เข้าสู่ระบบ"Tapi ada buku aku yang laris kok, Mas. Sampai dicetak beberapa kali."
Meyra mencoba menahan nada suaranya tetap tenang. Ia tak ingin membuat keributan karena hal ini.
"Nggak bakal dijadiin film juga. Rugi gelar Sarjana ekonomi kamu kalau ujung-ujungnya nganggur di rumah," balas Evan dingin.
Meyra menunduk menggigit bawah bibirnya. Menahan rasa sesak di dada.
Sejak awal Evan tak terlalu suka ataupun mendukung profesi Meyra. Padahal itu adalah hobinya. Dan banyak perjuangan yang dia lakukan.
"Iya Mas. Maaf. Mungkin bakat aku di situ," ucap Meyra seadanya.
Evan memutar bola matanya malas.
"Terserah," katanya tak peduli.
Meyra menarik nafas. Memaksakan senyuman. Dia selesai melipat pakaian terkahir dan memasukkannya ke dalam tas.
Kemudian berjalan menghampiri Suaminya.
"Ini bajunya, Mas. Nggak makan malam dulu?"
Meyra mencoba tak memikirkan perkataan Evan. Hal itu sudah biasa. Walau tetap terasa menyakitkan.
“Nggak usah,” jawabnya singkat.
Evan hendak melangkah pergi.
Namun tangan Meyra menahan pergelangan tangannya. Evan menoleh, menatapnya dengan mata menyipit tajam.
Meyra memberanikan diri mendekat.
“Cepet pulang ya, Mas. Jangan lama-lama.”
Evan mendengus pelan.
“Iya, iya. Belom juga berangkat,” katanya tak sabar.
Evan segera menarik tangannya begitu saja. Tanpa ada kelembutan sama sekali.
Meyra hanya tersenyum samar. Tetap bersikap seperti Istri yang baik.
“Hati-hati di jalan, Mas.”
Evan tak menjawab. Hanya mengambil kunci mobil, lalu keluar rumah.
Meyra mengikuti langkahnya dari belakang.
Sampai Evan masuk ke mobil dan menyalakan mesin. Meyra berdiri di halaman rumah. Memandangi punggung mobil yang menjauh.
Senyumnya hilang seiring lampu belakang kendaraan itu menghilang di tikungan. Wajahnya menunduk murung dan terlihat sedih.
Kini, hanya kesunyian yang tersisa. Di rumah sebesar itu, Meyra sendirian lagi.
Meyra hendak masuk, tapi matanya menangkap bayangan motor berhenti di dekat gerbang.
“Permisi!” seru seseorang.
Meyra berjalan menghampiri sumber suara.
"Iya?"
Di atas motor, seorang kurir makanan turun. Lalu menyodorkan sebuah box paket yang cukup besar.
“Pesanan atas nama Bu Meyra. Ini makanannya.”
Meyra mengernyit heran.
“Saya nggak pesan apa-apa.”
Kurir itu ikut bingung.
“Betul kok, alamatnya ke sini. Ibu Meyra, kan?”
Meyra mengangguk. Namun belum sempat berbicara lagi, ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari Glen.
"Papa masih nggak enak batalin janji. Jadi Papa pesenin ke rumah aja ya makanannya."
Itulah pesan yang dikirimnya.
Perlahan Meyra tersenyum tipis. Suasana hatinya yang galau jadi sedikit membaik.
Mungkin, perhatian kecil Glen lebih baik dari pada Evan yang selalu ketus padanya.
Meyra merasa Ayahnya masih hidup dengan adanya Glen.
"Betul Pak, ternyata itu kiriman Ayah saya. Makasih ya," ujar Meyra.
Kali ini mau menerima paket itu. Lalu membawanya masuk ke rumah.
Kebetulan Meyra belum masak untuk makan malam.
Saat dibuka, isinya adalah sushi dan makanan khas Jepang lainnya. Sejak dulu Meyra sangat menyukasinya.
Di ruang makan, Meyra tengah menikmati makanannya.
Tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Meyra menatap layar dengan penuh harapan. Barangkali Evan mengabari.
Tapi ternyata bukan. Itu hanya pesan dari Lisa, temannya.
Pesan disertai foto di pantai. Terlihat bersenang-senang dengan teman-teman yang lain.
Sejenak. Ada rasa iri di hati Meyra jika bisa bermain sebebas itu.
Tapi kalimat yang di tulis Lisa paling menarik perhatiannya.
"Ada berondong ganteng. Besar juga Mey! Hoki banget aku. Dildo tadi nggak kepake deh, haha!"
Sontak Meyra yang sedang meneguk air langsung tersedak.
"Uhuk!"
Meyra menggelengkan kepala.
'Astaga Lisa. Bandel banget, sih!' batinnya sedikit sebal.
Meyra memilih tak membalasnya. Jika berbincang dengan Lisa, topiknya selalu mengarah ke hal-hal vulgar.
