Sejak insiden siang pertama kami dua minggu yang lalu, hubunganku dengan Mas Ryan sudah satu langkah lebih maju. Aku sudah mulai nyaman ketika Mas Ryan menunjukkan perhatiannya kepadaku ketika di rumah maupun di luar rumah.
Seperti halnya rutinitas mengantar jemputku setiap hari, yang sudah dua minggu ini mulai rutin dilakukan oleh Mas Ryan. Dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk menolaknya. Pun dengan perhatian-perhatiannya yang setiap jam istirahat selalu mengingatkanku untuk jangan sampai melupakan makan siang. Baik itu melalui pesan singkat, maupun sambungan telepon langsung.
"Mas, hari ini Nisya berangkat sendiri, ya?"
"Kenapa?"
"Nisya ada urusan, nanti sore selepas mengajar."
"Mau kemana?"
"Boleh nggak? Kalau enggak boleh ya nggak papa," tanyaku balik.
Sengaja aku nggak ingin Mas Ryan tau kemana aku akan pergi nantinya, sebab aku masoh belum punya keberanian untuk membicarakan semua tentang masa laluku padanya.
"Han
"Sialan! Kamu bener-bener ya, Nisya ... A arrrhhh! Bisa nggak kebiasaanmu yang satu ini dihilangkan! Untung ini jantung buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah tinggal nama aku, Nisya Kailandra!" Aku menghendikan bahu acuh dan masa bodo dengan amarah Yasa yang memenuhi ruangannya. Sudah menjadi kebiasaanku untuk langsung masuk ke ruangannya tanpa permisi. Dan aku tentu sudah biasa dengan amarah Yasa setelahnya.Mengabaikan gerutuannya yang masih bisa kudengar, aku memilih abai dan mengambil duduk persis di hadapannya dengan dia yang lantas menggesel laptop ke samping untuk menyambut kedatanganku. "Gimana dengan masalah yang kemarin, sudah beres semua, kan?" "Kamu tanya beginian ada maksud apa? Dan lagi aku minta tolongnya sudah dari kapan, Ibu Guru Nisya yang sok sibuk!" "Biasa aja enggak usah ngegas, satu lagi aku memang benar-benar sibuk tahu!" "Sibuk apa? Ngurusin ha
Setelah insiden kemarin aku selalu dihantui rasa bersalah terhadap Mas Ryan, bukannya tidak mau jujur tetapi aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masa laluku. Beruntung Mas Ryan tidak lagi membahas masalah itu dan kembali melanjutkan pekerjaanya ketika Bayu datang saat akucakan menjawab pertanyaan mendebarkan itu. "Nis, Al sudah tidur?" tanya Mas Ryan saat menyusulku yang tengah menidurkan anaknya. "Sudah, kenapa?" "Bisa minta tolong?" Aku mengangguk, perlahan dengan hati-hati turun dari atas tempat tidur agar Alshad tidak sampai terbangun merasakan pergerakanku. "Buatkan mas kopi ya, sekalian antar ke ruang kerja mas." Pintanya ketika aku sudah berada didekatnya lalu menutup pintu kamar. Kembali aku mengangguk dan segera melakukan perintahnya. Mas Ryan, dia langsung menuju ruang kerjanya yang berada tepat di depan kamar utama. "Lembur, Mas?" tanyaku saat mengantar dan menaruh kopi pesanannya di at
"Mau sampai kapan kamu diamkan mas seperti ini?" Aku tidak menjawab dan tidak juga menoleh kearahnya, sudah aku bilang kan jika aku paling nggak suka ada orang yang semena-mena sendiri. "Oke, mas minta maaf, mas ngaku salah kerena nggak bisa bersikap tegas sama Sarah," ucapannya lagi. Dan aku masih tetap diam dan terus melanjutkan sarapanku, karena terlanjur malas dengan sikapnya itu. Mas Ryan, kuakui dia memang baik sebagai seorang suami, tapi kebaikannya itu juga yang menjadi kelemahannya. Selama menjadi istrinya tidak pernah sekalipun aku bersikap kurang ajar atau tidak sopan padanya, biarpun aku masih belum bisa sepenuhnya menerima dia sebagai suamiku. Tapi itu tidak menjadikanku alasan untuk bersikap semauku terhadapnya, bahkan aku cenderung menghormatinya sebagai laki-laki juga imam keluarga. "Nisya!" Dia menarik lenganku, "mas janji ini yang terakhir mas bantu dia." "Terakhir ya," responku lalu meletakkan kembali sendok yang kupegang.
