แชร์

Bab 4 ー Menganggap Remeh

ผู้เขียน: Onigiri
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-03 10:18:06

"Ya udah. Ayo aku temenin."

Suara Evan terdengar datar.

Tapi cukup untuk membuat wajah Meyra berubah. Ekspresi datarnya kembali tersenyum cerah.

"Beneran? Kamu mau ikut? Emang nggak ganggu kerjaan kamu?" tanyanya dengan mata berbinar.

Evan menghela napas panjang. Memalingkan wajahnya sejenak.

"Nggak kalau cuma sebentar."

Lalu menoleh pada Sekretarisnya dan memerintah. "Kamu ke kantor duluan, Clara."

Clara mengangguk pelan.

“Iya, Pak,” jawabnya.

Kemudian berbalik dan pergi tanpa banyak bicara.

Melihat hal itu, entah kenapa Meyra senang Clara pergi. Dan Evan berpihak padanya.

Meyra mulai sedikit percaya dengan perkataan Evan tadi mungkin benar. Mereka kemari hanya masalah pekerjaan,

"Tapi aku mau ambil buket dulu di taksi ya, Mas," ujar Meyra.

Evan mengayunkan sedikit dagunya.

"Ya udah sana."

Dengan langkah ringan, Meyra bergegas pergi.

Sementara Evan masih berdiri di tempatnya. Ketika Meyra menjauh, ekspresinya berubah datar.

‘Ck. Merepotkan,’ gerutunya dalam hati.

Mendengus samar penuh kejengkelan.

Tak lama, Meyra kembali dengan buket bunga di tangan.

Mereka berangkat bersama menuju pemakaman. Tempat Ayah Meyra beristirahat.

Untuk kedua kalinya, Evan ikut menemaninya berziarah. Hal itu membuat Meyra senang.

Di sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa lebih tenang.

Meski senang akhirnya ditemani, Meyra jadi sedikit merasa bersalah karena telah mengganggu waktu kerja Evan.

"Maaf soal yang tadi ya Mas. Waktu pagi juga, udah buat kamu marah. Aku jadi sering Overthinking kalau ada cewek yang deket kamu,"ucapnya dengan suara lembut.

Kepalanya tertunduk menunjukkan penyesalan.

Evan melirik sekilas, satu alisnya terangkat. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.

“Nggak apa-apa. Mungkin itu sifat alami cewek,” ujarnya santai. “Tapi aku lebih suka kalau kamu nggak berprasangka buruk sama aku.”

Meyra kembali tersenyum lega. Menatap Evan lalu mengangguk.

Evan kembali fokus ke jalanan.

Meyra tak sadar, senyuman pria itu kini berubah jadi seringai kecil.

'Gampangan banget,' pikirnya dingin.

"Oh iya." Evan kembali berbicara. "Klien tadi setuju buat lanjut kerja sama. Jadi aku harus dinas keluar kota."

Mendengar hal itu, seketika senyuman Meyra sedikit pudar.

"Kapan? Berapa lama? Sama Clara perginya?" tanyanya langsung bertubi-tubi.

Dan itu membuat Evan memberi tatapan sinis.

"Nggak!" jawabnya langsung. Sedikit menaikkan intonasinya.

"Cuma aku sendiri. Paling sehari atau dua hari. Malem nanti aku berangkat," lanjut Evan menjelaskan.

Meyra terdiam. Mengangguk paham.

"Iya, Mas. Maaf. Nanti aku siapin baju kamu," katanya dengan suara pelan.

Tersirat sedikit kekecewaan. Yang entah Evan menyadarinya atau tidak.

Jika sadar pun, mungkin Evan hanya pura-pura tak tahu.

Meyra kemudian menatap keluar jendela. Helaan nafas panjang keluar dari bibirnya.

‘Baru juga baikan... Tapi dia harus pergi lagi,’ pikirnya lirih.

Namun tidak ada yang bisa Meyra lakukan. Selain pasrah menerimanya.

Waktu berputar cepat. Setelah berziarah, Evan langsung mengantarkannya pulang sebelum kembali ke kantor. Waktu istirahat makan siang sudah hampir habis.

