Melia terlihat percaya diri. Gadis berusia 18 tahun itu masih tak mau beranjak dari sofa ruang tamu kediaman Daffa Azriel. Ia masih bertekad ingin mengacaukan kebahagiaan Kamila. Adik tiri Kamila itu memang tak rela melihat Kamila lebih beruntung darinya.
HIV AIDS? Kamila sampai menaikan kedua alisnya tatkala mendengar itu. Kamila yang mengetahui dari balik dinding penyekat, berdoa dalam hatinya, semoga adiknya itu berhasil membuat Kamila lepas dari Daffa. Kamila mengira, sang adik tiri tengah berusaha menyelamatkannya. "Apa buktinya?" tantang Daffa setelah itu. "Ada kok." Melia langsung merogoh tas kecil yang menggantung di bahunya. Ia mengambil selembar kertas dari dalam tasnya. Kertas itu, Melia sodorkan pada Daffa. "Ini buktinya." Daffa mengambil kertas yang diberikan Melia. Itu adalah kertas sebagai bukti hasil pemeriksaan dari laboratorium. Dari mana Melia mendapatkan itu? Entahlah, karena kertas itu sampai membuat Daffa terlihat menahan emosi. "Kamu bisa pergi dari rumah saya sekarang." Daffa kembali mengusir Melia. "Loh! Kenapa Pak Daffa mengusir saya lagi? Apa bukti itu kurang jelas?" Melia masih ngotot. "Saya akan mengecek keaslian surat keterangan ini." Melia tercengang. "Tidak perlu, Pak. Surat hasil laboratorium itu sudah asli. Pak Daffa tak perlu mengecek ulang," sarannya. "Kamu tidak berhak mengatur saya!" sentak Daffa membuat Melia takut. 'Galak sekali dia. Apa Kamila benar-benar bahagia dengan lelaki emosional seperti ini?' Melia jadi bertanya-tanya dalam hatinya. "Pergi sekarang juga!" usir Daffa lagi, ketika Melia masih tak mengindahkan perintahnya. Melia pun segera beranjak dari tempat duduknya. "Baik, saya akan pergi." Setelah adik tiri Kamila pergi, Kamila segera lari ke ruangan yang lain untuk bersembunyi. Wanita berambut pendek itu segera mengatur napasnya. Bibirnya sendiri merekah karena terharu oleh tindakan Melia. "Aku harus berterima kasih pada Melia. Dia sudah berusaha menolongku," ucapnya sendirian. Kamila segera melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Ia akan membuat air rendaman dari ramuan untuk merendam kaki Daffa. Setelah itu, Kamila segera menuju ruang tamu, menemui Daffa di sana. "Permisi, Pak Daffa. Mohon izin untuk merendam kaki Pak Daffa dalam beberapa menit saja," ucap Kamila dengan sopan. "Tidak perlu. Kita harus pergi sekarang." Daffa langsung menolak. "Loh, kenapa? Ini untuk kesehatan kakimu, Pak Daffa," paksa Kamila. "Tidak sekarang. Kita harus pergi!" Daffa langsung memerintahkan dua orang bodyguard untuk segera mengurus kepergiannya bersama Kamila hari ini. "Tapi bagaimana dengan rempah-rempah yang telah saya buat? Sayang sekali kalau tidak digunakan." Kamila tetap memaksa. "Ditunda dulu," kata Daffa lagi. Kamila memutar bola mata kesal. Suami lumpuhnya itu memang tidak bisa diatur. Padahal ini adalah hari pertama Kamila merawat kaki Daffa yang lumpuh. Kamila dan Daffa memasuki mobil mewah yang dikemudikan oleh driver pribadi. "Kita mau kemana ini?" Kamila kembali bertanya, namun tetap saja tidak dijawab oleh Daffa. Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah rumah sakit. Kamila terkejut. Untuk apa Daffa membawanya ke rumah sakit? Oh iya, bisa saja Daffa hendak memeriksakan kesehatannya. Kamila berpikir positif saja. Tapi begitu mereka memasuki ruang pemeriksaan, nyatanya Kamila yang disuruh untuk diperiksa. "Apa-apaan ini, Pak?" Kamila bertanya dengan berbisik pada Daffa. "Hanya mengecek kesehatan saja," jawab Daffa dengan alasannya. Kamila menaikan sebelah alisnya. "Saya tidak sakit kok," desisnya lagi. "Tak usah banyak bicara!" Daffa membulatkan bola matanya. Hingga Kamila tak bisa protes lagi. Paramedis segera mengambil sampel darah Kamila, termasuk air liur dan juga beberapa sampel untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan perintah Daffa Azriel. Kamila tidak sadar, kalau pemeriksaan yang tengah dilakukannya itu adalah sebuah pemeriksaan untuk mengecek ulang tes HIV AIDS, sebab Daffa tidak percaya dengan keterangan dan bukti dari Melia. Setelah pemeriksaan selesai, Daffa diminta menunggu 2 hari untuk hasil optimal. Daffa dan Kamila keluar dari rumah sakit setelah pemeriksaan selesai. "Bagaimana hasilnya? Sehat-sehat aja 'kan?" Kamila yang tidak tahu, bertanya lagi. "Hasilnya akan keluar 2 hari lagi," jawab Daffa ketus. Kali ini, entah kenapa Kamila malah berharap ada sesuatu pada tubuhnya yang membuat dia bisa terusir dari rumah Daffa. Kamila merasa harus memperjuangkan cintanya pada Galang. Gadis berkulit putih itu masih tidak percaya kalau Galang secepat itu akan berpindah ke lain hati. Ketika dalam perjalanan pulang, kendaraan roda empat milik Daffa berhenti di depan sebuah restoran mewah. Daffa berbaik hati mengajak Kamila untuk makan terlebih dahulu di sana. Kamila sempat menolak, tapi perintah dapat tidak bisa ditolak. Di restoran itu, ada pemandangan yang membuat Kamila menajamkan matanya. "Gadis itu 'kan?" Kamila ingat, gadis yang duduk bersama pria asing di sudut restoran itu adalah wanita yang diketahui kekasih baru Galang. Kamila beranjak. "Permisi ke toilet sebentar," pamitnya pada Daffa. Padahal, langkah Kamila bukan menuju toilet, melainkan pada gadis muda berambut ikal yang tengah makan siang romantis dengan pria asing dan itu bukanlah Galang. "Kamu selingkuh ya?" tuduh Kamila secara langsung pada gadis di depannya itu. Sontak, pria di depan gadis itu langsung terkejut. "Jaga bicara Anda ya! Saya tidak kenal dengan Anda." Wanita berambut ikal itu langsung marah. "Kita memang tak saling kenal. Tapi saya masih ingat, kamu wanita yang telah menjadi kekasih barunya Galang 'kan?" Kamila dengan yakin. "Lalu, kenapa sekarang kamu malah bersama pria lain? Apa lagi kalau bukan selingkuh namanya?" tuduhnya lagi. Pria di depan gadis itu langsung menegur. "Oh, jadi selama ini kamu selingkuh?" "Tidak, Mas. Bukan. Itu salah paham." Gadis itu kembali berbicara pada Kamila. "Saya bukan kekasih Galang. Saya hanya membantunya untuk membuat kamu panas. Saya dan Galang adalah sepupu jauh," jelasnya. "Apa!" Kamila menjadi terkejut. "Jadi Galang hanya berbohong?" Gadis itu mengangguk. "Galang tidak benar-benar melupakan kamu. Dia masih mencintai kamu." Ada yang terbendung pada kedua manik Kamila. Dadanya kembali bergetar mendengar kalimat dari wanita berambut ikal itu. Tekad Kamila semakin kuat, ia memang harus memperjuangkan cintanya pada Galang. Ia harus bisa keluar dari jerat dan ikatan Daffa. Setelah dua hari kemudian... "Permisi, Pak. Izin untuk menjemur badan Pak Daffa. Kebetulan hari ini mataharinya cukup bagus. Saya juga sudah membuat ramuan. Setelah itu, saya akan melakukan pijatan pada kaki Pak Daffa." Panjang