Share

Bab 2

last update Last Updated: 2025-03-27 22:22:09

Alisha memutuskan untuk ke rumah Christine. Ia berjalan kaki menuju ke sana dan setelah tiba di depan rumah Christine, ia menekan bel dengan tangan gemetar. Tak lama, pintu terbuka dan Christine berdiri di sana dengan ekspresi kaget dan khawatir.

"Sha, kenapa datang tiba-tiba? Lo baik-baik aja?" tanyanya, menarik Alisha masuk sebelum gadis itu bisa menjawab. Begitu pintu tertutup, Alisha akhirnya menghela napas berat. "Chris..." suaranya hampir bergetar.

Christine menepuk pundaknya pelan. "Udah, masuk dulu. Lo lapar? Gue ada mi instan."

Alisha tersenyum kecil, "Mi instan selalu jadi solusi, ya?"

"Ya iyalah," Christine terkekeh, "Udah, lo ke kamar gue dulu. Nanti kita ngobrol."

Tanpa banyak bicara lagi, Alisha mengikuti Christine ke dalam. Untuk sementara, ia merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, malam ini ia tidak sendirian.

Alisha duduk di tepi kasur Christine, memeluk lututnya sambil menatap lantai. Christine mengangsurkan segelas air mineral sebelum duduk di sebelahnya.

"Lo mau cerita sekarang atau nanti?" tanya Christine hati-hati.

Alisha menggenggam gelas itu erat lalu menghela napas panjang, "Papa gue... ngusir gue dari rumah," suaranya nyaris berbisik.

Christine mengernyit. "Apa?! Ngusir? Serius, Sha? Kok bisa?"

Alisha menelan ludah, menahan emosi yang mengganjal di dadanya. "Gue ketahuan pacaran sama Dareen tadi di rumah, gue kira papa nggak pulang tapi ternyata tiba-tiba aja di rumah,”

“Cuma masalah itu?” Tanya Christine kaget saat Alisha menjelaskan permasalahanya.

“Tapi emang kayaknya dia udah lama nggak suka sama gue. Tiap hari rasanya gue salah terus di mata dia."

Christine mendengus kesal, "Gila, sih. Terus, nyokap lo gimana?"

Alisha tersenyum miris, "Gue udah nelpon berkali-kali. Dia nggak angkat."

Christine terdiam sejenak lalu menghela napas, "Sumpah, gue nggak habis pikir. Tapi lo tenang aja, di sini rumah lo juga. Kapan pun lo butuh tempat nginep, lo tinggal datang."

Alisha menatap Christine dengan mata berkaca-kaca, "Makasih, Chris... Gue nggak tahu harus ke mana kalau lo nggak ada."

Christine menepuk punggungnya pelan. "Udah, nggak usah nangis. Mending sekarang kita makan mi instan dulu. Semua masalah bisa dipikirin lagi setelah perut kenyang."

Alisha tertawa kecil di sela harunya, "Bener juga."

Malam itu, di tengah kepingan hatinya yang berantakan, setidaknya ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih baik: sahabat yang selalu ada untuknya.

Setelah menikmati semangkuk mi instan bersama Christine, Alisha merasa sedikit lebih tenang. Mereka duduk bersandar di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang dihiasi lampu-lampu kecil berkelap-kelip.

Christine melirik Alisha dari samping. "Besok lo mau gimana?" tanyanya pelan.

Alisha menghela napas panjang, "Gue nggak tahu, Chris. Gue nggak mungkin balik ke rumah kalau papa masih kayak gitu. Mama aja nggak peduli."

Christine menggigit bibirnya, tampak berpikir. "Lo nggak punya keluarga lain yang bisa lo datangin? Tante? Om? Nenek?"

Alisha menggeleng. "Nenek gue udah lama meninggal, om dan tante gue tinggal di luar kota. Gue juga nggak deket sama mereka."

Christine mengetuk-ngetuk jemarinya ke lutut lalu berkata, "Ya udah, sementara waktu lo di sini aja dulu. Bokap nyokap gue juga pasti nggak bakal keberatan."

Alisha menatap Christine dengan mata berkaca-kaca, "Lo yakin nggak bakal nyusahin keluarga lo?"

