Share

Part 4. Bersiap Siaga 2

Setelah romo kembali ke istana, aku tidak mau buang-buang waktu untuk berleha-leha. Kutepis sejenak rasa penasaran untuk mengulik jati diri seorang Arya Wisesa, karena aku hanya punya waktu satu purnama. Biarlah nanti saja aku menuntaskan rasa penasaranku itu.  Setelah satu purnama aku harus kembali pulang ke istana. 

 

Hari demi hari kuhabiskan untuk berlatih, dengan didampingi Mpu Gandiswara, aku berusaha mati-matian, semua kulakukan demi keselamatanku. Kukira ini yang terpenting saat ini. Biarlah rasa penasaran itu akan kutuntaskan seiring waktu. Tak perlu menjadi fokus utama.

 

Orang bijak bilang, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Dan pepatah itu benar adanya. Tak ada yang sulit, jika kita memiliki kemauan yang besar untuk belajar. Karena keinginanku sangat kuat untuk belajar, aku menjadi lebih mudah memahami jurus-jurus yang kata Guru dulu begitu sulit difahami oleh Arya Wisesa. Beliau puas melihat kemajuanku yang pesat. 

 

Sampai menjelang tengah malam, latihan baru aku akhiri. Saat raga sudah mulai lelah, menuntut untuk diajak beristirahat, akhirnya aku menghentikan aktivitasku. Keringat bercucuran diseluruh tubuh. 

 

"Nak Mas Arya, jangan terlalu memaksakan ragamu. Jika sudah lelah, berikan hak untuk tubuhmu," wejangan dari Guruku Seraya menepuk pundakku. Kemudian mengajakku duduk dibale-bale di dekat tempatku berlatih malam ini. 

 

Tak berapa lama kemudian kulihat Nimas Ayu Larasati membawa nampan berisi minuman hangat dan juga sepiring ubi rebus. 

 

"Raden, silakan diminum dulu wedang jahenya. Supaya pulih kembali tenaganya," ujar Nimas Ayu padaku sambil tersenyum. 

 

"Terimakasih, Nimas. Kau baik sekali padaku," jawabku seraya tersenyum melihatnya. 

 

Meski cahaya malam hanya diterangi cahaya obor disudut sana, tapi rona merah di wajahnya masih tampak jelas dimataku. Bersinar seperti purnama. 

 

"Kurasa kapan-kapan Aku bisa menjadi lawan tandingnya Raden Arya, Romo. Kulihat sepertinya kemampuannya sudah melesat melebihi kemampuanku," ucap Nimas Ayu, tak urung membuat boponya terkekeh. 

 

"Dengan senang hati saya menerima tantanganmu, Nimas" jawabku sambil tersenyum lebar mendengar tantangannya.

 

Dia kembali tersenyum.

 

"Baiklah, saya pamit undur diri, Romo, Raden," pamitnya seraya menganggukkan kepala.

 

Kemudian melenggang pergi menuju bilik utama tempat anak dan istri Mpu Gandiswara tinggal. 

 

Tak berapa lama kemudian Mpu Gandiswara menyusul putrinya pulang, dan akupun juga segera masuk ke bilikku, melepas penat setelah seharian berlatih. Tak berapa lama berbaring di dipan kayu, aku sudah terlelap dalam buaian malam. 

 

 

 

***

 

 

 

Hari-hari yang datang kemudian aku berlatih bertiga, dengan Nimas Ayu Larasati dan kakaknya Rangga Suta. Keduanya adalah putra dari Mpu Gandiswara. Sesekali ditutup dengan lawan tanding dengan Kangmas Rangga Suta, kadang dengan Nimas Ayu Larasati. Duo pendekar ini ternyata lumayan tangguh, tentunya semua itu karena gemblengan boponya yang keras dan disiplin. 

 

Aku jadi banyak belajar pada mereka, gerakan tubuhnya sudah menyatu sempurna dengan rasa, bahkan refleknya sangat teruji dan sangatlah peka. Bertanding dengan mereka membuatku lebih mudah memahami teknik gerakan. Satu keuntungan tersendiri bagiku. 

 

Hari ini pertandinganku dengan Nimas Ayu berakhir seri. Satu peningkatan bagiku karena tiga hari sebelumnya dia berhasil mengalahkanku. Aku mulai bisa mengimbangi dan membaca setiap jurus yang akan dia lakukan. 

 

"Bagus, Raden. Kau sudah bisa mengimbangiku," ucapnya setelah pertandingan berakhir.

 

"Semua berkat kau, aku belajar banyak darimu, Nimas," jawabku memandang wajah putihnya, yang kemerahan karena paparan mentari pagi.

 

Dia terlihat semakin cantik memikat. Ditambah lesung pipi dikedua pipinya, tampak semakin menambah daya tariknya. Ah, aku kenapa jadi mengaguminya?

