/ Fantasi / Terjebak di Negeri Dongeng / Part 5. Perjalanan Menuju Istana

공유

Part 5. Perjalanan Menuju Istana

작가: Ummu Nadin
last update 최신 업데이트: 2021-08-09 15:31:33

Ketika menyadari bahwa ini akan menjadi saat terakhir keberadaanku di padhepokan, dada ini tiba-tiba terasa nyeri. Ada rasa enggan untuk meninggalkan tempat ini, entah kenapa aku merasa nyaman, seperti berada dirumah sendiri. 

Mpu Gandiswara yang memiliki jiwa ketulusan sebagai seorang guru, Rangga Suta dan Nimas Ayu yang sudah seperti saudara sendiri begitu hangat menerima keberadaanku. 

Di sini aku merasakan memiliki keluarga, sesuatu yang tidak pernah aku miliki di dunia asalku. Iya, Panji hidup terlunta-lunta sejak kecil, menggelandang dan mengemis belas kasihan orang hanya sekedar untuk mengganjal perut dari rasa lapar.

"Duh, berat sekali meninggalkan tempat ini?" aku mendengus kasar.

Tapi apa mau dikata, aku tidak punya pilihan lain, karena Romo Sura Wijaya tetap menyuruhku kembali ke istana. Aku tidak mungkin bisa menolak. 

Apalagi Romo juga mengabarkan bahwa ibunda Galuh Wangi sudah tidak sabar menunggu kepulanganku. Mungkin rasa rindu seorang ibu inilah yang membuat hatiku harus membulatkan tekad, suka tidak suka, mau tidak mau, aku harus pulang. Demi menuntaskan kerinduan Ibunda Galuh Wangi. 

Bagaimanapun Ibunda Galuh Wangi hanya memiliki seorang putra, yaitu Aku Arya Wisesa. Setelah sekian lama aku harus menuntut ilmu di padhepokan Mpu Gandiswara di kaki gunung wilis, dan belum pernah bertemu lagi. Ibu mana yang tidak merasakan rindu. Aku memaklumi itu. Mungkin begitu pula yang dirasakan oleh Arya Wisesa yang asli. 

Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata, ini adalah fajar terakhir aku terbangun dibilik ini. Aku mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut kamar, entah kapan aku akan bisa kembali ke sini. Aku mendesah, aku pasti akan merindukan tempat ini.

Pagi masih buta ketika aku melangkahkan kakiku keluar dari bilik. Udara dingin pagi menyapa punggungku dengan lembut. Pucuk-pucuk batang dan daun bambu bergoyang pelan seperti menari sesuai dengan irama gendhing kegelisahan jiwaku. 

Suasana masih temaram, kulihat beberapa murid yang mendapatkan jatah jaga malam, terkantuk-kantuk didepan gerbang padhepokan. Bibirku menyunggingkan senyuman melihat mereka. Aku ingat, kemarin aku membeli beberapa buah-buahan dipasar untuk bekal perjalananku pulang. Aku mengambilnya dari bilik dan kembali menyapa mereka yang sedang berjaga. 

"Sudah menjelang subuh, pasti kalian lapar," sapaku sambil mengulurkan tiga sisir pisang kepada mereka. 

"Raden, Andika tidak perlu repot begini, kami jadi tidak enak hati," balas salah satu dari mereka seraya menerima pisang dari tanganku. 

"Kok cuma berlima, yang lain kemana?" tanyaku. Karena setauku ada 9 murid padhepokan yang tiap malam mendapat giliran tugas ronda. 

"Mereka sedang berkeliling, Raden. Memastikan semua aman," jawabnya.

Padhepokan ini memang tidak terlalu luas. Bangunan pendopo sebagai bangunan utama terdapat di bagian depan. Di samping kanannya rumah utama tempat tinggal Guru dengan keluarga nya berdiri dengan kokoh. Bagian belakang ada dapur bersebelahan dengan gudang, tempat untuk menyimpan bahan mentah untuk keperluan pangan semua warga padhepokan. 

Di sisi kirinya ada  ruang penyimpanan senjata yang selalu di jaga dengan ketat oleh murid utama Padhepokan. Lebih belakang lagi letak bangunan bilik-bilik para murid terbagi menjadi beberapa bangunan, dan yang paling sudut tapi lebih luas dan indah adalah bilik pribadiku. 

Di belakang pendhopo, ada halaman luas biasanya dipakai untuk tempat latihan kanuragan.

"Raden, apalah hari ini Andika jadi pulang ke istana?" tanya mereka padaku. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. 

"Tempat ini sudah kuanggap rumahku sendiri, meski rasanya berat, tapi romo menghendaki aku pulang," ocehku yang hanya direspon dengan mereka dengan manggut-manggut. 

