Alisha memutuskan untuk ke rumah Christine. Ia berjalan kaki menuju ke sana dan setelah tiba di depan rumah Christine, ia menekan bel dengan tangan gemetar. Tak lama, pintu terbuka dan Christine berdiri di sana dengan ekspresi kaget dan khawatir.
"Sha, kenapa datang tiba-tiba? Lo baik-baik aja?" tanyanya, menarik Alisha masuk sebelum gadis itu bisa menjawab. Begitu pintu tertutup, Alisha akhirnya menghela napas berat. "Chris..." suaranya hampir bergetar. Christine menepuk pundaknya pelan. "Udah, masuk dulu. Lo lapar? Gue ada mi instan." Alisha tersenyum kecil, "Mi instan selalu jadi solusi, ya?" "Ya iyalah," Christine terkekeh, "Udah, lo ke kamar gue dulu. Nanti kita ngobrol." Tanpa banyak bicara lagi, Alisha mengikuti Christine ke dalam. Untuk sementara, ia merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, malam ini ia tidak sendirian. Alisha duduk di tepi kasur Christine, memeluk lututnya sambil menatap lantai. Christine mengangsurkan segelas air mineral sebelum duduk di sebelahnya. "Lo mau cerita sekarang atau nanti?" tanya Christine hati-hati. Alisha menggenggam gelas itu erat lalu menghela napas panjang, "Papa gue... ngusir gue dari rumah," suaranya nyaris berbisik. Christine mengernyit. "Apa?! Ngusir? Serius, Sha? Kok bisa?" Alisha menelan ludah, menahan emosi yang mengganjal di dadanya. "Gue ketahuan pacaran sama Dareen tadi di rumah, gue kira papa nggak pulang tapi ternyata tiba-tiba aja di rumah,” “Cuma masalah itu?” Tanya Christine kaget saat Alisha menjelaskan permasalahanya. “Tapi emang kayaknya dia udah lama nggak suka sama gue. Tiap hari rasanya gue salah terus di mata dia." Christine mendengus kesal, "Gila, sih. Terus, nyokap lo gimana?" Alisha tersenyum miris, "Gue udah nelpon berkali-kali. Dia nggak angkat." Christine terdiam sejenak lalu menghela napas, "Sumpah, gue nggak habis pikir. Tapi lo tenang aja, di sini rumah lo juga. Kapan pun lo butuh tempat nginep, lo tinggal datang." Alisha menatap Christine dengan mata berkaca-kaca, "Makasih, Chris... Gue nggak tahu harus ke mana kalau lo nggak ada." Christine menepuk punggungnya pelan. "Udah, nggak usah nangis. Mending sekarang kita makan mi instan dulu. Semua masalah bisa dipikirin lagi setelah perut kenyang." Alisha tertawa kecil di sela harunya, "Bener juga." Malam itu, di tengah kepingan hatinya yang berantakan, setidaknya ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih baik: sahabat yang selalu ada untuknya. Setelah menikmati semangkuk mi instan bersama Christine, Alisha merasa sedikit lebih tenang. Mereka duduk bersandar di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang dihiasi lampu-lampu kecil berkelap-kelip. Christine melirik Alisha dari samping. "Besok lo mau gimana?" tanyanya pelan. Alisha menghela napas panjang, "Gue nggak tahu, Chris. Gue nggak mungkin balik ke rumah kalau papa masih kayak gitu. Mama aja nggak peduli." Christine menggigit bibirnya, tampak berpikir. "Lo nggak punya keluarga lain yang bisa lo datangin? Tante? Om? Nenek?" Alisha menggeleng. "Nenek gue udah lama meninggal, om dan tante gue tinggal di luar kota. Gue juga nggak deket sama mereka." Christine mengetuk-ngetuk jemarinya ke lutut lalu berkata, "Ya udah, sementara waktu