Share

Bab 5 Jatuh Setelah Melayang

Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.

“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.

 Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.

Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.

Itu sebabnya aku merasa sungkan beberapa hari ini sering telat datang ke warung. Bu Jamilah sudah sangat baik. Tidak sepatutnya aku bersantai-santai seperti sekarang.

Huft.

Aku mengibas-ngibaskan tangan untuk mengurangi rasa gerah. Matahari bersinar terik, ditambah tidak ada pepohonan dekat gerbang membuatku sukses terpanggang di sini. Kelakuan Alex makin menambah hawa panas.

Ya Tuhan, harusnya aku tidak perlu menunggunya. Akan memakan waktu lebih lama jika aku menghampiri Alex di lapangan indor. Karena letaknya paling ujung sekolah ini.

“Maura, belum pulang?” Aku tersentak saat sebuah suara menegur.

Pak Damar. Pria tersebut tersenyum semringah di atas motornya.

“Dari tadi gak kebagian angkutan, Pak,” jawabku berbohong. Malu kalau harus jujur sedang menunggu Alex.

“Ya udah, pulang bareng, yuk! Nanti kamu telat kerja loh.”

Aku melirik arloji, lalu melihat ke dalam sekolah dan tidak ada tanda-tanda Alex muncul.

“Ya udah, Pak. Saya ikut.”

Pak Damar makin semringah dan memberikan helm yang tergantung di belakang jok. Heran, beliau selalu berangkat sendiri tapi benda satu itu selalu tergantung di sana. Mungkin beliau berjaga-jaga jika bertemu seseorang yang dikenal dan butuh tumpangan. Seperti aku.

“Dah, Pak,” ujarku setelah duduk menyamping di jok belakang.

“Coba dari tadi saya keluar, ya, jadi kita bisa mampir makan bakso dulu.” Suara Pak Damar berlomba dengan bising kendaraan lainnya.

“Jangan sering-sering traktir saya, Pak. Nanti saya banyak utang Budi.”

“Hahahaha, kamu tuh lucu, ya. Masa traktir bakso aja jadi utang budi.” Pak Damar menggeleng pelan.

Kenapa pria ini terlihat santai saat berinteraksi denganku? Apa beliau tidak malu berboncengan dengan gadis sepertiku. Pak Damar adalah sosok mencolok. Meskipun seorang guru, tapi penampilannya sangat wow. Terlihat jelas dari semua barang yang dikenakannya. Baju, sepatu, tas, serta jam tangan mahal yang melingkar dipergelangan tangannya. Semua barang branded. Dengar-dengar orang tuanya seorang pengusaha travel yang sukses.

“Ra, kok, diem aja?” Pak Damar menatap lewat kaca spion.

“Hehehe, gak apa-apa, Pak. Mungkin karena tadi kepanasan jadi pusing.”

Tiba-tiba Pak Damar menepikan sepeda motornya ke bahu jalan dan berhenti.

“Kamu pasti dehidrasi, Ra. Tunggu bentar saya belikan minuman dulu.”

Aku langsung turun dari motor dan menatap tak percaya pada sosok yang kini berlari ke sebuah toko kelontong. Dari nada bicaranya tadi, terdengar jelas kalau Pak Damar sangat khawatir. Selama beberapa menit, aku hanya diam menunggu.

Dasar bodoh! Kenapa tadi bilang pusing. Sekarang makin ngerepotin Pak Damar, kan?

Aku memukul-mukul kepalaku sendiri.

“Ya ampun, Ra. Jangan dipukul-pukul kepalanya! Memang pusing banget, ya?” Pak Damar terburu-buru mencantolkan kantong yang dibawanya ke motor. Tangannya langsung menangkap pergelangan tanganku yang tadi sempat memukul kepala.

Badan seketika benar-benar meriang karena efek sentuhan pria di depanku ini. Dengan gerakan lembut Pak Damar mengusap peluh yang ada di wajahku.

“Kamu duduk dulu,” ujarnya lagi sambil membantuku duduk di jok. Tangannya kemudian mengambil air mineral yang tadi baru dibelinya. “Minum dulu,” ujarnya lagi sambil memberikan botol yang sudah dibuka.