Meyra selesai dengan makan malamnya lalu berdiri. Mencuci piring makanannya dan kembali ke kamar.
Karena Evan tidak ada, Meyra memilih mengalihkan perhatiannya dengan menonton film.
Kemudian membawa laptopnya ke atas kasur. Melipat keyboardnya ke belakang. Menyisakan layarnya saja yang bisa disentuh.
Beberapa waktu Meyra mencari film yang cocok. Tapi entah kenapa, kepalanya masih terngiang dengan pesan yang Lisa kirimkan.
Apalagi di saat seperti ini. Sendirian di rumah. Membuatnya merindukan Evan.
Keberanian Meyra muncul diikuti rasa penasarannya. Dia membuka link yang sesekali dikirim oleh Lisa yang hobi menggodanya.
Dan terputarlah film dewasa yang begitu menggairahkan.
Seketika Meyra terbelalak. "Astaga!"
Dengan cepat memelankan suaranya yang cukup kencang.
Wajar Meyra memerah merona. Kemudian memalingkan wajah dengan mata terpejam.
Awalnya Meyra cukup syok. Tapi rasa penasarannya lebih besar.
Diam-diam, matanya terbuka. Sedikit mengintip ke layar. Kini mulai berani menonton.
Jantungnya berdebar kencang seiring film itu terputar. Dan entah kenapa, muncul sensasi aneh di bagian bawah perut.
Perlahan, tangan Meyra turun. Mengusap area sensitifnya dari luar. Sumber rasa tidak nyamannya sejak tadi.
'Begini caranya?' pikir Meyra. Dia bukan orang yang berpengalaman tentang hal ini.
"Ah!" Meyra tersentak.
Sedikit takut, namun akhirnya memberanikan diri. Melewati batas yang tak pernah dilalui.
Sentuhan jarinya sendiri membuat Meyra mulai terasa panas.
Meyra mencoba berbaring. Seolah ingin lebih menghayati. Ikut terbawa gairah dari film yang ia tonton.
Kian lama, Meyra makin menginginkan sesuatu yang lebih.
Matanya beralih laci meja kerjanya. Tempat dildo itu disembunyikan.
"Apa, aku coba aja ya?" gumamnya.
“Papa tadi liat nggak, ya?” gumam Meyra gelisah.Dalam kamarnya, Meyra menatap paket itu. Seketika Meyra tersenyum ketika membaca label di atasnya.“Untung aja nama barangnya disensor.”Meyra segera menyembunyikan paket itu di laci meja kerjanya. Kemudian melangkah keluar kamar. Dan mencoba bersikap senormal mungkin.Meyra melewati sarapan seperti biasa. Tanpa menyadari tatapan Glen yang sedikit berbeda. Tak berkata apa pun meski dalam kepalanya penuh dengan pertanyaan.Mereka melanjutkan kegiatannya masing-masing.Sebagai penulis, jam kerja Meyra cukup fleksibel. Walau terkadang dia lelah saat dikejar deadline.Baru saja hendak duduk di kursi kerja, tiba-tiba ponselnya di atas meja berdering.Nama Siska terpampang di layar. Dia adalah Editornya di salah satu platform novel online.“Halo, Kak Siska?” sapanya.“Mey, naskah kamu yang baru, aku tolak ya,” ucap Siska langsung tanpa basa-basi.Meyra mengernyit. “Loh? Kenapa, Kak?”“Hm, masih banyak kekurangannya. Entah kenapa, tulisan kamu
“Ahh!”Meyra mendesah pelan. Dia menggeliat resah di atas kasur.Tatapannya masih tertuju pada video panas di layar laptop. Sambil mengikuti gerakan si pemeran wanita.Sesekali, Meyra memandangi foto pernikahannya dengan Evan di dinding sebagai objek fantasi liarnya. Gairah yang tertahan selama ini akhirnya lepas kendali.Meyra mengambil mainan sex yang sudah dia ambil. Dan tidak lama kembali mendesah. Kali ini, lebih kencang.“Hemm, Evan ....”Meyra menaikkan tempo mainan itu sambil menyebutkan nama suaminya. Dia berkhayal Evan ada di sampingnya.Meyra lupa menutup rapat pintu kamarnya. Dia tidak menyadari, sepasang mata memperhatikan kegiatannya dari celah pintu yang sedikit terbukaGlen Anderson, Ayah mertuanya.Glen baru saja tiba setelah lembur kerja. Tapi dia malah mendengar suara desahan dari kamar menantunya.Tidak menduga, ternyata Meyra sedang memuaskan diri menggunakan mainan sex.Glen tak habis pikir. ‘Dasar, Evan! Kok bisa dia biarin Istrinya main sendirian begini?’Glen