lo di sini aja dulu. Bokap nyokap gue juga pasti nggak bakal keberatan." Alisha menatap Christine dengan mata berkaca-kaca, "Lo yakin nggak bakal nyusahin keluarga lo?" "Udah lah, Sha. Lo pikir gue tega ngebiarin sahabat gue tidur di jalan?" Christine tersenyum, mencoba menenangkan. "Lagian, siapa lagi kalau bukan gue?" Alisha mengangguk pelan, rasa haru memenuhi dadanya. "Makasih, Chris. Lo bener-bener sahabat terbaik gue." Christine mendengus kecil. "Ya iyalah. Udah, tidur sana. Besok kita pikirin lagi semuanya." Alisha tersenyum tipis, lalu berbaring. Malam ini, meskipun hatinya masih kacau, setidaknya ada rasa aman yang bisa ia genggam. ** Keesokan paginya, Alisha bangun dengan perasaan sedikit lebih ringan, meskipun bayangan kejadian semalam masih menghantuinya. Christine sudah lebih dulu bangun dan sedang sibuk di dapur saat Alisha keluar dari kamar. “Lo udah bangun? Cuci muka dulu sana, bentar lagi sarapan,” kata Christine sambil membolak-balik roti di atas teflon. Alisha mengangguk dan segera menuju kamar mandi. Saat kembali, ia melihat Christine sudah menata sarapan di meja, sementara kedua orang tua Christine—Pak Rudi dan Bu Maya—sudah duduk di sana. “Pagi, Om, Tante,” sapa Alisha sopan, merasa canggung. Bu Maya menatapnya dengan senyum ramah, meski sorot matanya tampak penuh tanda tanya. “Pagi, Alisha. Christine bilang semalam kamu nginap di sini?” “Iya, Tante… maaf kalau ngerepotin,” ujar Alisha pelan. Pak Rudi meletakkan koran yang sedang dibacanya dan menatap Alisha dengan ekspresi serius. “Memangnya ada masalah apa sampai harus menginap di sini?” Alisha menunduk, merasa tidak nyaman untuk langsung bercerita. Christine cepat-cepat menyela, “Papa, nanti aja, ya? Alisha masih capek. Boleh kan dia sementara waktu tinggal di sini?” Pak Rudi dan Bu Maya saling bertukar pandang. Mereka jelas terkejut dan tampak sedikit keberatan, tetapi belum mengungkapkannya secara langsung. Bu Maya akhirnya mengangguk kecil. “Ya sudah, sarapan dulu. Kita bicarakan lagi nanti.” Alisha tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya ia bisa merasakan ada ketegangan yang menggantung di udara. Alisha duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Christine mencoba mencairkan suasana dengan mengobrol santai, tapi Alisha tahu kedua orang tua sahabatnya itu masih menyimpan banyak pertanyaan. Saat sarapan hampir selesai, Pak Rudi akhirnya berbicara. “Alisha, Papa dan Mama kamu tahu kamu di sini?” Alisha menegang. Ia meletakkan sendoknya pelan, lalu menggeleng. “Aku udah coba hubungi Mama, tapi nggak diangkat, Om. Sementara Papa…” Suaranya tercekat sejenak, “Papa ngusir aku dari rumah.” Bu Maya tampak terkejut, “Ngusir? Kenapa?” Alisha menunduk, jari-jarinya meremas ujung bajunya. Tidak mungkin dia mengatakan pada orang tua Christine jika dia diusir karena ketahuan pacaran. Akhirnya Alisha pun memilih untuk berbohong. “Aku sendiri nggak tahu pasti, Tante. Aku merasa selalu salah di mata Papa, dan kemarin... dia benar-benar menyuruh aku pergi.” Katanya tidak ingin menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pak Rudi menghela napas panjang. Ia menatap Alisha sejenak sebelum berkata, “Masalah keluarga itu sebaiknya diselesaikan di dalam