"Udah lah, Sha. Lo pikir gue tega ngebiarin sahabat gue tidur di jalan?" Christine tersenyum, mencoba menenangkan. "Lagian, siapa lagi kalau bukan gue?"

Alisha mengangguk pelan, rasa haru memenuhi dadanya. "Makasih, Chris. Lo bener-bener sahabat terbaik gue."

Christine mendengus kecil. "Ya iyalah. Udah, tidur sana. Besok kita pikirin lagi semuanya."

Alisha tersenyum tipis, lalu berbaring. Malam ini, meskipun hatinya masih kacau, setidaknya ada rasa aman yang bisa ia genggam.

**

Keesokan paginya, Alisha bangun dengan perasaan sedikit lebih ringan, meskipun bayangan kejadian semalam masih menghantuinya. Christine sudah lebih dulu bangun dan sedang sibuk di dapur saat Alisha keluar dari kamar.

“Lo udah bangun? Cuci muka dulu sana, bentar lagi sarapan,” kata Christine sambil membolak-balik roti di atas teflon.

Alisha mengangguk dan segera menuju kamar mandi. Saat kembali, ia melihat Christine sudah menata sarapan di meja, sementara kedua orang tua Christine—Pak Rudi dan Bu Maya—sudah duduk di sana.

“Pagi, Om, Tante,” sapa Alisha sopan, merasa canggung.

Bu Maya menatapnya dengan senyum ramah, meski sorot matanya tampak penuh tanda tanya. “Pagi, Alisha. Christine bilang semalam kamu nginap di sini?”

“Iya, Tante… maaf kalau ngerepotin,” ujar Alisha pelan.

Pak Rudi meletakkan koran yang sedang dibacanya dan menatap Alisha dengan ekspresi serius. “Memangnya ada masalah apa sampai harus menginap di sini?”

Alisha menunduk, merasa tidak nyaman untuk langsung bercerita. Christine cepat-cepat menyela, “Papa, nanti aja, ya? Alisha masih capek. Boleh kan dia sementara waktu tinggal di sini?”

Pak Rudi dan Bu Maya saling bertukar pandang. Mereka jelas terkejut dan tampak sedikit keberatan, tetapi belum mengungkapkannya secara langsung.

Bu Maya akhirnya mengangguk kecil. “Ya sudah, sarapan dulu. Kita bicarakan lagi nanti.”

Alisha tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya ia bisa merasakan ada ketegangan yang menggantung di udara.

Alisha duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Christine mencoba mencairkan suasana dengan mengobrol santai, tapi Alisha tahu kedua orang tua sahabatnya itu masih menyimpan banyak pertanyaan.

Saat sarapan hampir selesai, Pak Rudi akhirnya berbicara. “Alisha, Papa dan Mama kamu tahu kamu di sini?”

Alisha menegang. Ia meletakkan sendoknya pelan, lalu menggeleng. “Aku udah coba hubungi Mama, tapi nggak diangkat, Om. Sementara Papa…” Suaranya tercekat sejenak, “Papa ngusir aku dari rumah.”

Bu Maya tampak terkejut, “Ngusir? Kenapa?”

Alisha menunduk, jari-jarinya meremas ujung bajunya. Tidak mungkin dia mengatakan pada orang tua Christine jika dia diusir karena ketahuan pacaran. Akhirnya Alisha pun memilih untuk berbohong.

“Aku sendiri nggak tahu pasti, Tante. Aku merasa selalu salah di mata Papa, dan kemarin... dia benar-benar menyuruh aku pergi.” Katanya tidak ingin menceritakan kejadian yang sebenarnya.

Pak Rudi menghela napas panjang. Ia menatap Alisha sejenak sebelum berkata, “Masalah keluarga itu sebaiknya diselesaikan di dalam keluarga. Kamu nggak bisa lari dari rumah begitu saja.”

Christine menyela cepat, “Tapi Pa, dia bukan lari. Dia diusir!”

Pak Rudi mengangguk pelan, “Papa mengerti. Tapi tetap saja, orang tuanya harus tahu di mana dia berada.”