Ragu-ragu aku menerimanya dan langsung menenggaknya separuh.

Nyesss.

Tenggorokan langsung terasa adem. Namun, pipiku mulai menghangat karena pandangan Pak Damar tidak lepas dariku.

“Makasih, Pak.”

“Siang tadi kamu gak jajan, ya? Sampai bisa pusing begini.”

“Pusing dikit aja, kok, Pak. Ini aja udah ilang.” Aku tersenyum kikuk.

Tak berhenti di situ, guruku ini ternyata juga membelikan roti. Beliau sendiri yang membukakan bungkusnya, baru diberikan padaku.

“Kamu makan sambil kita jalan, ya. Biar perut kamu keisi dan gak tambah pusing. Saya jalan pelan-pelan, kok.”

Lagi, aku hanya bisa tersenyum kikuk. Jantungku sudah mau melompat karena senang dengan semua perlakuan Pak Damar.

Duuuh!

Sebenarnya pria ini menganggap aku siapa? Kenapa sikapnya selalu perhatian seperti ini?

Sepanjang sisa perjalanan Pak Damar terus melirik lewat kaca spion. Beliau sesekali menanyakan apa aku masih pusing atau tidak. Bahkan pria ini menawarkan untuk singgah di klinik. Perhatiannya ini makin membuatku sungkan.

Besok-besok sepertinya aku harus menolak jika diajak pulang bersama. Takut jika jantungku benar-benar lepas dari tempatnya. Aku memegangi dada. Debarannya benar-benar menggila. Lebih kencang dari yang sudah-sudah jika berdua dengan Pak Damar. Untung saja suaranya tidak sampai terdengar oleh pria di depanku ini.

Dasar konyol. Jika terus-terusan begini aku bisa mati muda.

Aku tersenyum lega saat sudah sampai depan rumah. Kemarin aku sangat menikmati kedekatan kami. Namun, kali ini getaran di dalam sini justru menyiksa. Aku tidak sanggup menerima perhatian yang bertubi-tubi dari pujaan hatiku ini.

“Buat camilan biar perut kamu gak kosong, ada obat pusing juga. Sebaiknya hari ini kamu ijin gak kerja.”

Aku menerima kantong yang terisi penuh. Entah apa saja yang tadi dibeli Pak Damar. Tubuhku membeku saat tiba-tiba beliau membuka helmku.

“Jaga kesehatan, saya pulang dulu.” Pak Damar tersenyum lembut dan langsung menaiki motornya.

“Sekali lagi makasih banyak, Pak.” Aku membungkukkan badan dan dibalas dengan anggukan kecil Pak Damar.

“Assalamu’alaikum,” ucapnya sebelum akhirnya melajukan motor.

“Wa’alaikumsalam.”

 Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam? Sampai-sampai hari ini harus mendapatkan perhatian khusus dari Pak Damar.

Aku menepuk pipi sambil terus tersenyum. Tubuh tersentak saat mendapati kedua adikku sudah berdiri di belakang. Mereka sampai menatap heran.

“Teteh? Ada apa? Senyum-senyum sendiri, tadi kabogoh Teteh, ya?” tanya Rani dengan tatapan ingin tahu.

“Eh eh, apa itu kabogoh-kabogoh?” Aku mencubit gemas pipi Rani. Gadis cilik itu tertawa lepas. Cepat-cepat aku menggiring mereka masuk sambil terus mengulum senyum.

Barus saja sampai pintu, senyumku sirna seketika. Aku dikejutkan dengan sosok yang kini duduk di ruang tamu. Mata elangnya menatap tajam dengan mulut mengatup rapat.

“Kak Alex nungguin dari tadi, Teh. Beliau sampai nahan lapar biar bisa makan bareng sama Teteh,” ujar Ridho penuh semangat.

Jantung berdebar kencang melihat dua bungkus nasi yang masih utuh. Sementara di sebelahnya, ada sampah bungkus nasi dan juga teh kemasan. Pasti itu bekas makan Ridho dan Rani.

Debaran jantungku makin tidak terkendali. Namun, kali ini jauh berbeda dengan debaran saat berdua dengan Pak Damar.

Ya Tuhan. 

Mati aku.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status