Share

Bab 4 Sebuah Alasan

“Gimana? Udah berhasil belum?”

Terdengar suara seorang pemuda yang cukup familiar. Aku mengintip di balik tembok belakang gudang. Ada Alex, Rey, Radit dan Dion. Tiga siswa yang satu kelas denganku. Mereka anak-anak orang kaya yang terkenal dengan pergaulan bebasnya.

“Gue bilang juga apa? Susah si Maura ini,” ujar Rey sambil mengembuskan asap rokok. 

Jadi, mereka sedang membicarakanku. Apa ini ada kaitannya dengan sesuatu yang Alex minta kemarin. 

“Kalau lo gak sanggup, biar gue aja yang maju. Gue juga pengen kali nyicipin perawan.” 

“Bangsat! Sejak kapan lo ngelanggar kesepakatan geng kita? Gak ada namanya berebut cewek.” Itu suara Alex. Dia sepertinya tidak terima dengan perkataan Radit.

“Hahahahaha, Lex Lex! Lo serius amat? Gak kali gue mau rebutan sama Lo. Lagian kan kalian cuma temenan, kalau dia nolak lo, gak apa-apa, kan, gue maju.” 

“Lo kayak gak tau Alex aja, apa yang dia mau harus didapetin, meskipun harus mengorbankan motor kesayangannya itu.” 

Mereka semua terbahak. Kecuali Alex tentunya. 

Memang apa yang membuat Alex Wiguna begitu menginginkanku? Aku gadis biasa dengan penampilan yang juga di bawah standar. Masih banyak siswi lain yang jauh lebih menarik. 

“Lagian lo aneh, Bro. Sejak kapan kita maen-maen sama cewek baik-baik? Kita bejad, tapi gak juga ngerusak cewek yang masih polos kayak Maura. Dia yatim piatu, Lex. Lo gak mau kuwalat, kan?” 

“Berisik kalian semua.” 

Aku segera memutar badan dan menjauh dari sana ketika melihat Alex yang melangkah pergi meninggalkan teman-temannya. Jangan sampai pemuda itu melihat keberadaanku. Napasku sampai memburu karena harus berlari agar tidak ketahuan. 

“Dari mana lo? Sampai ngos-ngosan banget,” tanya Sarah yang duduk di bawah pohon Sery. Dia senang sekali duduk menyendiri di sini sambil mencorat-coret desain baju di buku tulis. 

“Sar, lo apa gak takut dengan kerjaan lo sekarang?” 

Gadis berlesung pipi di sampingku itu menghentikan kegiatannya. Bibirnya tersenyum tipis, matanya menatap sendu. 

“Awalnya iya, takut dosa, takut hamil, takut ketemu cowok brengsek, takut kena penyakit dan banyak lagi. Tapi, gue butuh makan, Ra. Lo tau sendiri sejak nyokap bokap gue cerai mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Gue harus tinggal sama nenek yang udah gak bisa cari uang lagi. Lebih tepatnya gue kasian kalau orang seperti nenek harus membanting tulang demi menghidupi gue. Yah ... dengan terpaksa. Gimana? Lo jadi ikut gue, gue yakin bakal banyak yang mau nawar lo mahal, secara masih ting-ting. Tenang, nanti gue ajarin gimana biar gak hamil dan tetep aman.” 

“Gue masih takut, Sar. Apa gue terima aja, ya, tawaran Juragan Jaka jadi istri keduanya.” Pandanganku menerawang pada siswa dan siswi yang sedang asyik bersenda gurau di kantin. 

“Kamu pikirkan baik-baik, karena ini menyangkut masa depan lo. Gue gak mau maksa lo ikut-ikutan kayak gue. Karena jalan gue itu salah.”

“Iya, gue pasti pikir matang-matang. Thanks, ya, Sar. Udah mau denger keluh kesah gue selama ini.” 

Sarah terkekeh geli, “Elaaah, lo kayak sama siapa aja. Oh iya, sorry banget kemarin pas kita ngobrol tentang kerjaan sampingan gue, ternyata ada orang lain yang dengerin. Untung sebelum ini dia emang udah tau kerjaan gue apa, jadi amanlah gue. Gue khawatir dia jadi mandang rendah lo.”

Aku mengembuskan napas panjang, “Alex, kan? Iya, kemarin dia juga bilang ke gue soal itu.” Aku menutup muka dengan kedua tangan. 

“Serius?” tanya Sarah dengan suara keras. Aku hanya mengangguk dalam masih dengan menutup muka. 

“Jangan bilang kalau dia minta lo buat--” Sarah menggantungkan kalimatnya, tapi aku tahu ke mana arah pembicaraan selanjutnya. Itu sebabnya aku lagi-lagi mengangguk dalam. 

“Ah gila! Lo beruntung banget, Ra. Alex itu pemilih loh. Lo tau sendiri dia susah didekati cewek. Dan sekarang dia milih lo.” 

“Beruntung apanya? Kalau dia ngajak aku merid atau setidaknya pacaran mending. Lah ini ngajak buat ena-ena. Sama aja dia ngerendahin gue.” 

