Pukul 03.00 sore.
Kamila Adelia baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja sebagai buruh di pabrik makanan. Dia buru-buru pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sore ini sebelum maghrib tiba, Kamila ada janji bertemu dengan calon tunangannya di alun-alun kota. Tapi ketika baru saja dia keluar dari kamar mandi, Kamila mendengar suara tangisan dari kamar sang adik tiri. "Huaaa..." Suara tangisan dari kamar adik tiri Kamila semakin keras terdengar di telinga. Kamila penasaran. Wanita berambut pendek itu segera menempelkan telinganya pada pintu kamar. "Aku tidak mau menikah dengan orang itu, Ma. Aku 'kan tidak sengaja menabraknya. Aku tidak bersalah." Suara Melia Agustin terisak dari dalam kamar. "Tenang saja, semua pasti akan baik-baik saja." Ibu Melia terdengar menenangkan. Sementara Kamila, telinganya masih saja menempel pada pintu. Di waktu yang bersamaan, pintu dibuka dari dalam, Kamila hilang keseimbangan sehingga tubuhnya terdorong masuk ke dalam. "Sedang apa kamu di sini, Kamila?" Ratih Agustin—ibu tiri Kamila bertanya sambil berkacak pinggang. Seketika Kamila gugup. "Maaf, Ma. Baru saja aku hendak ingin meminjam sisir pada Melia. Tapi pintunya tiba-tiba terbuka, dan aku jadi hilang keseimbangan," jawabnya mencari-cari alasan. Setelah mendiang ayahnya meninggal 2 tahun lalu, Kamila hidup bersama ibu dan adik tirinya di rumah peninggalan sang ayah. Dia tidak mampu pergi ke mana-mana, selain berusaha untuk bertahan di rumah yang kini terasa bagaikan di dalam neraka. Ratih Agustin—ibu tiri Kamila yang sikapnya berubah semenjak ayah Kamila meninggal. Seperti saat ini. "Kebetulan kamu ada di sini, Mama harus bicara dengan kamu." Ratih menarik tangan Kamila, membawa wanita berambut pendek itu ke ruang tamu untuk berbicara serius. "Ada apa, Ma? Kebetulan aku tidak bisa lama-lama. Sore ini aku udah ada janji bertemu Galang," kata Kamila sedikit berhati-hati dengan ucapannya. "Ada yang lebih penting daripada bertemu dengan Galang_si pria miskin itu." Ratih nampak serius. "Kamu harus segera putus dengan Galang. Kamu harus menikah dengan pria yang telah ditabrak oleh Melia. Pria itu lebih pantas menikah dengan kamu." Sontak, Kamila terkejut. Bola matanya sampai terbelalak. "Apa!" "Melia baru saja lulus SMA, tidak mungkin menikah dalam waktu dekat. Perjalanan hidupnya masih panjang, dia harus kuliah dan lulus S1 bahkan sampai S2. Melia harus sukses. Mama tidak mau Melia hidup seperti kamu yang hanya bekerja sebagai buruh makanan, dan terjebak dalam kehidupan yang salah." Panjang lebar Ratih menjelaskan. "Tapi aku dan Galang akan segera bertunangan. Aku tidak mau menikah dengan siapapun, kecuali dengan Galang—pria yang aku cintai." Kamila menolak dengan tegas. "Jadi, kamu tidak mau menolong Melia—adikmu sendiri, Kamila? Adikmu masih kecil. Melia tidak mungkin menikah di usia 18 tahun. Kamu harus paham. Di sini kamu yang sudah dewasa, kamu sudah 25 tahun dan sudah pantas untuk menikah." Lagi-lagi untuk yang kesekian kalinya, Kamila dipaksa untuk mengalah demi adik tiri. "Tapi aku tidak kenal dengan laki-laki itu. Kalau memang Melia harus bertanggung jawab, suruh Melia saja yang menikah dengan pria itu. Ajarkan Melia untuk menjadi wanita yang bertanggung jawab atas kesalahannya, Ma." Kamila masih protes. "Kamu tidak pantas bicara seperti itu!" sergah Ratih pada Kamila. Seminggu lalu, Melia memang sempat menabrak seorang pria tampan berwajah oriental bernama Daffa Azriel. Kondisi kaki pria itu saat ini menjadi lumpuh akibat kecelakaan yang Melia lakukan. Keluarga Daffa pun meminta tanggung jawab Melia untuk menjadi pengantin pengganti karena telah menggagalkan rencana pernikahan Daffa besok lusa. Tapi kini, Ratih malah meminta Kamila yang bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Wanita paruh baya itu, memaksa Kamila mengaku sebagai pelakunya. "Aku mohon, Ma. Aku hanya ingin menikah dengan Galang. Kami akan segera bertunangan." Kali ini Kamila menautkan kedua telapak tangannya di depan Ratih. Sepasang maniknya pun nampak berkaca-kaca. "Tidak, Kamila!" Ratih berdiri sambil berkacak pinggang. "Kamu harus tetap menolong