"Andika sangat beruntung, Raden. Karena masih memiliki keluarga," ucap salah satu dari mereka yang dipanggil bejo. 

"Iya betul. Mungkin aku harus banyak bersyukur," jawabku. 

Benar kata bejo, aku beruntung masih punya keluarga. Bahkan bukan keluarga sembarangan, melainkan keluarga yang memiliki jabatan penting. 

Tapi ketika aku ingat dengan pembicaraan beberapa pria yang kutemui di kedai saat aku melakukan penyamaran, seketika hatiku merasa masam. 

Benarkah adikku menginginkan kematianku?

❤️❤️❤️

Kami bertiga sedang bersiap di depan pendopo, ketika Mpu Gandiswara dan istrinya datang menghampiri. Beberapa murid padhepokan membantu kami menyiapkan barang-barang yang akan kubawa untuk bekal perjalanan. 

"Nak Mas sering-seringlah berkunjung kemari. Tempat ini adalah rumahmu yang kedua," ujar Mpu Gandiswara seraya menepuk bahuku. 

Wajahnya tulus menenangkan, ucapannya barusan seolah mendoakanku berumur panjang dan bisa kembali kesini lagi. Hatiku menghangat mendengarnya, merasa dicintai. Aku mengangguk dan tersenyum bahagia. 

"Jika masih ada umur, aku akan kembali tinggal disini, Guru. Dan ingin tinggal untuk waktu yang lama," ucapku sambil melirik Nimas Ayu Larasati. 

Meski dia menundukkan kepala, tapi dia tidak bisa menyembunyikan rona merah dipipinya. Aku tersenyum melihatnya, dadaku berdesir.

"Semoga aku betah menjadi obat nyamuk di perjalanan nanti. Huh, menyebalkan," gerutu Rangga Suta sambil mengerucutkan bibirnya. Alhasil membuat sebuah cubitan dari Nimas Ayu Larasati mendarat di lengannya. 

"Ampun Nimas, Ampuni kangmas-mu yang sangat tampan ini," Rangga Suta berkata keras menahan sakit. Cubitan bertubi-tubi terus didaratkan Nimas Ayu di tubuhnya, membuat semua orang terkekeh. 

"Biar kapok. Makanya jangan bicara sembarangan!" cerocosnya masih dengan pipi yang memerah. 

Aku terkekeh melihatnya, melihat wajah Nimas memerah karena kesal tiba-tiba ada gelenyar aneh berdentum di jantungku. Duh, sepertinya aku sudah terpikat dengan gadis ini. 

Setelah ritual berpamitan usai, kami bertiga memacu kuda meninggalkan padhepokan. Kami terus memacu melewati pemukiman penduduk di sekitar padhepokan, berganti dengan bentangan sawah, kemudian lebih jauh lagi bentangan hutan menjadi pemandangan perjalanan ini. 

"Hiyyyyaaaaa!!!!" 

"Hiyyyyaaaaa!!!"

Hanya suara kami yang memacu kuda, yang terdengar memecah kesunyian. kuda kami melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. 

Kami memelankan langkah kuda, ketika telah menyusuri jalanan setapak menuju hutan. Suasana mencekam segera menyapa, ketika kami masuk semakin dalam. Hanya suara kinjeng tangis yang terdengar bersahut-sahutan. Tiba-tiba kulihat Nimas Ayu memperlambat langkah kudanya, sementara tangan kanannya memberi kode pada kami untuk waspada, Rangga Suta yang di belakangku tampak menampilkan wajah tegang.

"Sreeetttt."

Dari rimbunnya tumbuhan di hutan ini melesat anak-anak panah kearah kami. 

"Hiyaaaatttt" 

"Clang clang clang"

Dentingan suara pedang kami yang bertabrakan dengan mata anak panah, seolah menjadi irama yang bertalu-talu mengalahkan suara kinjeng tangis yang mendengung indah dalam kesunyian hutan. Disusul dengan tujuh sosok tubuh berpakaian hitam dan memakai penutup wajah menyerang dan mengeroyok kami membabi buta. 

Suara pertarungan bergemuruh. Tebasan pedang yang haus darah saling berdenting mencari mangsa. Dalam waktu singkat hutan yang sunyi ini kehilangan aura mistisnya, karena ramai dan riuh suara pertempuran memecah hawa kesepian. Meski suara riuh ini tak akan mampu mengganggu telinga manusia, karena mungkin hanya kami yang saat ini bertempur saja yang ada di hutan ini. 

