Ketika menyadari bahwa ini akan menjadi saat terakhir keberadaanku di padhepokan, dada ini tiba-tiba terasa nyeri. Ada rasa enggan untuk meninggalkan tempat ini, entah kenapa aku merasa nyaman, seperti berada dirumah sendiri.Mpu Gandiswara yang memiliki jiwa ketulusan sebagai seorang guru, Rangga Suta dan Nimas Ayu yang sudah seperti saudara sendiri begitu hangat menerima keberadaanku.Di sini aku merasakan memiliki keluarga, sesuatu yang tidak pernah aku miliki di dunia asalku. Iya, Panji hidup terlunta-lunta sejak kecil, menggelandang dan mengemis belas kasihan orang hanya sekedar untuk mengganjal perut dari rasa lapar."Duh, berat sekali meninggalkan tempat ini?" aku mendengus kasar.Tapi apa mau dikata, aku tidak punya pilihan lain, karena Romo Sura Wijaya tetap menyuruhku kembali ke istana. Aku tidak mungkin bisa menolak.Apalagi Romo juga mengabarkan bahwa ibunda Galuh Wangi sudah tidak sabar menunggu kepulanganku. Mungkin
emoga ada petunjuk yang kutemukan. Ketika aku mau naik diatas kuda sepintas aku lihat ada kalung tergeletak di atas tanah bekas pertempuran tadi. Aku beringsut mengambilnya, diikuti tatapan mata Nimas Ayu Larasati dan Rangga Suta penuh tanya."Ada apa, Raden?" tanya mereka serentak.❤️❤️❤️Kuperlihatkan pada mereka, sebuah kalung kalau menurut pendapat pribadiku, benda yang hanya dimiliki kaum bangsawan di jaman ini. Rangga Suta dan Nimas Ayu saling pandang."Aku akan menyimpannya, mungkin ada petunjuk tentang mereka," ujarku sembari memasukkan kalung itu di balik bajuku, mereka mengangguk paham.Kami bersiap melanjutkan perjalanan untuk keluar dari hutan. Suara kinjeng tangis yang tadi sempat terkalahkan oleh suara riuhnya pedang beradu pedang, kini mulai nyaring terdengar. Seolah membuktikan bahwa dialah pemilik suara hutan yang sesungguhnya.Suasana hutan kembali diliputi kesunyian, hanya dengungan kinjeng tangis yang terdengar meny
Setelah menempuh perjalanan dua hari, dengan berbagai halangan dan rintangan yang menghadang. (Udah kayak perjalanan kebarat mencari kitab suci aja. Hehehe)Tepat ketika matahari hampir tenggelam diufuk barat, kaki-kaki kuda kami telah menapaki jalan menuju rumahku, akhirnya sampailah kami bertiga di gerbang masuk kota raja, Istana Pakuwon Sang Akuwu Sura Wijaya.Di sepanjang jalan yang kami lalui, disisi kiri dan kanan jalan, berdiri tegak banyak umbul-umbul serta obor yang disusun sedemikian rupa, sehingga suasana senja yang temaram, tampak megah layaknya menyambut kedatangan tamu agung.Benar, tamu agung itu adalah aku, Arya Wisesa, calon pengganti Romoku kelak di istana ini. Sudah selayaknya jika kedatanganku di sambut sedemikian rupa. Hal ini membuatku sedikit tersanjung. Sangat berkebalikan dengan sosok Panji selama ini. Hiks...'Hey, aku hanyalah seorang mafia, hanya seorang bandit, siapa yang sudi memberi sambutan semegah ini pada seor
POV Nimas Ayu LarasatiBegitu berhasil keluar dari keroyokan Penjahat didalam hutan, kami melanjutkan perjalanan kembali. Berharap menemukan perkampungan untuk mencari kedai makan dan tempat beristirahat. Rasanya tubuh ini sudah sangat penat. Tapi siapa nyana, justru di kampung itu kami kembali berjumpa dengan para begundal menjijikkan, sok main perintah, sok berkuasa, dan sok kuat.Huh ... menjijikkan tidak tau malu, padahal hanya dengan beberapa jurus saja aku bisa melumpuhkan mereka semua yang berjumlah belasan orang. Tidak sesuai dengan mulut besarnya yang seolah-olah sanggup menggenggam dunia.Ini pertama kali aku turun gunung dari padhepokan, ibarat menguji kemampuan dan mendedikasikan ilmu yang kumiliki untuk membela yang lemah seperti nasihat Romo. Karena ini adalah pengalaman pertama, maka tentunya Romo tidak mungkin melepasku keluar sendirian untuk mengantar Raden Arya Wisesa. Romo memerintahkan Kangmasku yang paling gagah sedunia itu bersamaku m