Sesampainya di rumah, Meyra menaruh barang belanjaannya di meja dapur.

Tapi salah satu kantung belanjaannya terjatuh. Dan beberapa barang di dalamnya menggelinding keluar.

Salah satunya adalah sebuah bungkus kotak bening. Berisi mainan sex yang Lisa berikan sebelumnya.

Mata Meyra membulat kaget. Dengan cepat dia mengambil kotak. Menyembunyikannya di belakang punggung.

Dengan konyolnya Meyra menoleh ke sekeliling sedikit panik. Padahal tidak ada siapa pun.

'Untung aja Bi Tuti udah pulang,' pikirnya lega. Baru teringat.

Meyra menggelengkan kepala. Tak habis pikir.

'Dasar Lisa. Aku kan punya Suami. Kenapa harus pake ini?'

Tapi kenyataannya, Meyra memang kesepian. Apalagi Evan akan pergi dinas nanti.

Meyra menaruh mainan sex itu di sampingnya. Menatapnya cukup lekat.

Bibirnya menahan senyuman. Tak tahu mengapa, jadi malu sendiri.

Di kala Meyra memperhatikan mainan itu, tiba-tiba dering ponselnya berbunyi.

"Astaga!" serunya tersentak.

Meyra segera merogoh sakunya. Dan yang menelpon adalah Glen.

Sedikit heran pria itu menelpon di jam kerja seperti ini. Tapi Meyra tetap menerima panggilannya.

"Halo, Pah?" ucapnya sopan.

"Halo, Meyra. Makan malem di luar nanti kayaknya nggak jadi. Papa harus lembur."

Meyra mengangguk kecil.

"Oh. Nggak apa-apa, Pah. Lagian Mas Evan juga nggak bisa ikut."

"Maaf ya. Mungkin lain kali," katanya terdengar menyesal.

Meyra tersenyum tipis. Sama sekali tak keberatan.

"Iya, Pah. Santai aja."

Panggilan pun berakhir.

Meyra mengabaikan hadiah pemberian Lisa itu. Dan mulai mengeluarkan semua belanjaannya.

Selesai membereskan semuanya, Meyra berjalan ke kamarnya. Sambil membawa mainan sex di tangannya.

Tidak mungkin membiarkannya di sana.

Meyra membuka laci di meja kerjanya yang terkunci. Lalu menyimpan dildo itu. Menyembunyikannya dari Evan.

Meyra duduk di kursi. Membuka laptopnya, kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai penulis novel.

Sinar matahari di langit perlahan turun. Tak terasa hari menjelang malam.

Saking fokusnya Meyra menulis, sampai lupa waktu.

Hingga tiba-tiba, suara lain membuyarkan konsentrasinya.

"Meryra!"

Suara keras terdengar dari luar kamar. Itu suara Evan.

Meyra tersentak, buru-buru bangkit. Baru saja hendak membuka pintu, Evan sudah berdiri di ambang dengan wajah kesal.

“Kamu ke mana aja sih?! Aku telpon nggak diangkat!” omelnya.

Meyra cepat-cepat mengambil ponselnya di meja. Ternyata dalam mode senyap.

"M-maaf. Aku terlalu fokus nulis. Jadi-"

Belum selesai menjelaskan, Evan langsung menyela sambil berdecak. Seolah-olah tak peduli dengan alasan Meyra.

"Ck. Nulis aja yang kamu tau. Baju aku mana?"

Seketika Meyra menepuk jidatnya. Kembali diingatkan akan hal itu. Kini dia lebih merasa bersalah. 

"Aku lupa, Mas. Maaf, ya. Aku packing sekarang," sesalnya.

Segera melaksanakan permainan Evan. Tak ingin membuatnya lebih kesal lagi.

Evan masih terlihat jengkel. Dia mendengus sambil melipat kedua tangan di depan dada.

"Buang-buang waktu nulis novel. Paling yang baca cuma orang-orang halu," gumamnya menggerutu.

Terdengar sarkas seolah menganggap remeh.