Sudah beberapa hari ini aku jadi rutin mengunjunginya lagi, setelah kemarin-kemarin tidak bisa karena terhalang oleh aktivitasku yang tidak sebebas dulu. Aku letakkan setangkai bunga yang aku bawa, bersebelahan dengan bunga dari Sena, dia tidak bisa ikut karena sedang ada acara dengan keluarganya Mas Biru. Selanjutnya aku akan menjemput, Al, di rumah ibunya Mas Ryan sebelum pulang, tapi beberapa hari ini Al sudah mulai agak berubah kepadaku entah karena apa, dia jadi lebih pendiam dan nggak lagi suka bermanja denganku. "Al, kenapa sekarang nggak pernah cari bunda lagi kalau bangun tidur?" tanyaku sesaat setelah keluar dari rumah mama. Jarak rumah mama tidak terlalu jauh dari kediamanku sehingga aku berani membonceng anak ini menggunakan motor. "Kata ayah nggak boleh ganggu bunda lagi," ucapnya disela-sela perjalanan kami. "Kapan ayah bilang begitu?" "Kemarin, pas Al rewel terus ayah yang datang katanya mulai sekarang nggak
"Aku lihat sejak turun dari mobil Mas Biru, kamu tidak berhenti buat nggak unjuk gigi Sen, ada apa rupanya?" Dan sosok yang kutanya masih bertahan dengan senyuman yang asli membuatku ingin sekali menampol wajah ngeselinnya. "Arsena Nadhira! lo kesambet, hah?!" tanyaku yang mulai kesal. "Sabar Nis, aku bingung mau cerita dari mananya." "Nggak usah cerita, lagian pede banget aku mau dengar ceritamu yang nggak mutu itu!" "Dasar ibu-ibu ambekan, oke aku cerita dengerin baik-baik, aku ... habis dilamar Mas Biru dong," ucapnya dengan percaya diri sambil mengangkat tangannya untuk memperlihatkan kalau sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya. "Udah basi, lamarannya sudah dari kapan ceritanya baru sekarang, kamu masih waras kan, Sen?" "Ish, beda Nisya, ini tuh Mas Biru ngelamarnya pakek acara ala-ala yang romantis gitu tahu." Girangnya. "Jadi, Mas Biru melamar kamu lagi begitu?" Dia menga
"Masih belum selesai?" tanya Mas Ryan, memelukku dari belakang. Dengan melingkarkan lengannya di perut serta menempelkan dagunya di atas pundakku. Sehingga bisa aku rasakan hangat hembusan napasnya menerpa sisi wajahku. Aksinya ini membuatku mematung untuk beberapa, sebab belum pernah kejadian sebelumnya. Dan ini pertama kalinya dalam pernikahan Mas Ryan berani melakukan skinship denganku selain aktivitas ranjang tentunya. Karena sebelum ini jangankan pelukan, bergandengan tangan saja tidak pernah dilakukannya. "Tinggal sedikit lagi," balasku kikuk dan masih kurasakan debaran jantungku yang dua kali lebih cepat dari biasanya. Aku sedang berkutat di dapur saat Mas Ryan menghampiri, berikut perlakuannya yang masih begitu asing buatku. Namun entah kenapa sudut terdalamku seolah tidak ingin ini cepat berlalu. "Biar mas yang lanjutin, kamu siap-siap sudah mas siapin airnya," Mas Ryan lantas mengambil alih pekerjaanku yang tengah membua
"Sudah semua, kan? Nggak ada yang tertinggal?" "Sudah, Mas sendiri ada yang mau dibawa lagi?" Mas Ryan menggeleng, "ayo!" ajaknya seraya membukakan pintu penumpang untukku. Weekend ini aku diajaknya liburan entah mau kemana, Mas Ryan tidak memberi tahuku. Alshad, anak itu tidak ikut karena sejak kemarin sudah diambil papa untuk menginap di rumah beliau. "Mas," panggilku. "Kenapa?" Mas Ryan melirikku sekian detik setelah itu fokusnya kembali pada kemudinya. Aku mengangkat tautan jemari kami, " Bisa nggak ini dilepas dulu? Nanti Mas susah dan makin capek nyetirnya." "Biasanya juga seperti ini, kan?" "Iya, tapi biasanya ...." Aku tidak lagi bisa melanjutkan kata-kataku, karena Mas Ryan secara tiba-tiba membawa jemariku untuk dikecupnya, sambil menoleh kearahku dan tersenyum tipis. "Kamu istirahat saja, nanti kalau sudah sampai mas bangunin," ucapnya sambil mengelus pelan
Setelah permainan panas yang kami lakukan, membuatku semakin terlena dan tidak ingin waktu berlibur ini cepat berlalu, Mas Ryan juga semakin menunjukan sifat romantisnya kepadaku."Ada apa? Tumben banget kamu jadi manja gini, mau melakukannya lagi, heemm?" tanyanya sambil menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan mengecup bibirku kilat."Enggak dulu ya, Nisya masih capek tahu!"Kudengar Mas Ryan terkekeh geli, mungkin sedang menertawakan kelakuanku. Aku bahkan malu pada diriku sendiri jika ingat apa yang sudah kuperbuat. Bisa-bisanya aku bersikap seperti itu, ya Tuhan sebenarnya apa sedang terjadi pada diriku ini.Minggu malamnya kami sepakat untuk pulang, setelah sebelumnya Mas Ryan ingin menambah satu hari lagi tapi dengan tegas aku tolak. Bukan tidak ingin tapi ini tentang tugas dan tanggung jawab yang sudah kami emban. Diperjalanan pulang, kulihat gelagat aneh dari Mas Ryan, dia seperti gelisah terlihat dari bahasa tubuhnya yang