Share

Part 6. Pendekar Cantik Berjubah Biru

emoga ada petunjuk yang kutemukan. Ketika aku mau naik diatas kuda sepintas aku lihat ada kalung tergeletak di atas tanah bekas pertempuran tadi. Aku beringsut mengambilnya, diikuti tatapan mata Nimas Ayu Larasati dan Rangga Suta penuh tanya.

"Ada apa, Raden?" tanya mereka serentak.

❤️❤️❤️

Kuperlihatkan pada mereka, sebuah kalung kalau menurut pendapat pribadiku, benda yang hanya dimiliki kaum bangsawan di jaman ini. Rangga Suta dan Nimas Ayu saling pandang.

"Aku akan menyimpannya, mungkin ada petunjuk tentang mereka," ujarku sembari memasukkan kalung itu di balik bajuku, mereka mengangguk paham.

Kami bersiap melanjutkan perjalanan untuk keluar dari hutan. Suara kinjeng tangis yang tadi sempat terkalahkan oleh suara riuhnya pedang beradu pedang, kini mulai nyaring terdengar. Seolah membuktikan bahwa dialah pemilik suara hutan yang sesungguhnya.

Suasana hutan kembali diliputi kesunyian,  hanya dengungan kinjeng tangis yang terdengar menyayat hati, mendendangkan sebuah irama kesedihan yang terbalut luka.

Dalam hatiku masih berputar tanda tanya besar, adakah kalung yang kutemukan ini bisa dijadikan petunjuk?

Kami memacu kuda masing-masing dengan perlahan, menyusuri jalan setapak dari dalam hutan. Di ujung batas pandang mata, tampak cahaya matahari menembus lebatnya pepohonan hutan, sepertinya itu jalan keluar dari hutan ini.

Tak ada satupun dari kami bertiga saling bicara, kami masih memasang kewaspadaan yang tinggi dan memasang pendengaran baik-baik. Siapa tahu, mara bahaya masih menghadang di depan sana. 

Karena tidak mungkin mereka secepat itu meninggalkan hutan ini, kecuali mereka punya sarang untuk tempat bersembunyi disini. Jika itu benar, itu artinya kami masih berada dalam bahaya. Karena bisa jadi di sarangnya akan ada lebih banyak lagi penjahat. 

Pemikiran inilah yang membuatku sependapat dengan Rangga Suta saat dia berkata, lebih baik kita segera meninggalkan hutan ini. Bagaimanapun terlalu percaya diri tanpa mempertimbangkan tantangan yang mungkin lebih berbahaya yang akan menghadang, itu terlalu konyol. 

Setelah beberapa waktu berlalu kami menyusuri jalan setapak, mengunci setiap gerak yang mencurigakan dan memastikannya bukan bahaya, akhirnya kami telah berhasil keluar dari hutan. 

"Huft," kami bernapas lega.

Pemandangan yang terhampar begitu kami keluar dari hutan adalah hamparan rumput dan ladang yang belum digarap manusia. 

Kami terus memacu kuda sampai menemukan hamparan sawah yang menghijau telah tampak membentang sejauh pandangan mata, tandanya sudah dekat dengan pemukiman penduduk. Wajah kami semringah membayangkan didepan sana akan menemukan kedai atau penginapan untuk sejenak melepas penat. 

"Kita cari kedai di kampung terdekat, Raden," ujar Rangga Suta.

"Iya, sebaiknya kita beristirahat terlebih dahulu, untuk memulihkan tenaga," jawabku.

"Kamu sudah lapar, Nimas?" tanya Rangga Suta sambil melemparkan senyuman.

Hanya di jawab anggukan kepala oleh Nimas, yang tampak menahan lapar. Dia terlihat menggemaskan dengan ekspresi itu, membuatku ingin mencubit pipinya. Eh ....

"Astaga, rasa apa ini?" gumamku.

"Ada apa, Raden?" Nimas menoleh, hanya kuisyaratkan dengan gelengan kepala saja.