Tujuh orang yang datang mengeroyok memang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tapi kami bertiga juga bukan orang sembarangan, sudah mahsyur terdengar di seantero negeri, nama besar Mpu Gandiswara, pemilik padhepokan gunung wilis. Meskipun dikeroyok, tapi bukan hal mudah juga melumpuhkan kami bertiga. Justru pertarungan mulai tidak seimbang karena pihak lawan sudah tidak mampu mengimbangi setiap jurus yang kami mainkan. 

Hingga akhirnya salah satu dari mereka memberi kode untuk kabur. 

"Tunggu! Dasar pengecut," pekik Nimas Ayu Larasati. Dia bermaksud mengejar tapi dihentikan oleh Rangga Suta. 

"Berhenti, Nimas." 

"Tapi aku ingin tau siapa mereka itu, Kangmas," jawab Nimas Ayu bersikeras

"Sudahlah, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan. Setidaknya kita harus menemukan desa untuk beristirahat dan makan," ujar Rangga Suta. 

Aku membenarkan usulannya. Karena setelah beberapa jam di atas kuda tanpa berhenti, malah di lanjutkan bertempur, tak dipungkiri rasa lelah telah mendera kami. 

Meskipun aku juga merasakan, apa yang Nimas Ayu rasakan. Aku sangat penasaran, siapakah gerangan yang dengan sengaja menghadang perjalanan kami? 

Semoga ada petunjuk yang kutemukan. Ketika aku mau naik diatas kuda sepintas aku lihat ada kalung tergeletak di atas tanah bekas pertempuran tadi. Aku beringsut mengambilnya, diikuti tatapan mata Nimas Ayu Larasati dan Rangga Suta penuh tanya.

"Ada apa, Raden?" tanya mereka serentak.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Ovie Maria
petunjuk... petunjuk.. aku penasaran tolong..
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Terjebak di Negeri Dongeng   Part 34. Keputusan Final

    Enrico keluar dari ruang perawatan Panji tanpa pamit, dari wajahnya terlihat dia sangat gusar dengan permintaan Panji untuk resign dari sindikat mafia miliknya.Reno masih duduk termangu di sofa, tampak menyesalkan kenapa Panji harus secepat itu menyampaikan keinginannya untuk resign pada Enrico. Harusnya Panji memilih waktu yang tepat. Tapi semua sudah terlambat, Panji bahkan tidak terlihat menyesali ucapannya sama sekali.Reno mendengus pelan.Di sudut lain, Panji tampak menghela napas panjang. Dia memaklumi jika Enrico marah padanya. Setelah semua hal yang telah Enrico diberikan pada Panji untuk menyelamatkan nyawanya. Panji justru meminta padanya sebuah permintaan konyol sebagai balasannya, tentu Enrico gusar.Dalam keadaan kritis kemarin Enrico bisa saja mengabaikannya, toh dirinya bukan siapa-siapa, tapi Bos besarnya itu malah memberikan semua fasilitas perawatan yang terbaik untuk mengupayakan dia bisa kembali sadar. Tapi bukannya membalas ke

  • Terjebak di Negeri Dongeng   Part 33. Tetap Menjadi Mafia atau Dibunuh

    "Elo sholat, Nji?" pekik Reno saat masuk di ruangannya siang itu. Pagi tadi Reno mengirim chat tidak bisa datang membesuk karena harus menuntaskan tugas yang diberikan oleh Enrico padanya.Wajah pria itu terlihat bingung dan gusar, sorot matanya tajam seperti sedang menguliti Panji hidup-hidup.Ketika Reno datang, Panji sedang menjalankan sholat dhuhur 4 rakaat dengan khusyuk. Beberapa menit dia mematung di ambang pintu, sempat mengira salah masuk kamar pasien. Dia mengerjapkan kedua matanya seolah ingin meyakinkan diri. Dan dia memekik suara dengan keras setelah melihat sahabatnya sejak kecil ini selesai sholat."Nji, ini beneran elo?" tanya Reno ragu.Reno tahu betul, mereka tidak pernah belajar sholat. Tak heran jika dia sangat kaget melihat Panji begitu khusyuk sholat dan berdzikir. Selama ini mereka selalu berdua kemanapun.Darimana Panji belajar dan sejak kapan?"Yaelah, lebay banget sih Lo, sampai teriak gitu,"