Sarah menggeleng keras. 

“Gue tau Alex, Ra. Gue sering banget ketemu sama geng mereka. Dan dari keempat cowok itu, gue paling jarang lihat Alex mesra-mesraan sama lawan jenis. Dia tuh pemilih banget. Makanya lo beruntung bisa dilirik sosok tajir macam Alex.” 

“Gue juga bingung kenapa dia tiba-tiba mau sama gue, lo, kan tau sendiri kita di kelas gak pernah ngomong. Dan penampilan gue paling gak banget di antara temen-temen cewek yang lain.” 

“Ya ampun, Ra, Ra, kok, kamu gak nyadar sih dengan pesona sendiri. Casing lo aja yang buluk, tapi body lo oke punya. Wajah lo itu polos-polos ngegemisin tau gak?” 

“Apaan?” Aku melotot tajam.

“Di balik seragam lo yang kedodoran, gue tau ada tubuh yang—” Sarah mengerakkan kedua tangannya membentuk body. 

“Sialan, lo!” Aku memukul lengan Sarah dengan keras. 

“Astaga! Jangan-jangan ini karena—” Sarah melotot tajam sambil menutup mulutnya yang terbuka lebar.

“Apaan?” Entah kenapa aku tiba-tiba ikut panik. 

“Aduuh, sorry banget, Ra. Lo inget, kan, pas lo tenggelam di kolam renang rumah Radit tempo hari. Pas acara ulang tahun dia.” 

“Iya kenapa dia yang nolong gue, dia gak ngapa-ngapain gue, kan?” Dadaku makin berdebar menunggu ucapan Sarah selanjutnya. 

“Kan, sambil nunggu dokter keluarga Radit dateng, gue disuruh gantiin baju lo yang basah dan pas gue sibuk bukain baju lo, Alex berdiri di belakang sambil bawa baju ganti buat lo.” 

Leees. 

Jantungku rasanya merosot ke bawah. Pipi langsung memanas karena rasa malu yang tiba-tiba menyergap. 

Ya Tuhan. Alex sudah melihat tubuh polosku. 

Kulirik Sarah yang kini memperlihatkan raut bersalah. Dia pasti tidak enak karena selama ini tidak cerita tentang kejadian itu. 

“Kok, lo gak pernah ngomong?” Aku menatap sebal Sarah. Gadis itu justru terkekeh geli. 

“Alex yang larang dan gue pikir lo bakal malu kalau tau ini. Makanya gue--” Sarah meringis sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya. 

“Tau, ah! Gue ngambek.” Aku langsung berdiri dan meninggalkan Sarah. 

“Yah, yah, Ra. Udah dong ... lagian Alex gak pernah bahas ini sama lo, kan, cuek aja, sih, anggap aja lo gak pernah tau.” Sarah berusaha mensejajarkan langkah. 

Aku malu, kesal dan gemas sekali. Kucubiti gadis itu sampai dia berusaha menghindar. Tepat di sebuah tikungan dekat kelas Sarah berlari cepat. Sigap aku pun ikut mengejarnya. Namun, saat akan berbelok, tiba-tiba Alex muncul di depanku yang refleks membuatku berhenti. 

Naas, keseimbanganku goyah dan aku hampir saja terjengkang. Dada berdebar kencang saat tanganku ditarik kuat dan berakhir di pelukan seseorang.

Wangi ini? Dekapan ini? Aku hapal sekali. 

Cepat aku mengangkat wajah. 

Dan ....

Deg. 

Dada makin berdebar kencang saat mata elang Alex menatapku tajam. Pipiku lagi-lagi memanas. Pasti saat ini sudah menampakkan rona kemerahan. 

“Kayaknya lo seneng banget bikin masalah, ya? Sengaja biar gue nolongin!” 

Aku mendengus sebal dan langsung mendorong tubuh Alex menjauh. Pemuda itu justru menyeringai senang.

Cepat-cepat aku berjalan menjauhi pemuda itu. Namun, baru selangkah lenganku lagi-lagi ditarik. 

“Apa lagi! Nunggu ucapan terima kasih? Ya udah, Alex,  terima kasih udah nolongin lagi.” Aku melotot tajam.

“Jam pulang tunggu di gerbang, kita pulang sama-sama.” 

“Gak mau!” tolakku tegas. Namun, melihat tatapan tajam mata Alex, nyaliku menciut seketika. “Ya udah, jangan lama-lama. Telat lima menit gue pulang naik angkot,” jawabku akhirnya. 

Tiba-tiba ingatan tentang Alex pernah melihat tubuh polosku melintas. Dada kembali berdebar kencang diikuti hawa panas di muka. Tubuh membeku saat jemari Alex yang tadi mencengkeram lenganku kini berpindah mengelus lembut pipiku.

“Kamu makin cantik jika sedang merona seperti ini.” 

Aku melotot tajam. Lalu cepat membalik badan dan melangkah menjauh. Masih bisa kudengar kekehan kecil dari pemuda menyebalkan itu.

Sial! Kenapa jantungku berdetak kencang seperti ini? 

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status