Alisha menunduk semakin dalam. Ia ingin menelepon mamanya lagi, tapi kalau mamanya saja tidak peduli, apakah masih ada gunanya?

Bu Maya menepuk tangan Alisha dengan lembut, “Alisha, kamu boleh tinggal di sini sementara, tapi kamu harus coba bicara lagi dengan orang tua kamu. Setidaknya, beri tahu mereka kalau kamu baik-baik saja.”

Alisha mengangguk pelan. Ia tahu cepat atau lambat, ia harus menghadapi keluarganya lagi. Tapi untuk sekarang, ia hanya ingin menikmati sedikit ketenangan di rumah Christine, meskipun ia sadar ketenangan itu mungkin tidak akan bertahan lama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Cinta CEO Posesif   Bab 55

    Tok... Tok... Tok... Alisha yang masih tidur, segera terbangun karena suara ketukan pintu di ruanganya. Matanya masih setengah terpejam, rambutnya berantakan, ia bergumam pelan.“Ya...?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.“Pagi, princess!” terdengar suara riang dari balik pintu.Alisha terkejut. Ia langsung mengenali suara itu. “Bara? Kamu datang? Ini masih pagi loh...”Bara di luar kamar terkekeh. “Coba tebak aku bawa apa?”Alisha mengucek matanya sambil duduk di ranjang. “Apa? Bunga?”Bara menggeleng, meski Alisha tak melihat.“Coklat?” tebaknya lagi.“Salah juga.”Alisha mulai mendengus. “Ya terus apa dong? Jangan-jangan kamu malah nggak bawa apa-apa.”“Sabar, aku hitung ya. Satu... dua... tiga...”Tiba-tiba terdengar suara lain menyusul. “Taraaa...!”Pintu terbuka, dan sosok yang tak asing masuk ke kamar.“Christine?!” seru Alisha kaget, seketika rasa kantuknya hilang.Gadis itu tersenyum lebar lalu berlari kecil menghampiri Alisha. “Hai Sha! Gue kangen ban

  • Terjerat Cinta CEO Posesif   Bab 54

    Puas mengobrol dan bersenda gurau hingga malam, Bara pun akhirnya pamit. “Aku pulang ya? Besok aku ke sini lagi,” katanya sambil merapikan jaketnya. Alisha menggeleng pelan. “Kalau capek nggak usah, Bara. Nanti aja ketemu kalau aku udah sembuh, oke?” Bara tersenyum miring, mencondongkan tubuh. “Ehm… nggak janji, ya? Soalnya kaki aku biasanya gerak sendiri kalau lagi kangen kamu.” Alisha mendengus gemas. “Mulai deh… habis kena sihir di mana sih kamu tiba-tiba jadi senang ngegombal gini?” “Itu, di depan pintu ruangan kamu sihirnya kuat banget. Bisikin aku katanya gombalin Alisha terus, Bara. Dia kalau malu pipinya gede merah kayak bakpau tomat.” Alisha ternganga, lalu cekikikan. “Emang ada bakpau tomat?” “Ada, ini.” Bara menunjuk pipi gembung Alisha, menekannya dengan jahil. Wajah Alisha kembali memerah. Ia menutup pipinya dengan tangan. “Kalah aku hari ini sama kamu, Bara.” Bara mengangkat alis nakal. “Se

  • Terjerat Cinta CEO Posesif   Bab 53

    Sementara Alisha bersama Bara di ruangannya, Andin masih setia berada di ruangan Marchel sejak tadi. Ia duduk di kursi samping ranjang, tangannya menggenggam tangan Marchel. Suaranya lirih mengajak bicara Marchel, karena sesuai anjuran dokter agar otot sensorik dan kesadaran Marchel lebih cepat pulih.“Kamu tahu nggak, Mas… anak kita udah punya pacar loh,” ucap Andin sambil tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana. “Ganteng, CEO baru. Namanya Bara, tapi ya namanya hubungan, pasti ada jatuh bangunnya. Kayak kita dulu, kan? Hubungan kita yang awalnya hambar, tapi entah kenapa aku selalu percaya, suatu saat nanti aku dan kamu bakal jadi kita yang utuh.”Suara Andin mulai bergetar. Ia menunduk, menahan air mata. “Aku sadar, Mas… yang benar-benar mencintaiku bukan orang yang sekadar bilang ‘aku cinta kamu’, tapi orang yang selalu ada waktu aku butuh. Yang nggak pernah ingin aku menderita. Dan aku merasakan itu… cuma dari kamu, Mas. Bukan dari Marco.”Nafasn