 

Aaarrrggghhhh. Kacau. Aku benar-benar terpikat olehnya.

 

Kecantikannya yang alami, tak kudapati pada wanita-wanita di jamanku. Wanita di jamanku semua serba palsu dengan olesan skincare atau make up. Tapi wanita didepanku ini bahkan tidak memakai make up apapun. Warna bibirnya yang merah muda alami tampak manis. Membuat hatiku bergetar jika netra kami tak sengaja saling menatap. Eh, kenapa aku keterusan mengagumi Nimas Ayu Larasati ya. Duh ....

 

"Waktumu tinggal beberapa hari lagi sampai bulan purnama tiba, Nak Mas. Bersiaplah untuk kembali ke istana, nanti Nimas Ayu Larasati dan Rangga Suta akan mengantarkanmu sampai ke istana," tutur Mpu Gandiswara kemudian terdiam. 

 

"Apa tidak merepotkan Kangmas Rangga Suta dan Nimas Ayu, Guru?" tanyaku sungkan. 

 

Sejujurnya aku memang butuh penunjuk jalan, tidak terbayang perjalanan yang akan kulalui akan seperti apa. Di jaman ini belum ada aplikasi g-maps atau aplikasi lain untuk mencari lokasi. Semua mengandalkan ingatan, padahal aku tidak ada bekal ingatan apapun untuk mengerti jalan pulang ke istana.

 

Belum lagi, pasti akan ada banyak pengganggu selama diperjalanan pulang nanti. Mengingat nyawaku sudah ditarget untuk dihabisi oleh saudaraku sendiri. Sungguh sangat menyedihkan. 

 

"Kami dengan senang hati mengawal andika, Raden. Jangan sungkan dengan kami berdua, betulkan, Nimas?" sahut Rangga Suta antusias. Dijawab dengan anggukan Nimas Ayu Larasati yang sama antusiasnya.

 

"Anggap saja kami turun gunung mencari pengalaman. Selama ini belum sempat mencari pengalaman diluar, untuk menguji kemampuan diri. Sepertinya melakukan petualangan lebih menyenangkan. Bukan begitu, Kangmas Rangga Suta?" ujar Nimas Ayu menambahkan, tampak rona bahagia tersirat dari wajah ayunya.

 

"Syukurlah jika kalian berkenan mengantarku pulang. Lagipula aku pasti butuh bantuan kalian selama diperjalanan," jawabku sambil tertawa bahagia. Disusul dengan gelak tawa Mpu Gandiswara, Rangga suta dan Nimas Ayu Larasati. 

 

 

 

***

 

 

 

"Kang mas Rangga Suta, sebaiknya kita istirahat di Warung makan itu sebentar. Perutku sepertinya sudah minta jatah," ujar Nimas Ayu pagi ini, saat kami bertiga berjalan-jalan dipasar. 

 

Ada beberapa perbekalan yang akan kami beli, mengingat perjalanan ke istana lumayan jauh. 

 

"Kau memang tidak bisa jauh dari makanan, Nimas. Dimanapun pergi selalu makanan yang nomer satu," kelakar Rangga Suta, disambut dengan cubitan dilengannya oleh Nimas Ayu. 

 

"Bagaimana kalo aku mati kelaparan? Memangnya Kangmas mau melihatku menderita?" balasnya sambil mengerucutkan bibirnya, lucu sekali melihatnya begitu. Rangga Suta hanya terkekeh melihat adiknya yang tengah merajuk. 

 

"Tampaknya kita harus berhenti dulu, Raden. Klo tidak bisa-bisa aku harus menggendong adindaku ini karena pingsan gara-gara kelaparan." sambil terkekeh Rangga Suta melangkahkan kaki ke sebuah warung makan yang cukup ramai. Aku dan Nimas Ayu mengikutinya dari belakang. Menempati kursi dipojokan yang masih kosong. 

 

"Kisanak dan Nisanak mau pesan apa?" pelayan menghampiri meja kami. Menu Ayam panggang sambel korek menjadi pilihan kami pagi ini. Rasanya tidak berbeda jauh dengan Ayam Bakar dijaman moderen. Hanya berbeda penyajian saja. Karena aku sudah mencoba menu disini saat penyamaran beberapa waktu yang lalu. 

 

Bahagianya melihat mereka berdua, saudara yang saling menyayangi, saling melindungi satu sama lain. Sedangkan aku, keluarga macam apa yang kupunyai? Bahkan adikku sendiri menginginkan kematianku.

 

Mengingatnya terasa sesak didalam dada. Apakah dengan kehadiranku dijaman ini, aku bisa merubah peta sejarah? Jika bisa aku pasti akan menghindari perang saudara perebutan tahta ini.

 

 

Itu janjiku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ovie Maria
jadi, mau sama siapa, kang Mas? Nimas, atau Dyah? ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status