Bara merebahkan dirinya di kasur begitu sampai rumah. Badannya lelah, tapi pikirannya jauh lebih penat. Ponselnya tergeletak di samping bantal, menunggu pesan terakhirnya ke Alisha dibalas.
Seperti malam-malam sebelumnya, ia hanya bisa menebak-nebak keadaan Alisha. Rasa khawatir makin hari makin sulit ia redam. Setelah beristirahat sebentar, ia bangkit. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia mengambil jaket lalu bersiap keluar.Tujuannya sama seperti biasanya yaitu memantau Alisha di tempat kerjanya dari kejauhan dan memastikan dia pulang ke kos dengan aman.Tapi baru saja ia membuka pintu depan, suara berat ayahnya menghentikannya.“Kemana lagi kamu malam-malam begini?”Bara sedikit terkejut tapi segera menutupi wajahnya yang sempat panik. “Minimarket sebentar,” jawabnya singkat tanpa menatap langsung.“Nggak usah bohong.” Nada suara ayahnya mulai meninggi, “Kamu pikir papa nggak tahu kamu keluar tiap malam diam-diam?Bara merebahkan dirinya di kasur begitu sampai rumah. Badannya lelah, tapi pikirannya jauh lebih penat. Ponselnya tergeletak di samping bantal, menunggu pesan terakhirnya ke Alisha dibalas.Seperti malam-malam sebelumnya, ia hanya bisa menebak-nebak keadaan Alisha. Rasa khawatir makin hari makin sulit ia redam. Setelah beristirahat sebentar, ia bangkit. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia mengambil jaket lalu bersiap keluar. Tujuannya sama seperti biasanya yaitu memantau Alisha di tempat kerjanya dari kejauhan dan memastikan dia pulang ke kos dengan aman.Tapi baru saja ia membuka pintu depan, suara berat ayahnya menghentikannya.“Kemana lagi kamu malam-malam begini?”Bara sedikit terkejut tapi segera menutupi wajahnya yang sempat panik. “Minimarket sebentar,” jawabnya singkat tanpa menatap langsung.“Nggak usah bohong.” Nada suara ayahnya mulai meninggi, “Kamu pikir papa nggak tahu kamu keluar tiap malam diam-diam?
Mereka pulang tanpa saling bicara, tak ada satu kata pun yang ingin dikeluarkan oleh Alisha. Sementara Bara hanya membiarkan Alisha merenungi maksud dari keinginannya untuk pindah. Bahkan setelah sampai di kos, Alisha hanya diam saja, tak berpamitan apa pun kepada Bara begitu dia keluar dari mobil. “Alisha…” Panggil Bara, Alisha mendengarnya, tetapi dia hanya diam sejenak tanpa menoleh lalu kembali berjalan masuk. Bara menyusul, menarik pergelangan Alisha dan membuat Alisha menatapnya. “Apalagi, sih?!” seru Alisha, suaranya meninggi.“Jangan keras kepala!” bentak Bara dengan nada penuh kekhawatiran.“Siapa yang keras kepala di sini? Aku atau kamu?!” Alisha menatap tajam, dadanya naik turun karena emosi.“Aku hanya ingin kamu aman,” ujar Bara, nada suaranya sedikit melunak, mencoba meredakan situasi.“Tapi bukan begini caranya, Bara!” Alisha membalas dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku akan melindungi diriku dengan caraku sendiri,” katanya dengan suara gemetar menahan tangis. Bara