lebar Kamila menjelaskan. "Tapi saya tidak mau disentuh oleh kamu sebelum hasil pemeriksaan rumah sakit keluar," tolak Daffa lagi. Kamila mendengus kesal. Mau kapan perawatannya dimulai kalau banyak sekali alasan. "Permisi, Pak." Salah satu bodyguard yang baru saja tiba, menghadap pada Daffa. "Ini hasil pemeriksaan yang telah saya ambil dari rumah sakit," ucap pria sangar itu. Daffa mengambil amplop putih berukuran besar dari bodyguard-nya. Segera dibuka dan bibaca isinya. Raut wajah Daffa brubah drastis. Matanya membulat sempurna, pun dengan rahang yang nampak mengeras. Raut wajah yang Kamila lihat ketika Daffa tengah marah besar. "Kenapa, Pak?"Kamila sampai mendongak terkejut. Lantas keadaan seperti apa yang Jennifer inginkan dari anaknya?Kondisi Daffa yang ternyata semakin membaik nyatanya tidak membuat Jenifer senang. Ibu tiri Daffa itu malah terlihat marah pada Kamila."Memangnya harus kondisi seperti apa yang Mama inginkan dari Daffa? Bukankah tadi Daffa bilang kondisinya mulai membaik dan itu cukup bagus bukan?" Kamila sengaja menyindir Jenifer. Jelas karena dia tahu khasiat dari obat yang diberikan Jenifer tempo lalu, itu bukanlah obat melainkan racun."Sudahlah, Kamila. Tugasmu di sini hanya untuk mengurus Daffa, kamu tidak usah ikut campur dengan urusan yang lain, saya tidak suka itu." Jenifer maju 2 langkah lebih dekat dengan Kamila. "Saya mau lihat obat yang kemarin. Kalau memang kamu memberikan obat itu kepada Daffa, isinya sudah pasti berkurang," tantangnya setelah itu.Kamila resah. Degup jantungnya terasa lebih kencang. Ia berusaha mengatur nafas agar terlihat tenang. "Kenapa kamu diam saja? Kamu takut keboh
Kamila merasa ada yang aneh. Apoteker sahabatnya itu tidak mungkin berbohong. Tapi apakah Jenifer yang telah berbohong?Lalu, untuk apa Jenifer meracuni anaknya sendiri? Kamila tak bergeming. Mengenai obat itu hanya dia sendiri yang mengatur. Dia memilih membuat ramuan dari rempah-rempah, tanpa sepengetahuan Jenifer."Permisi, Pak Daffa." Kamila berdiri di ambang pintu kamar Daffa yang sudah terbuka. "Mohon izin untuk memberikan obat dari nyonya besar." Dia beralasan. Padahal obat dari Jenifer sudah disembunyikannya dengan rapi."Saya tidak mau." Daffa menolak dengan ketus."Tapi, Saya hanya menjalankan tugas dari nyonya besar. Kalau tidak dilaksanakan, saya akan dihukum oleh Nyonya," ucap Kamila bagaikan seorang pembantu saja, padahal dia adalah istri Daffa Azriel. Tanpa meminta izin pun, sebenarnya dia sudah seharusnya mengurus suaminya. "Saya mohon, Pak. Izinkan saya mengurus kamu," ucap Kamila dengan mimik memelas.Bagaimana Daffa tidak luluh, dia melihat Kamila nampak pucat. Mu
Suara langkah kaki memasuki kediaman Daffa Azriel. Jenifer—ibunda Daffa baru saja tiba dari luar negri.Wanita paruh baya itu membuka kacamata hitam yang bertengger di hidungnya."Kenapa rumah terasa sepi sekali?" Jenifer merasa aneh. Dia mencari beberapa orang pembantunya yang tak terlihat dalam pandangan. "Ijah, Susi, Kokom!" panggil Jenifer seraya meletakkan tas mewah branded-nya di atas meja.Tak ada yang menyahut. Kecuali driver yang turut serta masuk ketika mendengar suara panggilan Jenifer."Permisi, Nyonya. Pembantu di rumah ini sedang dipulangkan oleh Tuan Daffa." Pria berseragam serba hitam itu melapor pada majikannya. "Oh my God! Kenapa tidak beritahu saya? Lalu siapa yang akan membereskan rumah ini?" Jenifer nampak keheranan."Sepertinya pekerjaan mereka sedang digantikan oleh Nona Kamila," terang sang driver lagi.Jenifer mendengus. "Ada-ada saja kelakuan Daffa. Tapi ya sudahlah, wanita kampung itu memang pantas menerima hukumannya." Jenifer melanjutkan langkahnya menu