Dari kejauhan, kami melihat beberapa orang petani sedang beristirahat dipinggir sawah mereka, aku turun dari kuda dan bertanya pada mereka, berapa lama lagi bisa menemukan penginapan atau kedai makan. 

"Kisanak, berjalan terus sampai ada gapura desa, tidak jauh dari gapura desa itu akan ada kedai makan," jawab petani yang kutanya. 

"Terimakasih, Kisanak. Sudah berbaik hati memberi petunjuk jalan pada kami," ucapku, kemudian berjalan menjauh meneruskan perjalanan. 

Persis seperti yang dikatakan petani tadi, kini kami sudah duduk dalam kedai. Menikmati makanan yang terasa sangat lezat, mungkin karena sudah sangat lapar. 

"Kangmas, menurutmu siapa mereka?" Bisik Nimas Ayu sambil melirik segerombolan orang yang baru tiba di depan kedai. 

Aku dan Rangga Suta sekilas melirik mereka dengan ekor mata kami, setelah itu pura-pura tak acuh, dan kembali melahap hidangan diatas meja. 

"Mana pemilik kedai ini?" bentakan yang keras itu mampu mengagetkan pengunjung kedai. Ada yang gemetaran, ada yang segera berlari meninggalkan kedai, ada pula yang tetap makan dengan tak acuh. Tak berapa lama seorang lelaki tua berjalan mendekati pria yang berteriak tadi, sambil menunduk ketakutan.

"Siapkan arak terbaik yang dimiliki kedai ini!" ujar pria yang beteriak itu, tampaknya dia adalah pimpinan gerombolan.

"Maaf, tapi kami tidak menyediakan arak dikedai kami, Tuan," jawab pemilik kedai gemetar. 

"Kedai macam apa yang tidak menyediakan arak, kau jangan membohongiku, Pak tua, atau nyawamu yang akan jadi tebusannya. Siapkan cepat, aku tidak suka menunggu!" pria itu kembali menggertak. Tapi pak tua pemilik kedai itu tak juga melangkah pergi.

"Apa kau tuli, Pak tua? cepat ambilkan arak!" wajahnya terlihat semakin gusar, karena perintahnya tidak ditaati. 

"T-Tapi kami benar-benar tidak punya, Kisanak. Kami bisa sediakan makanan dan minuman yang kami punya, kalo arak tidak punya," Pak tua pemilik warung mencoba menawarkan makanan.

Craaannnggggggg

Suara pedang ditarik dari sarungnya membelah kesunyian. Membuat semua pengunjung kedai ketakutan bila terjadi pertumpahan darah. 

"Jangan macam-macam denganku, Pak tua. Atau akan kucabut nyawamu!" wajah Pak Tua pemilik kedai semakin pucat pasi. Ketika pedang lelaki itu mulai melayang kearahnya. 

"Ppprrrraaaaaaannnngggggg"

Pedang itu tiba-tiba terjatuh dilantai, Lelaki begundal itu beringas menatap satu persatu pengunjung kedai. Memastikan siapa orang yang berani bermain-main dengannya. 

Sementara semua pengunjung kedai gemetar ketakutan. Hanya ada tiga orang yang seolah tidak merasa terganggu dengan ulah lelaki begundal menyebalkan itu, tentunya itu adalah Arya Wisesa, Rangga Suta dan Nimas Ayu Larasati. 

"Heeeyyy... Rupanya ada bidadari dikampung terpencil ini. Kenapa tadi aku tidak melihat? Hahaha ...." ucap lelaki begundal itu sembari berjalan mendekati Nimas Ayu Larasati.

Suara tawa mendadak menggema di kedai kecil itu, tawa yang menjijikkan saling bersahutan-sahutan dari anak buahnya. 

"Lumayan juragan, untuk penghangat nanti malam," teriakan cabul meluncur dari mulut kotor mereka.

