Hingga akhirnya...
"Saya terima nikah dan kawinnya Kamila Adelia binti Suherman dengan mas kawin tersebut dibayar kontan!" Pria asing di samping Kamila mengucap ijab kabul dengan lantang. Akad pernikahan itu disaksikan oleh seluruh keluarga besar Daffa Azriel. "Bagaimana, Saksi? Sah?" "Sah!" Beberapa pasang manik terlihat berbinar penuh rasa haru dan bahagia. Tapi tidak dengan Kamila. Wanita berkulit putih itu kini hanya bisa menelan pil pahit dalam kehidupannya. Kamila berusaha membendung air mata, agar tidak menetes di hadapan semua orang. Kamila melihat ke arah Ratih dan Melia yang turut melebarkan senyum bahagia atas pernikahannya. Tak ada yang Kamila pikirkan saat ini selain, bagaimana perasaan Galang kalau dia tahu dia menikah dengan orang lain? Kamila akan berusaha menjelaskan kepada Galang. Tapi sebelum niat Kamila itu terealisasi, tiba-tiba saja sebuah notifikasi sebagai tanda pesan masuk berbunyi pada ponsel Kamila. Pesan masuk itu datang dari Galang, membuat Kamila terkejut. Galang: [Kesalahan pertamaku adalah telah mencintaimu sepenuh hati. Kesalahan keduaku adalah menjadi pria miskin sehingga kamu memilih menikah dengan pria kaya walaupun cacat. Terima kasih atas luka yang telah kau torehkan. Akan kusimpan luka ini, sampai aku mati.] Kamila tidak mampu lagi membendung air matanya. Sebelum ia meminta maaf, ternyata Galang sudah terlebih dahulu mengetahui berita pernikahannya. Di atas kursi pelaminan, Kamila nampak berderai air mata. "Jangan menangis! Kamu pikir ini keinginan saya?!" Pria di sebelah Kamila membentak. Dia adalah Daffa Azriel, terlihat melayangkan tatapan dingin kepada Kamila. Kamila segera mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata. Ia segera menelan rasa sakit di dalam dada. Segera mengatur nafas yang tersengal di tenggorokan. "Kalau bukan karena gara-gara kamu, kekasih saya tidak akan pernah pergi meninggalkan saya!" Daffa Azriel kembali membentak. Sontak Kamila mendongak terkejut. Dia menunjuk wajahnya sendiri. "Apa! Gara-gara saya?" Dia bahkan tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepada pria di sampingnya. "Jangan pura-pura tidak paham. Saya tidak butuh penjelasan apapun darimu!" Kamila menghela nafas berat. Dia memang tak pernah melakukan kesalahan pada Daffa Azriel. Sampa detik ini, ia masih tak tahu mengapa bukti kesalahan itu begitu jelas mengarah padanya. Hingga pada malam tiba. Kamila yang kini duduk di meja rias, segera mencopot semua pernak-pernik yang menempel di kepala. Gaun pengantin yang melilit tubuh indahnya, segera diganti dengan setelan kaos dan celana jeans. "Mau ke mana kamu?" Tubuh mungil Kamila, dihadang seseorang ketika hendak keluar dari ruangan ganti. Seorang wanita paruh baya yakni ibunda dari Daffa Azriel. "Mau pulang," jawab Kamila kepada wanita paruh baya yang masih mengenakan gaun. "Kamu sudah menjadi istri Daffa. Kamu tidak boleh kemana-mana. Kamu harus ikut pulang bersama kami." Sorotan mata wanita paruh baya itu setajam samurai, seketika membungkam mulut Kamila. Sementara itu, Kamila melihat kendaraan roda empat yang ditumpangi oleh Ratih dan Melia sudah berlalu meninggalkan gedung pernikahan. Ratih bahkan tidak sempat menemui Kamila untuk sekedar berpamitan atau mengajaknya pulang. Mungkin benar dengan apa yang dikatakan wanita paruh baya di depan Kamila saat ini, Kamila harus ikut pulang ke rumah suaminya. "Maaf, Tante. Jujur saya belum siap. Saya minta waktu satu malam saja." Kamila menautkan kedua telapak tangannya di depan wanita paruh baya-ibunda Daffa yang belum ia ketahui namanya. "Saya