keluarga. Kamu nggak bisa lari dari rumah begitu saja.” Christine menyela cepat, “Tapi Pa, dia bukan lari. Dia diusir!” Pak Rudi mengangguk pelan, “Papa mengerti. Tapi tetap saja, orang tuanya harus tahu di mana dia berada.” Alisha menunduk semakin dalam. Ia ingin menelepon mamanya lagi, tapi kalau mamanya saja tidak peduli, apakah masih ada gunanya? Bu Maya menepuk tangan Alisha dengan lembut, “Alisha, kamu boleh tinggal di sini sementara, tapi kamu harus coba bicara lagi dengan orang tua kamu. Setidaknya, beri tahu mereka kalau kamu baik-baik saja.” Alisha mengangguk pelan. Ia tahu cepat atau lambat, ia harus menghadapi keluarganya lagi. Tapi untuk sekarang, ia hanya ingin menikmati sedikit ketenangan di rumah Christine, meskipun ia sadar ketenangan itu mungkin tidak akan bertahan lama."Mending kita masuk ke kamar, yuk..." ucap Marco sambil melepaskan diri dari pelukan perempuan itu. Tubuhnya oleng, dan sebelum sempat melangkah lebih jauh, ia ambruk—tepat di pelukan Andin. Andin terpaksa menopangnya. Dengan susah payah, ia membopong tubuh Marco yang berat dan membawa lelaki itu masuk ke dalam apartemen. Perempuan tadi hanya memutar mata malas, lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata. Di dalam kamar, Marco terus meracau tak jelas, kata-katanya tak nyambung, nadanya penuh emosi tak terkendali. Andin tak lagi peduli. Ia hanya menidurkannya di atas ranjang dan berniat segera pergi. Hatinya sudah penuh sesak. Namun, saat hendak keluar, matanya menangkap sesuatu di dekat tempat sampah. Sebuah kertas dan bungkus tespek—agak tersembunyi, tapi masih terlihat jelas. Andin mendekat, mengambil benda itu. Tangannya bergetar saat membaca hasilnya. Positif.
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa mereka sadari, malam telah larut. Tawa dan tangis telah bercampur menjadi hangatnya percakapan antara ibu dan anak yang terlalu lama terpisah oleh keadaan. Andin melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir tengah malam. “Mama harus pulang, ya,” ucapnya pelan, nyaris berat hati. Ia mengusap rambut Alisha dengan lembut, seperti saat anak itu masih kecil. Alisha menunduk, menahan keinginannya untuk berkata “jangan pergi.” “Hati-hati di jalan, Ma,” jawabnya akhirnya, mencoba terdengar tegar meski matanya kembali memerah. Andin berdiri, lalu meraih tasnya. Sebelum membuka pintu, ia menoleh lagi. “Mama janji, Mama akan sering ke sini. Kalau kamu butuh apa pun, tinggal bilang. Dan… satu hal yang harus kamu ingat…” Ia mendekat dan menggenggam kedua tangan Alisha. “Kamu bukan anak yang tidak diinginkan. Kamu adalah bagian dari hidup Mama… yang paling berhar
Andin resah, dia menunggu pesan dari Marco juga menunggu Marcel yang tak kunjung pulang. Apa mungkin Marcel tidak pulang malam ini? Kalau iya itu satu kesempatan untuknya menemui Alisha. Andin akhirnya memutuskan untuk menghubungi Marchel, entah apa tanggapan suaminya nanti. “Halo.” “Apa? Tumben kau meneleponku?” sahut Marchel dengan nada sinis. “Eh, nanti malam kau pulang nggak?” tanya Andin pelan. “Kenapa tanya? Mau berkeliaran lagi? Aku tak peduli, asal jangan kau bawa pulang anak itu lagi!” kata Marchel ketus, lalu langsung menutup teleponnya. Andin hanya bisa mengelus dada. Ia sudah terlalu sering menghadapi sikap dingin Marchel. “Untung dia kaya. Kalau nggak, mana mungkin dulu aku mau dijodohin sama batu kayak dia,” gumam Andin, setengah menertawakan diri sendiri. Tak lama kemudian, Andin tersadar akan sesuatu dari ucapan Marchel. “Eh,