Tentu Meyra mendengarnya. Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk hatinya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Terjerat Cinta Ayah Mertua   Bab 7 ー Hubungan Tabu

    “Papa tadi liat nggak, ya?” gumam Meyra gelisah.Dalam kamarnya, Meyra menatap paket itu. Seketika Meyra tersenyum ketika membaca label di atasnya.“Untung aja nama barangnya disensor.”Meyra segera menyembunyikan paket itu di laci meja kerjanya. Kemudian melangkah keluar kamar. Dan mencoba bersikap senormal mungkin.Meyra melewati sarapan seperti biasa. Tanpa menyadari tatapan Glen yang sedikit berbeda. Tak berkata apa pun meski dalam kepalanya penuh dengan pertanyaan.Mereka melanjutkan kegiatannya masing-masing.Sebagai penulis, jam kerja Meyra cukup fleksibel. Walau terkadang dia lelah saat dikejar deadline.Baru saja hendak duduk di kursi kerja, tiba-tiba ponselnya di atas meja berdering.Nama Siska terpampang di layar. Dia adalah Editornya di salah satu platform novel online.“Halo, Kak Siska?” sapanya.“Mey, naskah kamu yang baru, aku tolak ya,” ucap Siska langsung tanpa basa-basi.Meyra mengernyit. “Loh? Kenapa, Kak?”“Hm, masih banyak kekurangannya. Entah kenapa, tulisan kamu

  • Terjerat Cinta Ayah Mertua   Bab 6 ー Main Sendiri

    “Ahh!”Meyra mendesah pelan. Dia menggeliat resah di atas kasur.Tatapannya masih tertuju pada video panas di layar laptop. Sambil mengikuti gerakan si pemeran wanita.Sesekali, Meyra memandangi foto pernikahannya dengan Evan di dinding sebagai objek fantasi liarnya. Gairah yang tertahan selama ini akhirnya lepas kendali.Meyra mengambil mainan sex yang sudah dia ambil. Dan tidak lama kembali mendesah. Kali ini, lebih kencang.“Hemm, Evan ....”Meyra menaikkan tempo mainan itu sambil menyebutkan nama suaminya. Dia berkhayal Evan ada di sampingnya.Meyra lupa menutup rapat pintu kamarnya. Dia tidak menyadari, sepasang mata memperhatikan kegiatannya dari celah pintu yang sedikit terbukaGlen Anderson, Ayah mertuanya.Glen baru saja tiba setelah lembur kerja. Tapi dia malah mendengar suara desahan dari kamar menantunya.Tidak menduga, ternyata Meyra sedang memuaskan diri menggunakan mainan sex.Glen tak habis pikir. ‘Dasar, Evan! Kok bisa dia biarin Istrinya main sendirian begini?’Glen

  • Terjerat Cinta Ayah Mertua   Bab 5 ー Coba-coba

    "Tapi ada buku aku yang laris kok, Mas. Sampai dicetak beberapa kali."Meyra mencoba menahan nada suaranya tetap tenang. Ia tak ingin membuat keributan karena hal ini."Nggak bakal dijadiin film juga. Rugi gelar Sarjana ekonomi kamu kalau ujung-ujungnya nganggur di rumah," balas Evan dingin.Meyra menunduk menggigit bawah bibirnya. Menahan rasa sesak di dada.Sejak awal Evan tak terlalu suka ataupun mendukung profesi Meyra. Padahal itu adalah hobinya. Dan banyak perjuangan yang dia lakukan."Iya Mas. Maaf. Mungkin bakat aku di situ," ucap Meyra seadanya.Evan memutar bola matanya malas."Terserah," katanya tak peduli.Meyra menarik nafas. Memaksakan senyuman. Dia selesai melipat pakaian terkahir dan memasukkannya ke dalam tas.Kemudian berjalan menghampiri Suaminya."Ini bajunya, Mas. Nggak makan malam dulu?"Meyra mencoba tak memikirkan perkataan Evan. Hal itu sudah biasa. Walau tetap terasa menyakitkan.“Nggak usah,” jawabnya singkat.Evan hendak melangkah pergi.Namun tangan Meyra