  • Terjerat Cinta CEO Posesif   Bab 52

    Setelah Bara pergi, Alisha masih tersipu malu. Pipinya panas, jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Lelaki itu benar-benar mampu membuat suasana hatinya berubah drastis. Jika kemarin ia merasa sendirian, sekarang ada Bara yang hadir membawa kehangatan dan membuat dunianya kembali terasa penuh warna.Tok tok…“Sha, Mama boleh masuk?” terdengar suara lembut Andin dari balik pintu.Alisha buru-buru menarik selimut, merapikan posisi tidurnya. “Eh iya, Ma… masuk aja.”Andin membuka pintu sambil tersenyum. “Loh, Bara mana?”“Beli makanan, Ma.” jawab Alisha cepat, tapi senyum malu-malu yang menyertai membuat Andin langsung mengerti.Andin duduk di tepi ranjang, jemarinya membelai rambut putrinya penuh kasih. “Kamu sudah lebih baik, Nak?”“Iya, Ma. Udah mendingan,” sahut Alisha lirih.Andin mengangguk pelan. “Mama juga melihatnya begitu. Apalagi sejak Bara datang… wajah kamu lebih segar, hatimu juga pasti ikut memb

  • Terjerat Cinta CEO Posesif   Bab 51

    Bara menatap Alisha serius. “Takut kenapa, Sha?”Alisha menarik napas pelan, lalu menunduk. “Takut kalau kamu punya pacar baru.”Bara sontak terkekeh kecil, lalu menggeleng. “Mana ada, Sha. Kan kamu pacar aku.”Alisha langsung melotot kecil, wajahnya memerah. “Ih, Bara… ngomongnya gampang banget. Lagian sejak kapan kita jadi pacar kamu aja nggak pernah nembak aku.”Alisha langsung melotot kecil, wajahnya memerah. “Ih, Bara… ngomongnya gampang banget. Lagian sejak kapan kita jadi pacar? Kamu aja nggak pernah nembak aku.”Bara menaikkan alis, lalu tersenyum nakal. “Lah, tadi udah nembak.”Alisha berkerut bingung. “Kapan?”“Ya tadi,” jawab Bara santai, “waktu aku cium kamu. Kalau dipikir-pikir, kita udah beberapa kali ciuman, jadi anggap aja itu momen aku nembak kamu.”Alisha spontan menepuk lengannya, separuh malu separuh kesal. “Kamu ini ya… CEO, ganteng, punya segalanya, tapi nggak bisa romantis sama sekali. Mas

  • Terjerat Cinta CEO Posesif   Bab 50

    “Papa…” suara Alisha bergetar ketika memasuki ruangan.Di ranjang rumah sakit itu, Marchel sudah membuka mata. Tubuhnya masih lemah, selang infus menempel, tapi sorot matanya hidup, tajam namun rapuh.Alisha mendekat, berusaha menahan air mata. “Ini Alisha, Pa… syukurlah Papa sudah sadar.” Tangannya gemetar saat mengelus pipi lelaki tua itu. Meski hatinya menyimpan luka atas perlakuan sang ayah di masa lalu, tak pernah sedikit pun terbersit rasa benci.Andin yang berdiri di samping mereka ikut menenangkan. “Papa masih belum bisa bicara, Nak… dokter bilang butuh waktu untuk pulih. Tapi lihat, tatapan Papa nggak lepas dari kamu.”Marchel menatap Alisha lama sekali, matanya basah, seolah ada ribuan kata yang ingin ia sampaikan tapi terhalang oleh kelemahan tubuhnya. Jemarinya bergetar, berusaha mengangkat, namun hanya mampu sedikit bergerak.“Pa…” Alisha makin terisak, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. “Nggak apa-apa kalau Papa belum bis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status