"Kenapa, Pak?" Tangan Kamila bergetar. Rasa takut tiba-tiba menyeruak dalam benaknya.Tanpa terlebih dahulu menjawab. Daffa mengambil sebuah asbak beling berwarna transparan di atas meja. Di lemparkannya asbak itu ke sembarang arah hingga,Prang!!!Asbak itu pecah, berserakan di atas lantai.Kamila sampai tersentak. Napasnya seketika memburu kencang."Sudah pernah saya katakan, saya benci pembohong!" Daffa berbicara dengan hardiknya."Bo-bohong tentang apa lagi?" Kamila gugup."Kamu baca hasil tes pemeriksaan itu!" Daffa melemparkan selembar hasil tes pemeriksaan yang baru saja ia baca, kepada Kamila.Hasilnya sangat jelas, negatip. Kamila dinyatakan bersih dari penyakit HIV AIDS berbeda dengan yang dikatakan Melia kemarin lusa.Sebenarnya Kamila tidak heran, sebab dirinya sadar akan kondisi kesehatannya. Tapi, setelah membaca surat hasil tes pemeriksaan itu dia jadi tahu, kalau tempo lalu dia telah melakukan pemeriksaan tes HIV AIDS.Bibirnya gemetar. Kamila bingung harus beralasan a
Melia terlihat percaya diri. Gadis berusia 18 tahun itu masih tak mau beranjak dari sofa ruang tamu kediaman Daffa Azriel. Ia masih bertekad ingin mengacaukan kebahagiaan Kamila. Adik tiri Kamila itu memang tak rela melihat Kamila lebih beruntung darinya.HIV AIDS? Kamila sampai menaikan kedua alisnya tatkala mendengar itu. Kamila yang mengetahui dari balik dinding penyekat, berdoa dalam hatinya, semoga adiknya itu berhasil membuat Kamila lepas dari Daffa. Kamila mengira, sang adik tiri tengah berusaha menyelamatkannya."Apa buktinya?" tantang Daffa setelah itu."Ada kok." Melia langsung merogoh tas kecil yang menggantung di bahunya. Ia mengambil selembar kertas dari dalam tasnya. Kertas itu, Melia sodorkan pada Daffa."Ini buktinya."Daffa mengambil kertas yang diberikan Melia. Itu adalah kertas sebagai bukti hasil pemeriksaan dari laboratorium.Dari mana Melia mendapatkan itu?Entahlah, karena kertas itu sampai membuat Daffa terlihat menahan emosi."Kamu bisa pergi dari rumah saya
Kamila merasa pipinya ditepuk seseorang. Siapa lagi kalau bukan Daffa. Kamila menjadi semakin takut. "Jangan sentuh aku! Jangan lakukan apapun! Pergi!"Lagi-lagi Kamila merasa pipinya ditepuk-tepuk. Hingga perlahan ia segera membuka matanya lalu terkejut ketika sadar akan sesuatu."Ngapain kamu teriak-teriak? Ini sudah larut malam? Mengganggu saja!" Berkat laporan dari pembantunya, Daffa baru saja tiba di kamar itu untuk memeriksa keadaan Kamila.Suara teriakan Kamila yang kencang memang terdengar sampai ke kamar Daffa.Deretan pertanyaan yang keluar dari mulut Daffa tak langsung membuat Kamila tersadar. Wanita itu terlihat linglung.Kamila malah terlihat menelaah Daffa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nyatanya, Daffa masih duduk di kursi roda. Kedua kakinya masih tak mampu untuk berjalan. "Kamu bohong ya? Bukannya tadi kamu bisa berjalan?" Kamila malah berbalik tanya kepada Daffa. Melayangkan tatapan nanar penuh selidik."Apa yang kamu pikirkan, Kamila? Kalau saya bisa berjalan