Share

Terjebak Utang Rentenir
Terjebak Utang Rentenir
Author: aicha aisah

Bab 1 Niat Tersembunyi

“Tidur sama gue, utang lo lunas.”

Plaak.

Satu tamparan kulayangkan pada pemuda jangkung di hadapan. Dia menyeringai, badannya semakin mendekat dan kini sukses mengurungku yang kini terjebak di sudut gudang.

Tuhan, harusnya aku curiga saat dia meminta ketemuan di ruangan pengap ini.

“Bahkan gue bisa jadi langganan, lo!” bisiknya serak di telinga.

Napasku memburu. Dada terasa terbakar dan sesak sekaligus.

Brengsek! Alex benar-benar kurang ajar. Aku salah mengira. Kupikir pertolongannya kemarin murni karena empati. Ternyata ada udang di balik batu. Dia sepertinya sudah merencanakan ini.

“Ayolah, Ra, gue tau kalau lo tadi sempat tanya-tanya Sarah tentang kerjaan sampingannya.”

Dengan berani Alex mulai membelai pipiku. Kedua tangan yang tadi sempat mendorong tubuhnya justru dicekal kuat. Mata sudah panas dan siap meneteskan butiran bening.

Tahan, Maura, tahan. Jangan sampai pemuda kurang ajar ini senang melihat ketakutan di wajahmu.

“Beri gue waktu seminggu. Gue pasti bakal balikin duit lo.”

Alex terkekeh. Pandangannya penuh dengan ejekan. Aku sangat bersyukur karena akhirnya dia melepas cekalannya dan bergerak mundur.

Alex berdiri angkuh sambil melipat kedua tangannya di dada. Dari jarak dua langkah, dia menatapku tajam. Memindai dari atas sampai bawah. Lagi-lagi seringai melecehkan tersungging di bibirnya yang kecokelatan.

“Dalam sebulan aja lo gak bisa dapetin tu duit, sekarang lo bilang seminggu? Jangan ngimpi, Ra. Bahkan lusa lo masih harus membayar utang bokap lo yang masih tersisa empat puluh juta sama tua bangka itu.”

“Gue minta seminggu, oke?”

Aku berkata sekenanya. Padahal tidak tahu dari mana akan mendapatkan uang secepat itu. Sepuluh juta dalam seminggu. Ditambah cicilan yang harus kubayar lusa.

Aku masih memberanikan diri membalas tatapan dingin Alex. Pemuda itu, dengan cepat sudah kembali merengkuh pinggangku sampai tubuh kami tidak lagi berjarak.

“Jangan kurang ajar, Lex!” seruku berusaha melepaskan tangannya.

“Kenapa? Lo mau teriak? Teriak aja! Gak ada yang bakal denger suara lo.”

“Bukan ini awal perjanjian kita, lo bilang mau kasih kelonggaran buat lunasi utang.”

“Lo percaya? Kasian,” ejek pemuda sialan di depanku ini. Lagi-lagi dia menyeringai. Memutus jarak antara wajah kami dan ... sesuatu yang basah dan kasar menyentuh bibirku. Seketika aroma tembakau tercium tajam.

Alexander Wiguna menciumku.

Sesaat aku terpaku. Masih berusaha mengumpulkan kesadaran yang tiba-tiba kabur, tapi sialnya itu digunakan Alex untuk semakin memperdalam ciumannya. Melumat lembut bibirku yang bergetar. Tubuhku tiba-tiba menjadi lemas. Ini adalah kali pertama ada lawan jenis yang menyentuhku dan rasanya ... dada seperti mendidih siap memuntahkan lahar panas.

“Aaaw!” pekik Alex sambil mengusap bibirnya yang kini berdarah karena gigitanku.

Dia menggeleng melihatku. Wajahku pasti sudah semerah tomat. Tangan mengepal. Satu pukulan siap kulayangkan padanya. Namun, pemuda itu gesit mengelak. Sekarang justru tanganku yang di putar dan dikunci di belakang punggung.

“Lo mau maen kasar, Ra!” desisnya tajam.

“Lepasin gue, lepasin gak!” Aku terus meronta. Tidak peduli dengan pergelangan tangan yang terasa nyeri.

“Semakin lo ngelawan, gue bisa lebih berani dari tadi. Dengan paksa mengambil apa yang gue inginkan.”

Bulu kudukku merinding mendengar ancaman Alex. Ya Tuhan! Apa dia ingin ....

Aku menggeleng keras mengenyahkan pikiran buruk. Dalam hati terus merapal doa. Semoga ada orang yang tiba-tiba muncul ke ruangan sepi ini, tapi mustahil. Jam segini semua murid pasti sudah pulang. Belum lagi tempat ini terletak di sudut sekolah. Jarang sekali ada yang melintas di sekitar sini.