  • Terjerat Cinta Ayah Mertua   Bab 4 ー Menganggap Remeh

    "Ya udah. Ayo aku temenin."Suara Evan terdengar datar.Tapi cukup untuk membuat wajah Meyra berubah. Ekspresi datarnya kembali tersenyum cerah."Beneran? Kamu mau ikut? Emang nggak ganggu kerjaan kamu?" tanyanya dengan mata berbinar.Evan menghela napas panjang. Memalingkan wajahnya sejenak."Nggak kalau cuma sebentar."Lalu menoleh pada Sekretarisnya dan memerintah. "Kamu ke kantor duluan, Clara."Clara mengangguk pelan.“Iya, Pak,” jawabnya.Kemudian berbalik dan pergi tanpa banyak bicara.Melihat hal itu, entah kenapa Meyra senang Clara pergi. Dan Evan berpihak padanya.Meyra mulai sedikit percaya dengan perkataan Evan tadi mungkin benar. Mereka kemari hanya masalah pekerjaan,"Tapi aku mau ambil buket dulu di taksi ya, Mas," ujar Meyra.Evan mengayunkan sedikit dagunya."Ya udah sana."Dengan langkah ringan, Meyra bergegas pergi.Sementara Evan masih berdiri di tempatnya. Ketika Meyra menjauh, ekspresinya berubah datar.‘Ck. Merepotkan,’ gerutunya dalam hati.Mendengus samar penu

  • Terjerat Cinta Ayah Mertua   Bab 3 ー Curiga

    "Lis, kenapa beli itu siang-siang gini, sih? Kenapa nggak beli online aja," bisik Meyra setengah menahan malu.Kepalanya menunduk. Sedikit menutupi wajah dengan rambut panjangnya.Lisa hanya menoleh santai."Ya kalau malem, mall tutup. Aku udah beli online, tapi lama nyampe."Lalu melangkah santai menyusuri deretan rak yang dipenuhi berbagai benda berwarna mencolok. Meyra hanya menggelengkan kepala.Perusahaan keluarga Anderson sedikit unik. Bisnis mereka bergerak di bidang fesyen khusus dewasa, dan memproduksi mainan sex. Toko Arson di mall ini adalah salah satu cabangnya.“Mey, lihat deh. Ini lumayan bagus,” panggil Lisa.Sambil mengangkat sebuah mainan sex berwarna hitam dengan ukuran yang cukup besar.“Kamu mau nggak? Katanya ini paling laku.”Meyra langsung melotot.“Nggak, ah! Kamu aja,” tolaknya.Lisa terkekeh kecil.“Duh, bener juga. Kamu kan udah punya suami.”Meyra pura-pura tak mendengar. Sambil memalingkan wajah.Namun, kata-kata Lisa sedikit menusuk hatinya. Meski memilik

  • Terjerat Cinta Ayah Mertua   Bab 2 ー Mainan Dewasa

    Meyra sibuk memasak. Dibantu seorang pelayan yang terkadang datang untuk melakukan pekerjaan rumah.Di rumah keluarga Anderson yang sebesar itu, Meyra kesulitan melakukan semuanya sendiri. Walau pelayan itu hanya datang saat pagi sampai siang saja."Di sofa, itu buket punya siapa, Meyra?" celetuk seorang pria dari belakang.Meyra menoleh. Ternyata itu Ayah Mertuanya.Glen duduk di kursi ruang makan yang bersebelahan dengan area dapur."Oh, iya. Itu buket yang aku pesen kemaren. Buat ke makam, sekarang hari peringatan kematian Ayah," jawabnya.Alis Glen sedikit terangkat. Bibirnya menampilkan senyuman tipis."Gitu ya. Maaf Papa lupa. Dan kayakanya nggak bisa ikut," sesalnya.Mey membalas senyuman. Lalu berjalan ke ruang makan sambil mmbawa nampan berisi makanan."Nggak apa-apa, kok. Papa pasti sibuk. Aku cuma lagi kangen Ayah aja," katanya pelan sambil menaruh makanan di hadapan Glen.Meyra lalu duduk di kursi seberang. Mulai menyuap sarapannya sedikit menunduk.Glen memperhatikannya s

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status