Melia. Harus tetap menjadi pengantin pengganti untuk pria itu. Tolong mengerti keadaan ini, Kamila!" paksa Ratih. "Kamu tidak lupa 'kan, siapa yang mengurus kamu dari kecil? Mama yang telah mengurus dan membesarkan kamu dari usia 10 tahun, sampai kini kamu menjadi dewasa. Apakah kamu tidak ingin membalas budi baik Mama selama ini? Apakah kamu tega membiarkan Mama kesakitan sampai mati memikirkan kehidupan Melia?" Ratih segera mengungkit semuanya. Namun Kamila terlihat menggelengkan kepalanya. "Tidak, Ma. Bukan seperti itu. Aku akan tetap membalas budi baik Mama selama ini. Tapi bukan untuk menikah dengan—" "Cukup, Kamila! Mama tidak ingin balasan apapun dari kamu, kecuali hanya hari ini. Kamu harus menuruti permintaan Mama. Menikahlah dengan pria itu, bertanggung jawab atas kesalahan yang telah Melia lakukan. Karena kalau kamu tetap menolak, jangan pernah anggap aku ini sebagai mamamu lagi! jika kamu tetap tidak mau menikah dengan pria itu, maka Mama akan bunuh diri!" Ratih berlalu meninggalkan Kamila di ruang tamu. Lutut Kamila terasa lemas. Bagaimana mungkin harus menikah dengan orang yang tidak dia kenal, jangankan namanya, wajahnya pun Kamila tidak tahu seperti apa. Apalagi Ratih sempat berkata, pria itu sudah lumpuh karena ditabrak oleh Melia tempo lalu. Apa yang akan Kamila dapatkan dari pria lumpuh itu? Air mata Kamila seketika luruh di pipi. Sore ini, janjinya bertemu Galang batal sudah. Kamila terus saja memikirkan nasibnya. Dia tidak bisa menolak apalagi melawan kehendak Ratih. Hingga akhirnya... "Saya terima nikah dan kawinnya Kamila Adelia binti Suherman dengan mas kawin tersebut dibayar kontan!" Pria asing di samping Kamila mengucap ijab kabul dengan lantang. Akad pernikahan itu disaksikan oleh seluruh keluarga besar Daffa Azriel yang hanya mampu duduk di kursi roda. Kaki Daffa Azriel sudah lumpuh akibat benturan keras yang ditabrakkan oleh kendaraan yang dikemudikan Melia tempo lalu. "Bagaimana, Saksi? Sah?" "Sah!" Beberapa pasang manik terlihat berbinar penuh rasa haru dan bahagia. Tapi tidak dengan Kamila. Wanita berkulit putih itu kini hanya bisa menelan pil pahit dalam kehidupannya. Kamila berusaha membendung air mata, agar tidak menetes di hadapan semua orang. Kamila melihat ke arah Melia yang nampak melebarkan senyum bahagia atas pernikahannya. Harusnya Melia yang duduk di kursi pengantin, bukannya Kamila. Kamila menunduk. Tak ada yang dipikirkannya saat ini selain, bagaimana perasaan Galang kalau dia tahu Kamila menikah dengan orang lain? Kamila akan berusaha menjelaskan kepada Galang. Tapi sebelum niat Kamila itu terealisasi, tiba-tiba saja sebuah notifikasi sebagai tanda pesan masuk berbunyi pada ponsel Kamila. Pesan masuk itu datang dari Galang, membuat Kamila terkejut. Galang: [Kesalahan pertamaku adalah telah mencintaimu sepenuh hati. Kesalahan keduaku adalah menjadi pria miskin sehingga kamu memilih menikah dengan pria kaya walaupun cacat. Terima kasih atas luka yang telah kau torehkan. Akan kusimpan luka ini, sampai aku mati.] Kamila tidak mampu lagi membendung air matanya. Sebelum ia meminta maaf, ternyata Galang sudah terlebih dahulu mengetahui berita pernikahannya. Di atas kursi pelaminan, Kamila nampak berderai air mata.Baru kali ini rasanya Kamila membawa uang jajan senilai 10 juta. Selama ini, sebagai pekerja buruh di pabrik, dia harus menunggu selama 3 bulan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. Uang gajinya tak pernah tersisa. Bahkan selalu saja kurang. Kamila selalu mencari pekerjaan tambahan, untuk memenuhi sisa-sisa kebutuhan. Menikah dengan Daffa membuatnya terpaksa harus berhenti menjadi pekerja buruh pabrik. Tapi jika boleh memilih, Kamila lebih baik menjadi pekerja buruh daripada harus terpaksa menikah dengan Daffa—pria dingin yang penuh misteri. Tapi ya sudah. Semua telah terjadi, Kamila harus belajar menghadapi setiap tantangan baru dalam hidupnya. Ketika mentari mulai turun ke ufuk Barat, Kamila sudah berada di depan sebuah kantor showroom mobil. Gadis berkulit putih itu akan menemui Galang di sana. "Galang!" Kamila memanggil kekasihnya. Ia segera mendekati Galang yang mulai menjauh saat menyadari kedatangannya. "Tunggu, Galang!" Akan tetapi, Galang malah mempercepat langkahnya m