Kamar Andin diketuk dari luar. “Bu Andin,” suara lembut terdengar dari balik pintu. “Di luar ada teman Nona Alisha.” Andin yang sedang duduk membaca, langsung menoleh cepat. Ia meletakkan bukunya dan berdiri dengan cemas. “Teman Alisha?” gumamnya. “Ada apa?” Tanpa menunggu lebih lama, Andin segera berjalan keluar dan menuju ruang depan. Di sana, ia melihat seorang pemuda berdiri kikuk di ambang pintu. “Kamu... teman Alisha?” tanyanya sambil mendekat, sorot matanya tajam tapi juga penuh harap. “Iya, Tante...” jawab Bara pelan, menundukkan kepala sebagai tanda hormat. “Saya mamanya,” kata Andin, lalu menjabat tangan Bara hangat. “Di mana Alisha? Apa kamu datang bersamanya?” Bara menggeleng cepat. “Enggak, Tante. Alisha nggak ikut. Saya cuma ingin ngobrol… soal dia.” Mata Andin menyorot curiga, tapi ia mengangguk. “Oh, ya sudah. Ayo masuk dulu,” katanya sambil mempersilakan Bara duduk di ruang tamu. Setelah mereka duduk, Andin menatap Bara dalam-dalam. “Kenapa dengan A
Sekarang… ia harus bagaimana?Yang ia lakukan hanya untuk melindungi dirinya sendiri dari harapan yang mungkin akan menghancurkan nya.Tapi kini, saat Bara benar-benar pergi, ia mulai bertanya… apakah ia terlalu sibuk menjaga diri, sampai lupa menjaga cinta yang telah di tunjukkan oleh Bara?Meski begitu, Alisha tetap melanjutkan pekerjaannya dan membuang perasaan bersalahnya pada Bara.Ia duduk di tepi ranjang kamarnya, menatap cermin di hadapannya, "Enggak," gumamnya pelan menatap refleksi dirinya di cermin. "Gue harus kuat. Bara cuma pacar, bukan suami. Jadi nggak semua omongannya harus gue turutin."Alisha mengingat kembali nada keras Bara saat menyuruhnya berhenti dari pekerjaannya. Katanya, pekerjaan sebagai pemandu lagu terlalu berbahaya. Tapi bagi Alisha, ini adalah cara bertahan hidup dan terus bisa membiayai sekolah sampai kedua orang tuanya kembali menemuinya. "Kalau gue turutin terus, dan ujung-ujungnya kita put
"Aku pikir-pikir dulu, ya? Aku… masih ragu dengan hubungan kita," kata Alisha pelan. Suaranya terdengar rapuh, seperti daun kering yang siap jatuh kapan saja. Bara menatapnya, berusaha memahami. Tapi yang ia rasakan justru mulai berubah—ada perih, ada letih, dan kini muncul rasa jengkel yang sulit ditahan. "Apalagi yang kamu ragukan, Sha?" tanya Bara, kali ini nadanya tidak sehalus tadi. "Bukannya kita udah sejauh ini bareng? Aku udah berusaha, aku nggak main-main." Alisha menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Bara mulai terpancing. Tapi tetap, ia merasa harus berkata jujur. "Banyak, Bara… termasuk kepastian hubungan kita. Aku nggak mau terus jalan bareng kamu tapi merasa sendiri. Aku ngerasa kamu nggak benar-benar tahu mau ke mana hubungan ini dibawa." Bara mengernyit. Matanya menatap tajam, bukan dengan amarah, tapi dengan luka yang dalam. "Kepastian? Jadi selama ini semua yang aku lakuin nggak cukup? Aku temani kamu, jaga kamu, dengerin semua cerita kamu, tahan segala mood kamu…