Alisha membeku, membiarkan Bara memeluknya sejenak meski dalam hati ia begitu gugup. Hembusan napas Bara terasa hangat di ceruk lehernya. Tanpa Bara tahu, jantung Alisha kini berdetak sangat kencang.“B-Bara?”“Hmmm…”“Lepas…”“Sebentar aja. Aku butuh ini…”“Kamu kenapa?”“Enggak apa-apa. Cuma... kangen.”Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.Tok Tok TokAlisha buru-buru melepaskan diri dari pelukan Bara dan berjalan ke arah pintu. Setelah memastikan Bara tak terlihat dari luar, ia membuka pintu dengan hati-hati.Di depan pintu berdiri seorang wanita paruh baya—ibu pemilik kos. Tatapannya tajam, melongok ke dalam kamar seolah mencari sesuatu.“Ada apa, bu?” tanya Alisha, berusaha tenang.“Ibu lihat dari kemarin ada sandal cowok di sini. Kamu bawa cowok masuk, ya? Apa dia masih di dalam?”“Enggak, bu. Memangnya kenapa?”“Nggak apa-apa, ibu cuma mau kasih tahu
Bara berada di kamar kos Alisha, dia bisa masuk dengan mudah tanpa menunggu Alisha karena mempunyai kunci cadangannya. Bara melakukannya hanya untuk jaga-jaga jika ada sesuatu yang mendesak pada Alisha. Tanpa Alisha tahu, di sana Bara sedang menunggu. Biasanya Alisha akan pulang jam 2 dini hari dan sekarang masih pukul 12 malam. Masih ada 2 jam lagi untuknya beristirahat sebentar sembari menunggu Alisha datang. “Gila! Cuma wangi tubuhnya aja bisa bikin gue salting kayak gini,“ Gumam Bara ketika merebahkan dirinya di kasur yang biasa ditempati oleh Alisha. “Hmm…” Gumamnya lagi sembari sembari memejamkan mata mencoba tidur. Bukan wangi parfum mahal, tetapi Bara begitu merindukannya. ______2 jam berlalu, Alisha sudah dalam perjalanan pulang ke kosnya. Dia sempat mengetik pesan pada Bara, tetapi sudah hampir sampai di kosnya Bara belum juga membalas. “Kemana dia? Jadi nggak sih ngajak ketemu?” Cerutu Alisha.
Bara berpikir keras. Bagaimana mungkin papanya mengetahui semuanya? Padahal ia sudah menyamar dan menggunakan identitas lain demi memastikan dirinya tidak terendus. Ia sudah mengatur segalanya dengan rapi tapi rupanya, usahanya gagal total.Papanya tetap mengetahuinya. Bahkan lebih cepat dari yang bisa ia duga.Dan satu hal lagi, bagaimana papanya bisa tahu soal pekerjaan Alisha? Apa ada orang yang dia sewa untuk mengawasinya? Mata-mata? Bara menggertakkan gigi. Ia tidak menyangka papanya akan bertindak secepat itu. Bahkan informasi tentang pekerjaan Alisha saja baru ia ketahui kemarin. Tapi sang papa… sudah lebih dulu tahu.“Ingat, Bara,” suara papanya yang terdengar tegas dan nyaris dingin terngiang kembali di kepalanya. “Kamu boleh bermain-main dengan wanita manapun. Tapi untuk membawanya masuk ke dalam keluarga Hartono, hanya papa yang bisa menentukan siapa yang pantas bersanding denganmu.”Bara hanya terdiam saat itu, menahan koment
Setelah memastikan Christine benar-benar pergi, Alisha segera masuk dan menutup pintu kosnya rapat-rapat. Ia berjalan cepat menuju lemari dan membukanya.“Dia sudah pergi,” bisik Alisha.Dari dalam lemari, Bara akhirnya bisa bernapas lega setelah bersembunyi cukup lama di ruang sempit itu. Ia menghela napas panjang sambil mengelus dadanya.“Huh… untunglah,” gumamnya seraya keluar dari lemari.“Lagian, ngapain sih, Kak? Sampai harus sembunyi segala. Itu kan cuma Christine. Bikin panik aja, aku juga baru bangun, kaget tahu nggak,” keluh Alisha sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.“Kamu nggak akan ngerti,” sahut Bara singkat, enggan menjelaskan alasannya.“Pokoknya, Christine nggak boleh tahu kita lagi dekat,” tambahnya menegaskan, kali ini menatap Alisha lurus-lurus.“Iya, iya, terserah Kakak,” sahut Alisha, setengah malas. “Oh iya, Kak Bara kok tiba-tiba ada di sini? Terus, aku kok bisa tiba-tiba pulang? Bukannya kemarin aku masih di tempat kerja?” tanyanya sambil mengerut