“Gue gak mau bersikap kasar, Ra? Jadi, mending lo ikutin saran gue. Gue juga tau kalau tua bangka itu ngincer tubuh lo.”

Aku menggigil ketakutan. Badan merosot ke lantai saat Alex tiba-tiba melepas tanganku. Pemuda itu melangkah pergi begitu saja meninggalkan gudang.

Dan aku ... air mata mengalir deras membasahi pipi.

Tuhan, terima kasih, setidaknya Alex tidak melakukan lebih dari tadi. Aku sangat takut kalau dia benar-benar kalap dan memaksaku melakukan keinginannya.

Selama beberapa menit aku masih menangis. Badan terlonjak kaget saat sebuah tangan menyentuh bahuku. Tidak. Tidak. Jangan sampai Alex kembali masuk dan melakukan ancamannya.

Tubuhku semakin bergetar karena ketakutan.

“Maura! Hei! Ada apa?”

Seperti ada angin segar berembus di tengah gurun pasir. Hati begitu lega saat melihat sosok yang ada di belakangku.

Pak Damar. Guru Bahasa Inggris di sekolah ini.

“Apa ada yang menyakitimu? Kamu terluka? Kenapa kamu sendirian di gudang?”

Dengan panik Pak Damar memeriksa tubuhku. Beliau sepertinya takut kalau ada yang melukaiku. Matanya tajam memindai setiap inci wajahku.

“Ra, say something?”

Bukannya menjawab. Aku makin terisak pilu. Bingung harus menjelaskan apa. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Tapi aku takut Alex akan makin murka. Lagi pula apakah Pak Damar akan mempercayaiku?

**

“Minumlah.”

Pak Damar menyodorkan sebotol air mineral dingin.

Dengan sedikit tergesa, aku menenggaknya sampai separuh.

“Pelan-pelan, Ra.”

Nada suara Pak Damar masih seperti tadi. Khawatir. Pria ini sungguh sabar menenangkanku. Dalam diam menungguku sampai selesai menangis. Setelah itu mengajakku duduk di kedai bakso dekat sekolah.

“Kalau kamu gak mau cerita gak apa-apa. Tapi saya harap kamu gak menutupi sesuatu. Jangan diam kalau ada anak lain melakukan perundungan.”

Suara tegas Pak Damar terdengar menyejukkan. Sesaat aku merasa begitu diperhatikan. Pria ini, kenapa selalu peduli padaku? Beberapa kali beliau menawarkan tumpangan saat pulang sekolah. Katanya searah. Tidak tega melihatku yang kepanasan menunggu angkutan umum.

Aku yang diam-diam mengaguminya, tentu seperti mendapat durian runtuh. Namun, rasa malu membuatku menjaga jarak. Merasa tidak pantas mengharapkan lebih.

“Makan dulu. Baru saya antar pulang.”

Aku menggeleng. Tidak ingin makin berutang budi atas kebaikkannya.

“Saya bungkuskan juga buat adik-adik kamu.”

Pipiku memanas. Malu. Bagaimana mungkin Pak Damar mengingat perkataanku tempo hari. Sebulan yang lalu, beliau pernah mengajakku untuk makan dulu sebelum mangantarku pulang. Aku menolak. Beralasan tidak bisa makan sementara kedua adikku kelaparan di rumah.

Mungkin terdengar sok, tapi memang itu kenyataannya. Rasanya susah menelan makanan, jika ingat adikku yang mungkin menahan lapar karena menungguku pulang.

Keadaan ekonomi yang susah. Membuat kami sering kali menahan lapar. Sepulang sekolah aku bekerja di warung makan dekat rumah. Dengan upah dua bungkus nasi plus lauknya dan uang sebesar lima ratus ribu sebulan.

“Sudah saya pesankan, mubazir kalau ditolak.”

Dengan malu-malu aku mulai menyendok kuah bakso dalam mangkuk. Dada berdebar tak karuan saat pandanganku bertemu dengan mata teduh Pak Damar. Ketakutan yang tadi menyelimutiku, berangsur-angsur hilang berganti desir-desir dalam hati.

Tenggorokan terasa susah menelan makanan berbahan dasar daging ini. Bukan, bukan karena memikirkan adikku seperti biasanya. Melainkan karena gejolak rasa yang meletup-letup dalam dada. Hati ini, sepertinya telah dicuri olehnya. Pria gagah dan tampan di depanku ini. Yang di dekatnya, membuat badanku panas dingin seperti orang meriang.

Maura, semoga kamu tidak salah menumbuhkan rasa ini di hati.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Aicha Aisah
Enaknya gimana? 😁
goodnovel comment avatar
Widii
Maura nanti sama Alex jatuh cinta nggak ya, 🤭 Suka penulisannya ngalir bahasanya, dan rapi banget. ❤️
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status