Share

Part 5. Perjalanan Menuju Istana

Ketika menyadari bahwa ini akan menjadi saat terakhir keberadaanku di padhepokan, dada ini tiba-tiba terasa nyeri. Ada rasa enggan untuk meninggalkan tempat ini, entah kenapa aku merasa nyaman, seperti berada dirumah sendiri. 

Mpu Gandiswara yang memiliki jiwa ketulusan sebagai seorang guru, Rangga Suta dan Nimas Ayu yang sudah seperti saudara sendiri begitu hangat menerima keberadaanku. 

Di sini aku merasakan memiliki keluarga, sesuatu yang tidak pernah aku miliki di dunia asalku. Iya, Panji hidup terlunta-lunta sejak kecil, menggelandang dan mengemis belas kasihan orang hanya sekedar untuk mengganjal perut dari rasa lapar.

"Duh, berat sekali meninggalkan tempat ini?" aku mendengus kasar.

Tapi apa mau dikata, aku tidak punya pilihan lain, karena Romo Sura Wijaya tetap menyuruhku kembali ke istana. Aku tidak mungkin bisa menolak. 

Apalagi Romo juga mengabarkan bahwa ibunda Galuh Wangi sudah tidak sabar menunggu kepulanganku. Mungkin rasa rindu seorang ibu inilah yang membuat hatiku harus membulatkan tekad, suka tidak suka, mau tidak mau, aku harus pulang. Demi menuntaskan kerinduan Ibunda Galuh Wangi. 

Bagaimanapun Ibunda Galuh Wangi hanya memiliki seorang putra, yaitu Aku Arya Wisesa. Setelah sekian lama aku harus menuntut ilmu di padhepokan Mpu Gandiswara di kaki gunung wilis, dan belum pernah bertemu lagi. Ibu mana yang tidak merasakan rindu. Aku memaklumi itu. Mungkin begitu pula yang dirasakan oleh Arya Wisesa yang asli. 

Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata, ini adalah fajar terakhir aku terbangun dibilik ini. Aku mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut kamar, entah kapan aku akan bisa kembali ke sini. Aku mendesah, aku pasti akan merindukan tempat ini.

Pagi masih buta ketika aku melangkahkan kakiku keluar dari bilik. Udara dingin pagi menyapa punggungku dengan lembut. Pucuk-pucuk batang dan daun bambu bergoyang pelan seperti menari sesuai dengan irama gendhing kegelisahan jiwaku. 

Suasana masih temaram, kulihat beberapa murid yang mendapatkan jatah jaga malam, terkantuk-kantuk didepan gerbang padhepokan. Bibirku menyunggingkan senyuman melihat mereka. Aku ingat, kemarin aku membeli beberapa buah-buahan dipasar untuk bekal perjalananku pulang. Aku mengambilnya dari bilik dan kembali menyapa mereka yang sedang berjaga. 

"Sudah menjelang subuh, pasti kalian lapar," sapaku sambil mengulurkan tiga sisir pisang kepada mereka. 

"Raden, Andika tidak perlu repot begini, kami jadi tidak enak hati," balas salah satu dari mereka seraya menerima pisang dari tanganku. 

"Kok cuma berlima, yang lain kemana?" tanyaku. Karena setauku ada 9 murid padhepokan yang tiap malam mendapat giliran tugas ronda. 

"Mereka sedang berkeliling, Raden. Memastikan semua aman," jawabnya.

Padhepokan ini memang tidak terlalu luas. Bangunan pendopo sebagai bangunan utama terdapat di bagian depan. Di samping kanannya rumah utama tempat tinggal Guru dengan keluarga nya berdiri dengan kokoh. Bagian belakang ada dapur bersebelahan dengan gudang, tempat untuk menyimpan bahan mentah untuk keperluan pangan semua warga padhepokan. 

Di sisi kirinya ada  ruang penyimpanan senjata yang selalu di jaga dengan ketat oleh murid utama Padhepokan. Lebih belakang lagi letak bangunan bilik-bilik para murid terbagi menjadi beberapa bangunan, dan yang paling sudut tapi lebih luas dan indah adalah bilik pribadiku. 

Di belakang pendhopo, ada halaman luas biasanya dipakai untuk tempat latihan kanuragan.

"Raden, apalah hari ini Andika jadi pulang ke istana?" tanya mereka padaku. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. 

"Tempat ini sudah kuanggap rumahku sendiri, meski rasanya berat, tapi romo menghendaki aku pulang," ocehku yang hanya direspon dengan mereka dengan manggut-manggut. 

"Andika sangat beruntung, Raden. Karena masih memiliki keluarga," ucap salah satu dari mereka yang dipanggil bejo. 

"Iya betul. Mungkin aku harus banyak bersyukur," jawabku. 

Benar kata bejo, aku beruntung masih punya keluarga. Bahkan bukan keluarga sembarangan, melainkan keluarga yang memiliki jabatan penting. 

Tapi ketika aku ingat dengan pembicaraan beberapa pria yang kutemui di kedai saat aku melakukan penyamaran, seketika hatiku merasa masam. 

Benarkah adikku menginginkan kematianku?

❤️❤️❤️

Kami bertiga sedang bersiap di depan pendopo, ketika Mpu Gandiswara dan istrinya datang menghampiri. Beberapa murid padhepokan membantu kami menyiapkan barang-barang yang akan kubawa untuk bekal perjalanan. 