"Tapi ada buku aku yang laris kok, Mas. Sampai dicetak beberapa kali."Meyra mencoba menahan nada suaranya tetap tenang. Ia tak ingin membuat keributan karena hal ini."Nggak bakal dijadiin film juga. Rugi gelar Sarjana ekonomi kamu kalau ujung-ujungnya nganggur di rumah," balas Evan dingin.Meyra menunduk menggigit bawah bibirnya. Menahan rasa sesak di dada.Sejak awal Evan tak terlalu suka ataupun mendukung profesi Meyra. Padahal itu adalah hobinya. Dan banyak perjuangan yang dia lakukan."Iya Mas. Maaf. Mungkin bakat aku di situ," ucap Meyra seadanya.Evan memutar bola matanya malas."Terserah," katanya tak peduli.Meyra menarik nafas. Memaksakan senyuman. Dia selesai melipat pakaian terkahir dan memasukkannya ke dalam tas.Kemudian berjalan menghampiri Suaminya."Ini bajunya, Mas. Nggak makan malam dulu?"Meyra mencoba tak memikirkan perkataan Evan. Hal itu sudah biasa. Walau tetap terasa menyakitkan.“Nggak usah,” jawabnya singkat.Evan hendak melangkah pergi.Namun tangan Meyra
"Ya udah. Ayo aku temenin."Suara Evan terdengar datar.Tapi cukup untuk membuat wajah Meyra berubah. Ekspresi datarnya kembali tersenyum cerah."Beneran? Kamu mau ikut? Emang nggak ganggu kerjaan kamu?" tanyanya dengan mata berbinar.Evan menghela napas panjang. Memalingkan wajahnya sejenak."Nggak kalau cuma sebentar."Lalu menoleh pada Sekretarisnya dan memerintah. "Kamu ke kantor duluan, Clara."Clara mengangguk pelan.“Iya, Pak,” jawabnya.Kemudian berbalik dan pergi tanpa banyak bicara.Melihat hal itu, entah kenapa Meyra senang Clara pergi. Dan Evan berpihak padanya.Meyra mulai sedikit percaya dengan perkataan Evan tadi mungkin benar. Mereka kemari hanya masalah pekerjaan,"Tapi aku mau ambil buket dulu di taksi ya, Mas," ujar Meyra.Evan mengayunkan sedikit dagunya."Ya udah sana."Dengan langkah ringan, Meyra bergegas pergi.Sementara Evan masih berdiri di tempatnya. Ketika Meyra menjauh, ekspresinya berubah datar.‘Ck. Merepotkan,’ gerutunya dalam hati.Mendengus samar penu
"Lis, kenapa beli itu siang-siang gini, sih? Kenapa nggak beli online aja," bisik Meyra setengah menahan malu.Kepalanya menunduk. Sedikit menutupi wajah dengan rambut panjangnya.Lisa hanya menoleh santai."Ya kalau malem, mall tutup. Aku udah beli online, tapi lama nyampe."Lalu melangkah santai menyusuri deretan rak yang dipenuhi berbagai benda berwarna mencolok. Meyra hanya menggelengkan kepala.Perusahaan keluarga Anderson sedikit unik. Bisnis mereka bergerak di bidang fesyen khusus dewasa, dan memproduksi mainan sex. Toko Arson di mall ini adalah salah satu cabangnya.“Mey, lihat deh. Ini lumayan bagus,” panggil Lisa.Sambil mengangkat sebuah mainan sex berwarna hitam dengan ukuran yang cukup besar.“Kamu mau nggak? Katanya ini paling laku.”Meyra langsung melotot.“Nggak, ah! Kamu aja,” tolaknya.Lisa terkekeh kecil.“Duh, bener juga. Kamu kan udah punya suami.”Meyra pura-pura tak mendengar. Sambil memalingkan wajah.Namun, kata-kata Lisa sedikit menusuk hatinya. Meski memilik
Meyra sibuk memasak. Dibantu seorang pelayan yang terkadang datang untuk melakukan pekerjaan rumah.Di rumah keluarga Anderson yang sebesar itu, Meyra kesulitan melakukan semuanya sendiri. Walau pelayan itu hanya datang saat pagi sampai siang saja."Di sofa, itu buket punya siapa, Meyra?" celetuk seorang pria dari belakang.Meyra menoleh. Ternyata itu Ayah Mertuanya.Glen duduk di kursi ruang makan yang bersebelahan dengan area dapur."Oh, iya. Itu buket yang aku pesen kemaren. Buat ke makam, sekarang hari peringatan kematian Ayah," jawabnya.Alis Glen sedikit terangkat. Bibirnya menampilkan senyuman tipis."Gitu ya. Maaf Papa lupa. Dan kayakanya nggak bisa ikut," sesalnya.Mey membalas senyuman. Lalu berjalan ke ruang makan sambil mmbawa nampan berisi makanan."Nggak apa-apa, kok. Papa pasti sibuk. Aku cuma lagi kangen Ayah aja," katanya pelan sambil menaruh makanan di hadapan Glen.Meyra lalu duduk di kursi seberang. Mulai menyuap sarapannya sedikit menunduk.Glen memperhatikannya s







