Share

Desakan

“Kenapa diem, Ra? Nanti keburu dingin kalau makan sambil melamun.”

Lagi, pria di depanku tersenyum manis.

Duuuh. Gimana bisa makan kalau dia ngeliatin terus seperti itu?

“Saya tadi lagi cari bangku yang masih layak pakai di gudang. Eeh, kok, lihat ada yang jongkok. Saya kira siapa, gak tahunya malah kamu. Sebenarnya kamu lagi apa di sana? Tumben-tumbenan. Biasanya gak pernah menunda-nunda pulang.”

“Ehm, itu, anu, Pak, sa—saya—” Aku tergagap. Bingung harus menjelaskan apa.

“Ya udah kalau kamu gak mau cerita. Cepet makan, kasian adik-adik kamu nungguin.”

Gegas aku melahap bakso yang sudah mulai dingin. Pak Damar sampai menggeleng keras melihatku yang makan dengan cepat. Jantung berdetak kencang saat tiba-tiba tangannya mengusap sudut bibirku. “Ada noda saos,” lirihnya dengan kikuk. Cepat-cepat dia menarik tangannya dan berdiri menjauh. Beliau mendekati gerobak dan menyebutkan semua pesanannya tadi.

Aaiiih! Apa-apaan sih Pak Damar? Bikin deg-degan aja.

“Maura, ayo pulang!” serunya dengan tegas. Wajahnya berubah datar. Senyum yang tadi terus menghiasi bibirnya sirna entah ke mana. Mungkin beliau malu karena tadi sempat lepas kendali.

Hish. Aneh. Dia yang mulai dia juga grogi. Kalau sudah begini, gimana aku gak makin ge-er.

“Kamu masih kerja di warung tetanggamu, Ra?” Suara Pak Damar terdengar lirih. Berbaur dengan bising kendaraan di jalanan.

“Masih, Pak.”

“Setelag lulus, mau lanjut di mana?”

“Bisa tamat sekolah aja udah untung, Pak. Paling lansung cari kerjaan.”

“Wah, sayang sekali. Padahal kamu siswa berprestasi.”

Kulihat Pak Damar memperhatikanku lewat kaca spion. Lagi-lagi beliau menyunggingkan senyum tipis.

Tuhan. Tolong buat Pak Damar lupa arah rumahku, hingga dia tersesat dan kebersamaan kami makin lama.

Aku terkikik menyadari pikiran konyol barusan. Membuat orang di depanku memalingkan muka keheranan.

“Apa yang lucu, Ra?” tanyanya lembut.

“Eh gak ada, Pak. Tadi Cuma keinget kejadian di sekolah.”

“Jangan suka senyum-senyum sendiri, nanti dikira gak waras.” Pak Damar terbahak. Sepertinya puas sekali bisa mengejekku. Bukannya marah, aku justru ikut terkekeh geli. Berdekatan dengan pria yang satu ini, membuat mood-ku melonjak drastis. Bawaannya senang terus.

Sayang, rumahku sudah berjarak beberapa meter lagi. Kebersamaan yang menyenangkan ini harus berakhir.

“Oke, dah sampai!” serunya dengan ceria. Sikap Pak Damar jika di luar sekolah sangat berbeda. Beliau seperti sedang mengantar teman atau orang terdekatnya. Begitu lepas. Begitu semringah. Pak Damar memang pernah bilang, saat di luar sekolah jangan menganggapnya seperti guru. Anggaplah sebagai teman. Biar lebih akrab katanya. Terdengar janggal, tapi aku menyukainya.

“Makasih untuk bakso dan tumpangannya, Pak.”

“Santai, Ra. Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang ke saya. Ya udah, saya pamit dulu. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Setelah memastikan Pak Damar sudah pergi, aku bergegas masuk ke sebuah bangunan mungil. Rumah sederhana yang menjadi peninggalan kedua orang tua. Rani dan Ridho – kedua adikku, mereka langsung semringah menerima bakso pemberian guru Bahasa Inggris-ku.

Namun, baru saja berganti pakaian. Gedoran di pintu membuatku terlonjak kaget.

Kedua adikku tergopoh-gopoh masuk ke kamarku. “Teh, di depan ada orang suruhan Juragan Jaka.” Suara Ridho terdengar bergetar. Tangannya sampai terasa dingin saat kusentuh.

“Kalian tunggu sini, biar Teteh yang temuin mereka.”

Aku berjalan dengan langkah cepat. Sebenarnya juga nyaliku ciut, tapi di depan adik-adik aku tidak boleh terlihat lemah. Bisa-bisa mereka makin ketakutan.

“Halo Neng Geulis, akhirnya ketemu kamu juga.”

“Kenapa Juragan Jaka ke sini? Bukannya masih lusa jatuh temponya. Jangan suka seenaknya begini dong. Mentang-mentang saya perempuan jadi seenaknya.” Aku memasang wajah garang. Dalam dada sebenarnya sudah dag dig dug tidak karuan.

“Udahlah, Maura, gak usah jual mahal. Kamu harusnya seneng Aa mau menikahimu, jadi segala urusan utang beres.”

Pria bertubuh tambun itu mendekat, bau aneh langsung tercium, seperti minyak angin atau semacam minta gosok. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang sedikit menguning. Kakiku hampir meluruh jika tidak berpegang pada kursi kayu di ruang tamu.

“Jangan kurang ajar, Juragan. Saya bisa teriak dan membuat orang-orang berdatangan ke sini.” Aku melotot, badan bergerak mundur karena Juragan Jaka makin menyudutkanku ke kursi.