juga belum siap memiliki menantu seperti kamu. Semua ini terpaksa. Semua gara-gara kamu. Kehilangan calon menantu dari keluarga terpandang adalah mimpi buruk bagi saya. Kamu harus mempertanggungjawabkan semuanya!" Ibunda Daffa semakin geram kepada Kamila. Tanpa menunda waktu, wanita paruh baya itu kemudian menarik tangan Kamila, menyeretnya masuk ke dalam kendaraan roda empat. "Tolong pelan-pelan, Tante. Jangan kasar," pekik Kamila mengiba. Namun permintaan Kamila tak dihiraukan oleh ibunda Dafa. Wanita berkulit putih itu kini sudah masuk dan duduk di kendaraan roda empat yang terlihat mewah. Di sampingnya, Kamila melihat Daffa Azriel sudah duduk tanpa menatapnya. Akan dibawa kemana Kamila sekarang? Kamila resah. Malam ini bahkan malam pertama setelah akad pernikahan. Kamila tidak mau berbulan madu dengan pria manapun selain Galang—sang kekasih. 'Ayo berpikir, Kamila! Cepat mikir! Apa yang harus aku lakukan agar pria dingin di sampingku ini tak mau menyentuhku?' gumam Kamila dalam hati yang resah. Jari telunjuknya terlihat mengetuk-ngetuk keningnya sendiri. Kelopak matanya dipejamkan, tengah berpikir sesuatu. Hingga tak terasa, mereka telah sampai di sebuah rumah mewah dengan gerbang yang menjulang tinggi. Kamila sempat terperangah. Kediaman mewah di depannya itu, seperti istana pangeran dalam dongeng cerita para raja. Mulut kamila sedikit menganga. Sementara bola matanya nampak terbelalak. Bahkan ketika dia sudah keluar dari kendaraan roda empat, bola matanya mengelilingi seluruh area kediaman yang sangat luas bak stadion sepak bola. "Gila! Ada berapa pembantu di rumah ini? Ini pasti tidak akan cukup hanya dengan satu pembantu saja." Bisa-bisanya Kamila memikirkan hal yang konyol seperti itu. Permasalahannya saat ini bahkan lebih parah dari itu. "Kamila!" Panggil ibunda Daffa. "Iya, Tante," sahut Kamila setelah sadar dari lamunan singkat. "Saya ini bukan tante kamu! Setidaknya, kamu panggil saya Mama. Agar enak didengar. Meskipun sebenarnya saya juga tidak sudi punya anak menantu seperti kamu," cibir wanita paruh baya itu kepada Kamila Kamila menurunkan tatapannya. "Iya. Maaf, Ma." "Siapkan kursi roda Daffa di bagasi belakang. Kemudian kamu bawa Daffa untuk masuk ke rumah." Hari pertama menjadi menantu, Kamila seolah dianggap pembantu. Wanita paruh baya itu meninggalkan Kamila dan Daffa. Masa iya, seorang konglomerat tidak memiliki pembantu, dan malah Kamila yang harus mendorong suaminya masuk ke rumah dengan menggunakan kursi roda. Dan ketika telah masuk ke rumah. "Bawa saya masuk ke kamar itu." Daffa mengarahkan telunjuknya pada sebuah pintu kamar. "Baik," balas Kamila berusaha ramah. Padahal isi dada terasa berdebar resah. Kamila membawa masuk Daffa ke sebuah kamar yang memiliki ukuran yang luas, seluas ruang keluarga di rumahnya. Di kamar itu hanya ada mereka berdua. Pintunya tertutup dengan sendirinya. Kamila membeliak terkejut. Ia segera berlari ke arah pintu. Tangannya memutar handle pintu, berusaha membuka pintu yang ternyata sudah dikunci. Siapa yang telah mengunci pintu? Kamila tidak sadar, kalau ternyata Daffa yang telah mengunci pintu dengan menggunakan remote control. "Kau mau ke mana?" Daffa bertanya. Raut wajahnya masih terlihat dingin. Kemudian Kamila segera menautkan kedua tangannya. "Aku mohon, Izinkan aku keluar dari kamar ini. Sungguh aku belum siap." "Memangnya kamu pikir aku siap? Kamu bahkan wanita yang bukan levelku," hina Daffa. "Pernikahan kita terjadi, hanya karena kamu yang telah menghancurkan semuanya. Kamu telah membuat kekasihku meninggalkanku. Kamu