"Jangan menangis! Kau pikir ini keinginanku?!"
Pria di sebelah Kamila membentak. Dia adalah Daffa Azriel, terlihat melayangkan tatapan dingin kepada Kamila. Kamila segera mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata. Ia segera menelan rasa sakit di dalam dada. Segera mengatur nafas yang tersengal di tenggorokan. "Kalau bukan karena gara-gara kamu, kekasihku tidak akan pernah pergi meninggalkanku!" Daffa Azriel kembali membentak. Sontak Kamila mendongak terkejut. Dia menunjuk wajahnya sendiri. "Apa! Gara-gara aku?" Dia bahkan tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepada pria di sampingnya. "Jangan pura-pura tidak paham. Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu!" Kamila menghela nafas berat. Dia memang tidak paham dengan ucapan pria yang kini telah menjadi suaminya itu. Hingga pada malam tiba. Kamila yang kini duduk di meja rias, segera mencopot semua pernak-pernik yang menempel di kepala. Gaun pengantin yang melilit tubuh indahnya, segera diganti dengan setelan kaos dan celana jeans. "Mau ke mana kamu?" Tubuh mungil Kamila, dihadang seseorang ketika hendak keluar dari ruangan ganti. Seorang wanita paruh baya yakni ibunda dari Daffa Azriel. "Mau pulang," jawab Kamila kepada wanita paruh baya yang masih mengenakan gaun. "Kamu sudah menjadi istri Daffa. Kamu tidak boleh kemana-mana. Kamu harus ikut pulang bersama kami." Sorotan mata wanita paruh baya itu setajam samurai, seketika membungkam mulut Kamila. Sementara itu, Kamila melihat kendaraan roda empat yang ditumpangi oleh Ratih dan Melia sudah berlalu meninggalkan gedung pernikahan. Ratih bahkan tidak sempat menemui Kamila untuk sekedar berpamitan atau mengajaknya pulang. Mungkin benar dengan apa yang dikatakan wanita paruh baya di depan Kamila saat ini, Kamila harus ikut pulang ke rumah suaminya. "Maaf, Tante. Jujur saya belum siap. Saya minta waktu satu malam saja." Kamila menautkan kedua telapak tangannya di depan wanita paruh baya-ibunda Daffa yang belum ia ketahui namanya. "Saya juga belum siap memiliki menantu seperti kamu. Semua ini terpaksa. Semua gara-gara kamu. Kehilangan calon menantu dari keluarga terpandang adalah mimpi buruk bagi saya. Kamu harus mempertanggungjawabkan semuanya!" Ibunda Daffa semakin geram kepada Kamila. Tanpa menunda waktu, wanita paruh baya itu kemudian menarik tangan Kamila, menyeretnya masuk ke dalam kendaraan roda empat. "Tolong pelan-pelan, Tante. Jangan kasar," pekik Kamila mengiba. Namun permintaan Kamila tak dihiraukan oleh ibunda Dafa. Wanita berkulit putih itu kini sudah masuk dan duduk di kendaraan roda empat yang terlihat mewah. Di sampingnya, Kamila melihat Daffa Azriel sudah duduk tanpa menatapnya. Akan dibawa kemana Kamila sekarang? Kamila resah. Malam ini bahkan malam pertama setelah akad pernikahan. Kamila tidak mau berbulan madu dengan pria manapun selain Galang—sang kekasih. 'Ayo berpikir, Kamila! Cepat mikir! Apa yang harus aku lakukan agar pria dingin di sampingku ini tak mau menyentuhku?' gumam Kamila dalam hati yang resah. Jari telunjuknya terlihat mengetuk-ngetuk keningnya sendiri. Kelopak matanya dipejamkan, tengah berpikir sesuatu. Hingga tak terasa, mereka telah sampai di sebuah rumah mewah dengan gerbang yang menjulang tinggi. Kamila sempat terperangah. Kediaman mewah di depannya itu, seperti istana pangeran dalam dongeng cerita para raja. Mulut kamila sedikit menganga. Sementara bola matanya nampak terbelalak. Bahkan ketika dia sudah keluar dari kendaraan roda empat, bola matanya mengelilingi seluruh area kediaman yang sangat luas bak stadion sepak bola. "Gila! Ada berapa pembantu di rumah ini? Ini pasti tidak akan cukup hanya dengan tiga pembantu saja." Bisa-bisanya Kamila memikirkan hal yang konyol seperti itu. Permasalahannya saat ini bahkan lebih parah dari itu. "Kamila!" Panggil ibunda Daffa. "Iya, Tante," sahut Kamila setelah sadar dari lamunan singkat. "Saya ini bukan tante kamu! Setidaknya, kamu panggil saya Mama. Agar enak didengar. Meskipun saya juga tidak sudi punya anak menantu seperti kamu," cibir