  • Terjebak di Negeri Dongeng   Part 32. Konflik Batin Sang Mafia

    Panji minta ijin suster untuk duduk di taman rumah sakit. Setelah seharian berbaring, dia butuh menghirup udara segar. Sebelumnya, tubuhnya bahkan sudah lebih dari sebulan terkapar di atas ranjang rumah sakit.Selepas sholat isya' seorang suster mengantarnya menuju taman. Dia harus melatih kedua kakinya untuk berjalan, karena sudah terlalu lama tidak di fungsikan, kedua kakinya terasa kaku untuk di gerakkan.Ketika koma Panji merasakan perjalanan spiritual, ada banyak kejadian yang telah dia temui di sana. Bertemu dengan orang baru, gurunya Mpu Gandiswara, Nimas Ayu Larasati, Rangga Suta dan yang lainnya. Dia tahu itu hanya sesuatu yang tidak nyata. Entah disebut halusinasi atau apa, yang jelas tubuhnya tengah terlelap di ruang intensive care unit. Tapi anehnya, kenapa pengaruhnya terasa begitu nyata?Seperti kebiasaan yang beribadah misalnya, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh seorang Panji satu kalipun dalam kehidupannya. Kini dia bahkan bisa melak

  • Terjebak di Negeri Dongeng   Part 31. Siuman atau Justru Terjebak di Dunia Mimpi?

    Hari ini Panji sudah diperbolehkan pindah di ruang perawatan, karena kondisinya semakin stabil. Secara fisik, dia sudah bisa dibilang sehat. Hanya saja pikirannya hampir tidak bisa menghilangkan bayangan kehidupannya bersama Nimas dan baby Husein. Bayangan mereka terus mengganggunya, apalagi terakhir dia harus pergi meninggalkan Nimas saat usia Husein masih 7 hari."Ya Allah, apakah mereka akan baik-baik saja tanpa gue?" gumamnya."Benarkah semua ini halusinasi, Nimas?" desisnya pelan."Hey, gue belum sholat sejak kemarin?" Panji panik.Tadi malam tidak ada yang menungguinya, karena Reno sedang menjalankan tugas dari Enrico untuk melacak keberadaan penyusup dalam organisasi mafia mereka.Waktu subuh masih tersisa, Panji mencoba bersusah payah untuk berjalan ke kamar mandi, karena kakinya sudah terlalu lama tidak difungsikan selama dia koma, tentu saja terasa kaku.Menjalankan dua raka'at sholat subuh dan berdzikir, membuat hatiny

  • Terjebak di Negeri Dongeng   Part 30. Ini Akhir ataukah Awal Sebuah Kisah?

    Hari ini tepat 30 hari Panji dirawat di ICU RS Premier Surabaya. Setelah kecelakaan yang dialaminya sebulan yang lalu dia tidak sadarkan diri. Pria ini mengalami cedera Axonal Diffuse, cedera otak berat sehingga membutuhkan perawatan khusus di Intensive Care Unit. Enrico telah memberikan fasilitas VIP untuk merawat panji. Akan tetapi meskipun demikian banyak alat-alat canggih itu menempel di tubuhnya seperti ventilator, hingga mesin EKG/EEG, belum ada kemajuan yang berarti.Enrico bersikeras untuk terus melakukannya, karena mengingat mereka telah tumbuh bersama sejak kecil. Ya, semenjak papanya mengadopsi Panji, mereka telah menjadi saudara angkat. menurutnya jika tubuh Panji masih menunjukkan tanda kehidupan, masih ada harapan untuk sembuh. Jadi dia memutuskan untuk terus memberi fasilitas terbaik padanya.Status Enrico saat ini adalah bos besar mafia tempat Panji bekerja. Karena ada latar belakang saudara angkat inilah dia mengistimewakannya. Lagipula sel

  • Terjebak di Negeri Dongeng   Part 29. Aku Harus Pulang

    "Baiklah, Botak. Aku akan berhati-hati," balasnya segera melesat terbang, melompat di atas genting dengan sangat ringan. Kemudian melesat dari satu bangunan ke bangunan lainnya, dan berhenti di wuwungan (atap bangunan) seolah menemukan keberadaan ruang Dyah Ayu Nareswari.❤️❤️❤️Sesosok tubuh tampak bersalto dari atap. Tubuh itu dibalut dengan pakaian serba hitam, melangkah mengendap-endap memasuki kaputren (istana para wanita, istri dan anak raja atau pejabat) dalem katumenggungan. Di tempat inilah Dyah Ayu Nareswari menghabiskan waktu dalam istana ini. Pria itu melangkah tanpa meninggalkan suara, sepertinya ilmu peringan tubuhnya sudah tinggi.Bahkan prajurit penjaga yang mondar mandir berjaga di kaputren tidak menyadari ada bayangan hitam melesat di dekat mereka.Bayangan hitam itu menembus masuk ke dalam kaputren, tapi begitu masuk ke dalam suasana tampak lengang. Bukankah biasanya kaputren berisi para wanita, kenapa sangat sepi? Brewok bertanya dalam

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status