harus bertanggung jawab, layani aku malam ini!" Nyatanya, kursi roda Daffa bisa berjalan dengan sendiri, mendekati Kamila. "Tidak, tolong beri saya waktu." Kamila masih memelas. Wajah Daffa memang terlihat tampan, tetapi Kamila belum memiliki perasaan apa-apa kepada pria di depannya itu. Kamila kemudian menekuk lututnya. Memohon di depan kaki Daffa. "Saya hanya butuh waktu. Lagi pula, saya tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepada Anda," lirih Kamila. "Mengapa kamu terus saja tidak mau mengakui kesalahanmu? Jelas-jelas mobilmu sendiri yang telah menabrak kaki saya hingga lumpuh. Dan sekarang kamu masih saja mau lari dari kesalahan? Manusia macam apa kamu?" Daffa menjadi semakin geram. "Tidak, saya tidak pernah—" Mulut Kamila seketika terbungkam. Sadar tak memiliki bukti, dia tak jadi menyelesaikan kalimatnya. "Kenapa tidak dilanjutkan?" Hingga Daffa bertanya. Kamila berpikir terlebih dahulu. "Saya tidak pernah sengaja melakukan itu. Saya minta maaf," tuturnya menjadi berbohong. "Saya akan memaafkanmu, tapi kamu harus melayani semua kebutuhan saya. Layani saya, layaknya suamimu," pinta Daffa dengan tegas.Setiba aja di rumah bersalin, beberapa petugas medis langsung menyiapkan bad emergency.Kamila yang dibantu Daffa keluar dari mobil, lalu segera naik ke atas bed emergency. Paramedis mendorong bad emergency yang ditumpangi oleh Kamila menuju IGD.Kedatangan Kamila disambut dengan sigap oleh petugas medis yang langsung memeriksa. "Untuk keluarganya Mohon tunggu sebentar di luar, hanya ada suaminya yang menemani. Kami akan segera melakukan pemeriksaan," kata petugas medis yang mulai memeriksa Kamila."Baik." Dinda dan Ratih paham. Mereka langsung menunggu di ruang tunggu. Yang menemani Kamila hanyalah Daffa seorang.Ratih dan Dina memang sangat mencemaskan Kamila. Tapi mereka menyerahkan seluruhnya pada petugas medis yang sudah paham. Sementara Daffa yang berdiri di dekat Kamila, menyaksikan tugas medis mulai memeriksa jalan lahir milik Kamila."Mas," desis Kamila sambil memegang erat tangan Daffa. Raut wajahnya nampak cemas.Daffa yang tangannya terus saja membelai lembut rambut Kam
Kediaman Daffa Azriel kali ini tengah ramai oleh orang-orang yang hadir pada acara tasyakuran 7 bulanan Kamila.Keluarga besar Daffa Azril, semuanya turut hadir. Tapi dari keluarga Kamila, hanya ada Ratih seorang. Kamila memang tidak memiliki keluarga besar, dia hanya memiliki Ratih—ibu tirinya. Tapi meskipun begitu, Kamila sangat bahagia, karena dia begitu diratukan oleh seluruh keluarga Daffa Azril. Dia seperti merasakan keluarga yang sebenarnya. Keluarga yang sangat menyayanginya. Seperti hari ini, acara tasyakuran 7 bulanan Kamila seluruhnya diurus oleh keluarga besar Daffa. Kamila dan Daffa tinggal terima beres.Acara pengajian pun akan segera digelar. Kamila sudah berdandan cantik dengan menggunakan gamis berwarna putih serta kerudung berwarna putih. Kamila duduk di samping Daffa. Lantunan-lantunan ayat suci Alquran, beserta dzikir serta mahalul qiyam terdengar sangat sejuk di tengah telinga. Ayat-ayat suci Alquran itu terasa membuat hati siapa saja menjadi tenang tatkala mend