wanita paruh baya itu kepada Kamila Kamila menurunkan tatapannya. "Iya. Maaf, Ma." "Siapkan kursi roda Daffa di bagasi belakang. Kemudian kamu bawa Daffa untuk masuk ke rumah." Hari pertama menjadi menantu, Kamila seolah dianggap pembantu. Wanita paruh baya itu meninggalkan Kamila dan Daffa di parkiran. Masa iya, seorang konglomerat tidak memiliki pembantu, dan malah Kamila yang harus mendorong suaminya masuk ke rumah dengan menggunakan kursi roda. Dan ketika telah masuk ke rumah. "Bawa saya masuk ke kamar itu." Daffa mengarahkan telunjuknya pada sebuah pintu kamar. "Baik," balas Kamila berusaha ramah. Kamila membawa masuk Daffa ke sebuah kamar yang memiliki ukuran yang luas, seluas ruang keluarga di rumahnya. Di kamar itu hanya ada mereka berdua. Pintunya tertutup dengan sendirinya. Kamila membeliak terkejut. Ia segera berlari ke arah pintu. Tangannya memutar handle pintu, berusaha membuka pintu yang ternyata sudah dikunci. Siapa yang telah mengunci pintu? Kamila tidak sadar, kalau ternyata Daffa yang telah mengunci pintu dengan menggunakan remote control. "Kau mau ke mana?" Daffa bertanya. Raut wajahnya masih terlihat dingin. Kemudian Kamila segera menautkan kedua tangannya. "Aku mohon, Izinkan aku keluar dari kamar ini. Sungguh aku belum siap." "Memangnya kamu pikir aku siap? Kamu bahkan wanita yang bukan levelku," hina Daffa. "Pernikahan kita terjadi, hanya karena kamu yang telah menghancurkan semuanya. Kamu telah membuat kekasihku meninggalkanku. Kamu harus bertanggung jawab, layani aku malam ini!" Nyatanya, kursi roda Daffa bisa berjalan dengan sendiri, mendekati Kamila. "Tidak, tolong beri saya waktu." Kamila masih memelas. Wajah Daffa memang terlihat tampan, tetapi Kamila belum memiliki perasaan apa-apa kepada pria di depannya itu. Kamila kemudian menekuk lututnya. Memohon di depan kaki Daffa. "Aku hanya butuh waktu. Lagi pula, aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepada Anda," lirih Kamila. "Mengapa kamu terus saja tidak mau mengakui kesalahanmu? Jelas-jelas mobilmu sendiri yang telah menabrak kakiku hingga lumpuh. Dan sekarang kamu masih saja mau lari dari kesalahan? Manusia macam apa kamu?" Daffa menjadi semakin geram. "Tidak, aku tidak pernah—" Kalimat Kamila seketika menggantung. Dia masih ingat pesan ibunya yang berkata, "Jangan pernah sekalipun kamu mengatakan semuanya kepada keluarga Daffa. Jangan bawa-bawa Melia. Mama lebih baik mati bunuh diri, kalau sampai Melia terkena masalah ini." Mulut Kamila seketika terbungkam. Dia tak jadi menyelesaikan kalimatnya. "Kenapa tidak dilanjutkan?" Hingga Daffa bertanya. Kamila berpikir terlebih dahulu. "Aku tidak pernah sengaja melakukan itu. Aku minta maaf," tuturnya menjadi berbohong. Itu semua dilakukan semata-mata hanya untuk menyelamatkan Ratih dari ancaman bunuh diri. "Aku akan memaafkanmu, tapi kamu harus melayani kebutuhanku. Layani aku, layaknya suamimu," pinta Daffa dengan tegas. Apa! Kamila terkejut. Bersamaan dengan itu, air mata yang terbendung akhirnya merembes, membasahi pipinya yang mulus.Baru kali ini rasanya Kamila membawa uang jajan senilai 10 juta. Selama ini, sebagai pekerja buruh di pabrik, dia harus menunggu selama 3 bulan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. Uang gajinya tak pernah tersisa. Bahkan selalu saja kurang. Kamila selalu mencari pekerjaan tambahan, untuk memenuhi sisa-sisa kebutuhan. Menikah dengan Daffa membuatnya terpaksa harus berhenti menjadi pekerja buruh pabrik. Tapi jika boleh memilih, Kamila lebih baik menjadi pekerja buruh daripada harus terpaksa menikah dengan Daffa—pria dingin yang penuh misteri. Tapi ya sudah. Semua telah terjadi, Kamila harus belajar menghadapi setiap tantangan baru dalam hidupnya. Ketika mentari mulai turun ke ufuk Barat, Kamila sudah berada di depan sebuah kantor showroom mobil. Gadis berkulit putih itu akan menemui Galang di sana. "Galang!" Kamila memanggil kekasihnya. Ia segera mendekati Galang yang mulai menjauh saat menyadari kedatangannya. "Tunggu, Galang!" Akan tetapi, Galang malah mempercepat langkahnya m