"Nak Mas sering-seringlah berkunjung kemari. Tempat ini adalah rumahmu yang kedua," ujar Mpu Gandiswara seraya menepuk bahuku. 

Wajahnya tulus menenangkan, ucapannya barusan seolah mendoakanku berumur panjang dan bisa kembali kesini lagi. Hatiku menghangat mendengarnya, merasa dicintai. Aku mengangguk dan tersenyum bahagia. 

"Jika masih ada umur, aku akan kembali tinggal disini, Guru. Dan ingin tinggal untuk waktu yang lama," ucapku sambil melirik Nimas Ayu Larasati. 

Meski dia menundukkan kepala, tapi dia tidak bisa menyembunyikan rona merah dipipinya. Aku tersenyum melihatnya, dadaku berdesir.

"Semoga aku betah menjadi obat nyamuk di perjalanan nanti. Huh, menyebalkan," gerutu Rangga Suta sambil mengerucutkan bibirnya. Alhasil membuat sebuah cubitan dari Nimas Ayu Larasati mendarat di lengannya. 

"Ampun Nimas, Ampuni kangmas-mu yang sangat tampan ini," Rangga Suta berkata keras menahan sakit. Cubitan bertubi-tubi terus didaratkan Nimas Ayu di tubuhnya, membuat semua orang terkekeh. 

"Biar kapok. Makanya jangan bicara sembarangan!" cerocosnya masih dengan pipi yang memerah. 

Aku terkekeh melihatnya, melihat wajah Nimas memerah karena kesal tiba-tiba ada gelenyar aneh berdentum di jantungku. Duh, sepertinya aku sudah terpikat dengan gadis ini. 

Setelah ritual berpamitan usai, kami bertiga memacu kuda meninggalkan padhepokan. Kami terus memacu melewati pemukiman penduduk di sekitar padhepokan, berganti dengan bentangan sawah, kemudian lebih jauh lagi bentangan hutan menjadi pemandangan perjalanan ini. 

"Hiyyyyaaaaa!!!!" 

"Hiyyyyaaaaa!!!"

Hanya suara kami yang memacu kuda, yang terdengar memecah kesunyian. kuda kami melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. 

Kami memelankan langkah kuda, ketika telah menyusuri jalanan setapak menuju hutan. Suasana mencekam segera menyapa, ketika kami masuk semakin dalam. Hanya suara kinjeng tangis yang terdengar bersahut-sahutan. Tiba-tiba kulihat Nimas Ayu memperlambat langkah kudanya, sementara tangan kanannya memberi kode pada kami untuk waspada, Rangga Suta yang di belakangku tampak menampilkan wajah tegang.

"Sreeetttt."

Dari rimbunnya tumbuhan di hutan ini melesat anak-anak panah kearah kami. 

"Hiyaaaatttt" 

"Clang clang clang"

Dentingan suara pedang kami yang bertabrakan dengan mata anak panah, seolah menjadi irama yang bertalu-talu mengalahkan suara kinjeng tangis yang mendengung indah dalam kesunyian hutan. Disusul dengan tujuh sosok tubuh berpakaian hitam dan memakai penutup wajah menyerang dan mengeroyok kami membabi buta. 

Suara pertarungan bergemuruh. Tebasan pedang yang haus darah saling berdenting mencari mangsa. Dalam waktu singkat hutan yang sunyi ini kehilangan aura mistisnya, karena ramai dan riuh suara pertempuran memecah hawa kesepian. Meski suara riuh ini tak akan mampu mengganggu telinga manusia, karena mungkin hanya kami yang saat ini bertempur saja yang ada di hutan ini. 

Tujuh orang yang datang mengeroyok memang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tapi kami bertiga juga bukan orang sembarangan, sudah mahsyur terdengar di seantero negeri, nama besar Mpu Gandiswara, pemilik padhepokan gunung wilis. Meskipun dikeroyok, tapi bukan hal mudah juga melumpuhkan kami bertiga. Justru pertarungan mulai tidak seimbang karena pihak lawan sudah tidak mampu mengimbangi setiap jurus yang kami mainkan. 

Hingga akhirnya salah satu dari mereka memberi kode untuk kabur. 

"Tunggu! Dasar pengecut," pekik Nimas Ayu Larasati. Dia bermaksud mengejar tapi dihentikan oleh Rangga Suta. 

"Berhenti, Nimas." 

"Tapi aku ingin tau siapa mereka itu, Kangmas," jawab Nimas Ayu bersikeras

"Sudahlah, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan. Setidaknya kita harus menemukan desa untuk beristirahat dan makan," ujar Rangga Suta. 

Aku membenarkan usulannya. Karena setelah beberapa jam di atas kuda tanpa berhenti, malah di lanjutkan bertempur, tak dipungkiri rasa lelah telah mendera kami. 

Meskipun aku juga merasakan, apa yang Nimas Ayu rasakan. Aku sangat penasaran, siapakah gerangan yang dengan sengaja menghadang perjalanan kami? 

Semoga ada petunjuk yang kutemukan. Ketika aku mau naik diatas kuda sepintas aku lihat ada kalung tergeletak di atas tanah bekas pertempuran tadi. Aku beringsut mengambilnya, diikuti tatapan mata Nimas Ayu Larasati dan Rangga Suta penuh tanya.

"Ada apa, Raden?" tanya mereka serentak.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ovie Maria
petunjuk... petunjuk.. aku penasaran tolong..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status