"maniiisss... Kemarilah, tak usah takut, aku tidak akan kasar padamu, aku akan menjadikanmu wanitaku ... hahahaha," suara tawa lelaki begundal itu disambut dengan tawa membahana anak buahnya, yang semakin lama semakin memekakkan telinga.

"Jangan kurang ajar, jauhkan tangan kotormu itu dariku!" Nimas Ayu Larasati menepis dengan kasar, yang justru disambut dengan gelak tawa.

"Wooowww... Rupanya dia jinak-jinak merpati. Hahahahaha," ucap pimpinan rombongan.

"Diiaaaaaammmmm ... atau kusumpal mulut kotormu sampai tak mampu lagi bicara, hah?" gertak Nimas geram.

Rupanya Nimas Ayu Larasati sudah kehilangan kesabaran, akhirnya terjadilah yang harus terjadi.

Adu jotos dan adu senjata tak dapat lagi dihindari, seorang wanita dikeroyok belasan pria, sungguh memalukan. Tapi dalam kondisi itu, justru Nimas Ayu yang berada di atas angin, hanya dengan beberapa jurus saja, gerombolan begundal itu jatuh tak bisa bangun lagi. 

"Kau harus membayar kerusakan di kedai ini, Begundal. Atau kau akan mati di tanganku?" ancam Nimas Ayu Larasati pada mereka.

Akhirnya, pimpinan begundal itu mengeluarkan satu kantong kepeng dari balik bajunya. 

"pergilaaaahhh.. Tapi ingatlah, jangan pernah kamu datang lagi didesa ini. Kalo sampai aku melihatmu kembali kesini. Maka kupastikan aku akan membunuhmu. Mengerti !!!!" teriak Nimas Ayu lantang.

Dengan menaiki kuda masing-masing, mereka kocar kacir meninggalkan tempat itu. Kedai makan itu telah porak poranda. Nimas Ayu menghela nafas lega. Kemudian dia meletakkan kantong kepeng dari penjahat tadi dan menambah satu kantong lagi dimeja tempat dia makan untuk mengganti rugi kerusakan yang telah dia buat dikedai ini. 

Aku dan Rangga Suta tertawa saat melihat Nimas ayu mengerucutkan bibirnya. 

"Kalian tega, membiarkan seorang wanita dikeroyok belasan orang pria jahat tanpa membantu," ujarnya manja, begitu berbeda dengan saat dia bertarung dengan penjahat tadi, tampak begitu garang dengan para penjahat, sampai membuat mereka lari terbirit-birit. Sebaliknya sekarang seperti anak kecil yang sedang merajuk. 

'Duh, Nimas, kenapa hatiku jadi kebat-kebit melihat senyum indahmu?'

"Terimakasih, Nisanak pendekar cantik berjubah biru, tanpa Nisanak mungkin kami sudah berkalang tanah," penduduk desa semua bersuka cita, karena didesanya sudah kedatangan dewi penolong. 

Nimas Ayu mengangguk, kemudian berpamitan hendak melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan, Rangga Suta terus menggodanya, dengan julukan Nyai Pendekar Cantik Berjubah biru.

"Kelak saat sudah sampai di padhepokan, Kangmasmu ini yang akan mengumumkan gelarmu, Nimas," kelakar Rangga Suta terus saja menggoda adindanya yang telah memiliki julukan pendekar. 

"Sepertinya kau harus mencari gelar untuk dirimu sendiri, Rangga Suta," ujarku sambil terkekeh. 

"Baiklah, aku akan menyiapkan dulu nama yang indah sebagai julukanku," balasnya, membuat kami kembali tergelak bersama-sama.

Aku mendengus pelan.

Perjalanan singkat ini akan segera usai, ketika kami telah sampai di istanaku nanti. Entah rasanya akan seperti apa, saat harus berpisah dengan mereka. Hiks ...

Kegundahan hatiku, kembali datang, aku pasti akan sangat merindukan saat-saat seperti ini, nanti.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ovie Maria
ya Allah cerita ini candu sekali.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status