"Apa yang kamu lakukan? ini sudah larut malam? Ngapain kamu teriak-teriak?" Deretan pertanyaan yang keluar dari mulut Daffa tak langsung membuat Kamila tersadar. Wanita itu terlihat linglung.Kamila malah terlihat menelaah Daffa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nyatanya, Daffa masih duduk di kursi roda. Kedua kakinya masih tak mampu untuk berjalan. "Kamu bohong ya? Bukannya tadi kamu bisa berjalan?" Kamila malah berbalik tanya kepada Daffa. Melayangkan tatapan nanar penuh selidik."Apa yang kamu pikirkan, Kamila? Kalau aku bisa berjalan, tak mungkin kekasihku pergi meninggalkanku. Teriakanmu telah mengganggu tidurku!" sentak Daffa.Kamila mematung. Dia melihat Daffa memutar kursi rodanya, kembali ke tempat tidur.Kursi roda Daffa memang terlihat otomatis. Bisa diatur melalui remote control. Kamila melihat, dapat kembali tidur di atas kasur empuknya. Sementara dia masih saja mematung sambil menepuk pelan kedua pipinya. "Jadi aku hanya mimpi?" Kamila bertanya pada dirinya sendi
Apa!Kamila terkejut. Bersamaan dengan itu, air mata yang sempat dibendung akhirnya merembes, membasahi pipinya yang mulus."Tolong ampuni. Aku benar-benar belum siap. Kita tidak saling mengenal, aku tidak bisa melakukan—" kalimat Kamila tersendat. Bibirnya gemetar, tak sanggup menyelesaikan ucapannya."Memangnya kamu pikir kita akan melakukan apa?" potong Daffa.Kamila mendongak. "Malam pertama adalah HB (hubungan badan) 'kan?" tanyanya sambil terisak.Daffa terlihat memutar bola mata, mendendengus kesal. "Kamu pikir Aku mau melakukan HB denganmu? Menjijikan!" "Memangnya apalagi selain itu?" Kamila menjadi tak paham. "Tugas seorang istri bukan hanya sekedar HB bersama suaminya. Tugas istri adalah, melayani keinginan suaminya. Mengurus suaminya. Tapi aku tidak ingin HB denganmu. Aku tidak akan pernah berhubungan badan dengan wanita yang tak aku cintai, termasuk kamu!" tegas Daffa.Kamila menyeringai. Nafasnya yang sempat tersengal di tenggorokan seketika menjadi lancar. Ia segera me
"Jangan menangis! Kau pikir ini keinginanku?!" Pria di sebelah Kamila membentak. Dia adalah Daffa Azriel, terlihat melayangkan tatapan dingin kepada Kamila.Kamila segera mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata. Ia segera menelan rasa sakit di dalam dada. Segera mengatur nafas yang tersengal di tenggorokan."Kalau bukan karena gara-gara kamu, kekasihku tidak akan pernah pergi meninggalkanku!" Daffa Azriel kembali membentak.Sontak Kamila mendongak terkejut. Dia menunjuk wajahnya sendiri. "Apa! Gara-gara aku?" Dia bahkan tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepada pria di sampingnya. "Jangan pura-pura tidak paham. Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu!"Kamila menghela nafas berat. Dia memang tidak paham dengan ucapan pria yang kini telah menjadi suaminya itu.Hingga pada malam tiba. Kamila yang kini duduk di meja rias, segera mencopot semua pernak-pernik yang menempel di kepala. Gaun pengantin yang melilit tubuh indahnya, segera diganti dengan setelan kaos dan celana j
Pukul 03.00 sore. Kamila Adelia baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja sebagai buruh di pabrik makanan. Dia buru-buru pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sore ini sebelum maghrib tiba, Kamila ada janji bertemu dengan calon tunangannya di alun-alun kota. Tapi ketika baru saja dia keluar dari kamar mandi, Kamila mendengar suara tangisan dari kamar sang adik tiri. "Huaaa..." Suara tangisan dari kamar adik tiri Kamila semakin keras terdengar di telinga. Kamila penasaran. Wanita berambut pendek itu segera menempelkan telinganya pada pintu kamar. "Aku tidak mau menikah dengan orang itu, Ma. Aku 'kan tidak sengaja menabraknya. Aku tidak bersalah." Suara Melia Agustin terisak dari dalam kamar. "Tenang saja, semua pasti akan baik-baik saja." Ibu Melia terdengar menenangkan. Sementara Kamila, telinganya masih saja menempel pada pintu. Di waktu yang bersamaan, pintu dibuka dari dalam, Kamila hilang keseimbangan sehingga tubuhnya terdorong masuk ke da