POV Nimas Ayu Larasati"Benarkah itu, Kanda?" tanya Dyah Ayu Nareswari yang tiba-tiba sudah dibelakang kami berdua.Tatap matanya menyelidik pada kami berdua, aku hanya bisa menundukkan kepala. Rasanya tidak sanggup melihat tatapan mata yang terlihat begitu terluka milik gadis itu, sungguh aku sangat tidak tega melihatnya. Bagaimanapun aku juga seorang wanita, sangat tahu bagaimana rasanya merasa diabaikan. Aku bahkan tadi malam begitu terluka ketika menyaksikan dan mendengar kabar tentang rencana pernikahan mereka.Sungguh, Aku sangat tahu apa yang dia rasakan. Kecewa, merasa tidak dianggap atau bahkan merasa dikhianati, oleh calon suaminya. Atau justru menuduhku menggoda calon suaminya?"Dyah Ayu, ini tidak seperti yang kau bayangkan," terangku mencoba memperbaiki situasi."Aku tidak bertanya padamu, Nimas," jawabnya dingin.Baiklah, sebaiknya aku akan menyingkir dari mereka sekarang, supaya tidak memperumit keadaan. Aku
POV Arya Wisesa"Benarkah itu, Kanda?" terdengar suara Dyah Ayu Nareswari sudah berada dibelakang kami.Aku tersentak mendengarnya, bagaimanapun ini adalah situasi yang sulit bagiku. Apapun yang kulakukan pasti akan ada hati yang terluka diantara dua gadis ini.Semenjak terjebak di tubuh Arya Wisesa, entah kenapa hatiku jadi selembut ini. Bahkan melukai perasaan seorang gadis aku tidak bisa, padahal biasanya aku mana pernah seperti ini. Aku mendesah panjang.Bahkan ketika gadis yang kucintai melangkah menjauh dariku, aku tak tahu harus berbuat apa. Entah terbuat dari apa hati gadis ini, meski aku melihatnya begitu terluka, Nimas mencoba menjelaskan pada Dyah Ayu, tapi sepertinya dia sudah terlanjur begitu marah pada gadisku.Aku tahu keduanya merasa terluka olehku, di satu sisi Nimas tersakiti dengan perjodohanku dengan putri pamanku, di sisi lain Dyah Ayu terluka mendengar kenyataan bahwa aku mencintai gadis lain.Aku hanya mamp
Malam beranjak menggelap, aku masih tercenung di dekat jendela sambil memandangi rembulan bongkok yang bersinar teduh di langit raya. Saat memandang sinar bulan itu, tiba-tiba wajah Nimas Ayu muncul dengan senyumnya yang memabukkan.Ah, jika aku punya kemampuan menghilang dan muncul dalam sekejab di tempat yang berbeda, ada satu tempat yang selalu menjadi tujuanku."Itu adalah kamu, Nimas," gumamku lirih.Kejadian kemarin lusa saat kami berada di pinggir hutan, berputar kembali didepan mata. Menampilkan wajah ayu gadis yang saat ini telah merajai hatiku. Entah sejak kapan dia mulai menduduki tahta hati tertinggi, merebut seluruh atensiku."Raden, kelincinya mengikuti kita. Hey kelinci, apa kamu lapar. Hmmm?" celotehmu ceria, sambil meraih kelinci putih itu kedalam pangkuanmu.Suara tawamu kembali terdengar ditelinga, mengingatmu membuat senyum terbit dari bibirku. Beginikah rasanya dilanda badai asmara? Badai yang bukan hanya sekedar memporak
POV Nimas Ayu LarasatiAkhirnya perjalanan ini usai sudah, pintu gerbang Padhepokan sudah tampak dari kejauhan. Tiba-tiba dadaku berdenyut karena aura kebahagiaan yang menyeruak memenuhi seisi ruang di dalam dada, seolah mencium aroma candu yang memabukkan. Tiba kembali di rumah setelah berhari-hari melakukan perjalanan itu, membawa rasa bahagia yang tak tertandingi."Kangmas, kita sudah sampai," pekikku lantang dari atas kuda yang masih melesat bak anak panah."Iya, Nimas, aku rindu dengan Biyung," jawab Kangmas Rangga Suta tak kalah keras.Kami berdua saling melempar tawa, aura kebahagiaan terpancar, bahkan hanya ketika melihat gerbang rumah kami saja. Duh, aku merasa seperti anak kecil yang dibelikan gula-gula oleh ibunya, bahagia.Memang benar bahwa setiap perjalanan membawa cerita sendiri, karena tenggelam dalam rutinitas harian yang itu-itu saja kadang membawa rasa bosan dan jenuh yang berkepanjangan. Dengan keluar dari padhepokan aku mendapa