil berjalan mengimbangi langkah Nadia."Sudah... ikut saja.""Tapi... aku tidak mau menjadi orang yang ketiga, Nad."Tisna berbicara dengan nada yang serius seolah-olah dia emang pantas untuk menjadi idola. Gadis yang berprofesi sebagai perawat mengikuti Nadia dari belakang."Itu mereka!"Nadia tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh temannya barusan. Tapi, dia malah menunjuk ke restoran ternama yang ada di salah satu mall terbesar di Kota Solo dengan bibirnya."Mereka...?"Tisna memandang ke arah yang dimaksud oleh Nadia.Duduk 2 orang lelaki yang memiliki tinggi hampir sama. Dua orang yang terlihat menawan. Sepertinya kedua lelaki ini sangat ekstra menjaga penampilan tubuh mereka.Satu sosok dengan rambut hitam yang sedikit ikal, tertawa ke arah lelaki satunya lagi. Di sa
"Nad.""Ya, Mas....""Malam minggu ini aku jemput kamu di rumah ya?""Mau kemana, Mas?""Ke rumahku.""Ke rumah, Mas Arkan? Ngapain?""Mau memperkenalkan kamu dengan Mamaku.""Astaghfirullah....""Haloooo... Nadia....""Ouh... iya mas. Ya sudah....""Oke ya. Aku masih ada kerjaan."Arkan menutup telepon.Nadia pucat. Dia terbengong.***Baru beberapa kali Nadia bertemu dengan Arkan. Belum bisa dihitung dengan jari yang ada di kedua tangannya. Tapi kali ini, dokter spesialis yang masih muda mengajaknya untuk bertemu dengan ibunya.Ibu Arkan adalah seorang janda yang Sudah 26 tahun ditinggal suaminya. Ayah Arkan meninggal ketika dia berumur 3 tahun. Ibunya yang ditin
Dengan canggung, Nadia masuk ke dalam rumah yang lumayan besar. Setelah melalui taman depan rumah yang lumayan luas, Nadia masuk ke ruang tamu dari pintu utama.Ruang tamu yang bercat dominan putih sangat rapi dan teratur. Ada dua set sofa di ruang tamu. Satu set sofa berwarna abu-abu dan yang satunya lagi berwarna putih bersih. Di sofa berwarna putih --di sebelah kanan ruang tamu-- telah duduk seorang wanita yang sudah berumur, sedang mengaji. Wanita yang berusia mendekati 70 tahun ini masih terlihat segar dan sehat. Wanita tua yang masih menggunakan mukena, tertunduk, membaca buku yang ada hadapannya.Jantung Nadia berdetak sangat hebat ketika melihat satu sosok yang entah mengapa sangat ditakutinya saat ini. Bukan takut karena seram, tapi takut jika dia berbuat salah dengan sikap dan perilakunya ketika berhadapan dengan wanita ini."Assalamu'alaikum, Umi."Arkan membuka kata setelah masuk ke dalam ruangan.