"Apa yang kamu lakukan? ini sudah larut malam? Ngapain kamu teriak-teriak?" Deretan pertanyaan yang keluar dari mulut Daffa tak langsung membuat Kamila tersadar. Wanita itu terlihat linglung.Kamila malah terlihat menelaah Daffa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nyatanya, Daffa masih duduk di kursi roda. Kedua kakinya masih tak mampu untuk berjalan. "Kamu bohong ya? Bukannya tadi kamu bisa berjalan?" Kamila malah berbalik tanya kepada Daffa. Melayangkan tatapan nanar penuh selidik."Apa yang kamu pikirkan, Kamila? Kalau aku bisa berjalan, tak mungkin kekasihku pergi meninggalkanku. Teriakanmu telah mengganggu tidurku!" sentak Daffa.Kamila mematung. Dia melihat Daffa memutar kursi rodanya, kembali ke tempat tidur.Kursi roda Daffa memang terlihat otomatis. Bisa diatur melalui remote control. Kamila melihat, dapat kembali tidur di atas kasur empuknya. Sementara dia masih saja mematung sambil menepuk pelan kedua pipinya. "Jadi aku hanya mimpi?" Kamila bertanya pada dirinya sendi
Apa!Kamila terkejut. Bersamaan dengan itu, air mata yang sempat dibendung akhirnya merembes, membasahi pipinya yang mulus."Tolong ampuni. Aku benar-benar belum siap. Kita tidak saling mengenal, aku tidak bisa melakukan—" kalimat Kamila tersendat. Bibirnya gemetar, tak sanggup menyelesaikan ucapannya."Memangnya kamu pikir kita akan melakukan apa?" potong Daffa.Kamila mendongak. "Malam pertama adalah HB (hubungan badan) 'kan?" tanyanya sambil terisak.Daffa terlihat memutar bola mata, mendendengus kesal. "Kamu pikir Aku mau melakukan HB denganmu? Menjijikan!" "Memangnya apalagi selain itu?" Kamila menjadi tak paham. "Tugas seorang istri bukan hanya sekedar HB bersama suaminya. Tugas istri adalah, melayani keinginan suaminya. Mengurus suaminya. Tapi aku tidak ingin HB denganmu. Aku tidak akan pernah berhubungan badan dengan wanita yang tak aku cintai, termasuk kamu!" tegas Daffa.Kamila menyeringai. Nafasnya yang sempat tersengal di tenggorokan seketika menjadi lancar. Ia segera me
"Jangan menangis! Kau pikir ini keinginanku?!" Pria di sebelah Kamila membentak. Dia adalah Daffa Azriel, terlihat melayangkan tatapan dingin kepada Kamila.Kamila segera mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata. Ia segera menelan rasa sakit di dalam dada. Segera mengatur nafas yang tersengal di tenggorokan."Kalau bukan karena gara-gara kamu, kekasihku tidak akan pernah pergi meninggalkanku!" Daffa Azriel kembali membentak.Sontak Kamila mendongak terkejut. Dia menunjuk wajahnya sendiri. "Apa! Gara-gara aku?" Dia bahkan tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepada pria di sampingnya. "Jangan pura-pura tidak paham. Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu!"Kamila menghela nafas berat. Dia memang tidak paham dengan ucapan pria yang kini telah menjadi suaminya itu.Hingga pada malam tiba. Kamila yang kini duduk di meja rias, segera mencopot semua pernak-pernik yang menempel di kepala. Gaun pengantin yang melilit tubuh indahnya, segera diganti dengan setelan kaos dan celana j
Pukul 03.00 sore. Kamila Adelia baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja sebagai buruh di pabrik makanan. Dia buru-buru pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sore ini sebelum maghrib tiba, Kamila ada janji bertemu dengan calon tunangannya di alun-alun kota. Tapi ketika baru saja dia keluar dari kamar mandi, Kamila mendengar suara tangisan dari kamar sang adik tiri. "Huaaa..." Suara tangisan dari kamar adik tiri Kamila semakin keras terdengar di telinga. Kamila penasaran. Wanita berambut pendek itu segera menempelkan telinganya pada pintu kamar. "Aku tidak mau menikah dengan orang itu, Ma. Aku 'kan tidak sengaja menabraknya. Aku tidak bersalah." Suara Melia Agustin terisak dari dalam kamar. "Tenang saja, semua pasti akan baik-baik saja." Ibu Melia terdengar menenangkan. Sementara Kamila, telinganya masih saja menempel pada pintu. Di waktu yang bersamaan, pintu dibuka dari dalam, Kamila hilang keseimbangan sehingga tubuhnya terdorong masuk ke da