Kamila akan fokus pada kehamilannya. Biarkan orang lain berpikiran buruk tentangnya. Yang pasti saat ini Kamila merasa bahagia karena memiliki suami seperti Daffa. Takdir Tuhan memang tidak pernah salah. Pantas saja dia tidak jadi menikah dengan Galang, karena ternyata Tuhan sudah menyiapkan Daffa untuk Kamila. Meskipun awal pertemuan Daffa dan Kamila memang tidak mengenakkan. Banyak sekali intrik di dalamnya. Namun pada akhirnya, kini Kamila sangat sadar dan yakin bahwa Daffa adalah yang terbaik untuknya. Kamila segera melebarkan tangannya, memeluk Daffa begitu erat. "Mas, Aku sangat mencintai kamu. Aku sangat bahagia sekali bisa menjadi istri kamu. Aku tidak pernah menyangka kalau rasa ini benar-benar kuat." Kamila berucap sambil memeluk suaminya. Pelukan Kamila pun langsung dibalas oleh Daffa. "Aku juga sangat mencintai kamu, Sayang. Aku juga sama seperti kamu, tidak pernah menyangka kalau rasa ini benar-benar sangat kuat. Tuhan memang adil. Pertemuan kita begitu banyak
"Ada apa, Kamila?" Daffa yang tengah menyetir, jadi bertanya melihat Kamila mendumel sendirian."Ini Melia, Mas. Kata Mama bilang Melia itu pergi ke luar negeri dengan pacar bulenya. Melia juga telah sudah menguras harta Mama. Meninggalkan hutang yang banyak sampai Mama sengsara menjadi pengemis. Tapi di dalam sosial media, dia malah enak-enakan dengan pacar bulenya. Tega sekali dia padamu," dalam kamila. Dia segera menutup layar ponselnya karena muak dengan penampilan Melia. "Biarlah, nanti dia juga akan kena karmanya sendiri. Dia pikir menelantarkan ibu kandung itu tidak dosa? Ya pasti akan merasakan akibat dari perbuatannya." Daffa menanggapi dengan santai. "Kalau bisa kamu jangan mengatakan kabar Melia kepada Mama ya. Aku hanya ingin Mama tenang saja. Tanpa terus-terusan memikirkan Melia. Aku juga senang karena Mama turut tinggal bersama kita. Mama sangat baik padaku dan juga Dinda. Mama sudah jauh berubah. Dia juga selalu terlihat baik padamu," lanjut Daffa masih dengan tanggap
Kehidupan Daffa dan Kamila semakin terlihat harmonis dan romantis.Semakin hari, berganti minggu, berganti bulan, bertambah pula usia kehamilan Kamila. Seperti saat ini, menginjak usia kehamilan ke 7 bulan, Kamila merasakan getaran pada perutnya. Bukan hanya itu, bayinya bergerak sangat lincah di dalam perut Kamila. "Mas, bayinya bergerak," panggil Kamila pada suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi.Daffa yang baru saja selesai mandi, langsung antusias dan mendekati Kamila. Dia segera mengangkat baju Kamila, selalu menempelkan telinganya pada perut Kamila. "Katanya anak kita sangat bahagia karena mama dan papanya sudah saling mencintai." Daffa menggoda Kamila. Kali ini bahkan dia terlihat mengusap-ngusap perut Kamila dengan sangat lembut. Kamila dan nafas saling melemparkan tatapan dan senyuman penuh rasa bahagia dan haru. "Oh iya, bukankah ini waktunya kamu periksa kandungan?" Daffa segera mengingatkan Kamila, saat mengingat sesuatu."Oh iya, Mas. Benar. Bisa-bisanya a
4 bulan berlalu. Di kediaman Daffa hari ini.Kamila terlihat sangat bahagia karena Daffa berencana akan mengadakan tasyakuran 4 bulan kehamilan.Banyak sekali yang Daffa undang untuk acara bahagianya itu. Termasuk seluruh keluarga besar Daffa. Mereka tak hanya berdua, Ratih yang kembali tinggal di sana turut andil mengurus semua keperluan untuk tasyakuran. Acara tasyakuran itu akan berlangsung sekitar satu minggu lagi. Tapi kesibukan sudah mulai terlihat dari sekarang. Seperti persiapan buah-buahan, makanan kering, pesanan makanan basah, dan banyak lagi. Itu semua di handle oleh Ratih. Ratih tak akan membiarkan Kamila kecapean. Semua dihandle olehnya. Ratih kini terlihat sangat menyayangi Kamila, melebihi anaknya sendiri.Ratih juga selalu mempersiapkan susu dan makanan sehat untuk Kamila. Dia sangat senang karena sebentar lagi akan memiliki cucu."Jaga kesehatan kamu ya, Kamila. Mama akan pastikan kesehatan kamu. Seandainya almarhum papa kamu masih ada, beliau pasti akan sangat b