“Saya sudah bilang sama Sairoh, dia sudah mempersiapkan acara pernikahan kita. Tenang saja, istri pertama saya gak rewel. Dia gak pernah protes kalau saya nikah lagi.” Jari yang penuh dengan cincin batu akik itu mengelus pipiku. Pria paruh baya itu sudah berani melewati batas.

“Dang, ikat dia. Kamu Darmaji, jagain adiknya biar gak ganggu urusan saya, ” Suara Juragan Jaka terdengar dingin.

Tunggu, apa maksudnya mereka menutup rapat pintu depan?

Badan langsung gemetar melihat ekspresi wajah Juragan Jaka di depanku. Bibirnya menyeringai lebar. Sementara matanya menatapku dengan pandangan penuh nafsu.

Tuhan, apa Juragan Jaka mau melecehkanku?

Kedua adikku diseret ke belakang. Aku bergeser cepat dan bersiap lari. Namun, tangan pria paruh baya itu mencengkeram lenganku kuat dan menyeretku masuk ke dalam kamar tepat di sisi ruang tamu.

“Apa-apaan ini, Juragan—” Pria bernama Dadang membekap mulutku dan mengikatnya dengan kain. Kedua tanganku pun diikat ke sisi ranjang. Kaki menendang asal. Sayang tenaga pria ini bukan tandinganku.

“Aku udah gak sabar pengen nyentuh kamu, Neng Geulis. Kamu gak perlu takut, setelah ini aku bakal ngawinin kamu. Sekarang, biar aku DP dulu.”

Aku tak bisa berteriak. Mulut hanya bergumam tidak jelas karena disumpal kain. Keberanian seketika menguap, yang ada hanya gigil dan juga keringat dingin.

Mata ini sengaja terpejam saat bibir lancangnya bergerak maju ingin menciumku. Dalam hati hanya bisa merapalkan doa memohon pertolongan.

Pria bernama Dadang sudah keluar dengan kekehan kecil. Bajingan! Juragan Jaka benar-benar keterlaluan.

Kenapa tidak ada tetangga yang datang menolong?

Aah. Posisi rumahku memang paling ujung, jam segini banyak yang sedang berangkat kerja. Jadi, di luar pasti sepi. Bagaimana dengan kedua adikku? Mereka pasti sekarang sangat ketakutan.

Aku hanya bisa memekik saat tangan kasar Juragan Jaka mulai melucuti pakaianku. Tubuh bagian atas sudah terbuka, hanya tersisa kain kecil penutup dada.

Ayah. Ibu. Tolong Maura.

“Kamu sangat menggoda, Neng. Aa beruntung bisa melihat keindahan tubuh kamu.”

Pria itu menatap dengan lapar. Aku benar-benar jijik melihat ekspresinya yang sudah dipenuhi nafsu. Air mata tak bisa dibendung saat jemarinya mulai menyentuh tubuh bagian atasku.

Bajingan. Ini benar-benar biadab.

Aku menendang tubuh sensitif Juragan Jaka dengan keras. Pria itu mengerang dan melayangkan tamparan keras tepat di pipiku.

“Dasar jalang cilik! Kamu mau bermain kasar, ha!”

Plaaak.

Lagi, satu tamparan mendarat di bagian yang sama.

Pipiku sangat pedih. Namun, jauh di dalam sini lebih merasakan sakit. Bagaimana bisa seseorang yang harusnya mengayomi anak yatim sepertiku, kini bertindak di luar kewarasan?

“Coba kamu nurut, Neng. Jadi Aa gak maen kasar kayak gini. Udah dari lama Aa memendam keinginan untuk menyentuhmu.”

Sekarang, bukan hanya aroma minyak angin yang tercium, tapi juga bau alkohol yang begitu menyengat dari mulutnya yang lebar.

Menjijikkan. Aku ingin sekali berteriak dan memakinya dengan kasar. Namun, semua itu hanya bisa kutahan dalam hati. Mulutku hanya bisa mengerang saat tangannya meremas kasar puncak dadaku.

Ya Tuhan. Ini adalah hari terburuk yang pernah kulalui. Tadi Alex yang menciumku dengan paksa. Sekarang tua bangka ini akan menggagahiku.

Aku tidak sanggup melihat semua ini dengan mata terbuka. Aku memejamkan mata tidak ingin melihat wajah penuh nafsu Juragan Jaka yang sedang menyentuhku.

Namun, saat pria tua itu baru saja menempelkan bibirnya di leherku, terdengar bunyi bedebam dan disusul pekikkan keras.

“Bangsat! Siapa yang berani-beraninya menganggu kesenangan!” umpat Juragan Jaka penuh emosi.

Aku mengerjap, sosok jangkung itu sudah berdiri di ambang pintu. Matanya menyorot tajam pada pria tua yang kini sudah melepas celananya. Sebuah amplop cokelat dilempar tepat ke wajah Juragan Jaka.

“Seratus juta, sesuai permintaan Juragan. Utang Maura lunas. Sekarang keluar! Jangan berani untuk mengingkari kesepakatan kita kemarin. Atau ... saya telepon polisi!” Suara pemuda itu tegas dan dingin.

Sekali lagi aku terkesiap. Pria itu kehabisan kata-kata dan langsung memakai kembali celananya. Tanpa melihatku lagi, Juragan Jaka langsung keluar meninggalkan kamar ini.

“Gue udah lunasi semua utang lo, dua kali lipat. Sekarang lo gak bisa membantah keinginan gue lagi.”

Setelah tadi cukup merasa lega, hatiku kembali mencelos melihat pemuda itu menutup pintu dan berjalan mendekatiku. 

Ya Tuhan, kukira dia dewa penolongku. Ternyata ... dia masih pemuda yang sama seperti tadi siang.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi intan
Oke aku dapat imnu darinsini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status