MilkBun22 ternyata adalah seorang pria. Pria berusia 23 tahun bernama Ansel Brooks. Ayahnya adalah orang Australia dan ibunya adalah wanita Indonesia. Ansel tinggal di Singapura karena ia sedang menyelesaikan kuliah seninya. Dan Clara sama sekali tidak tahu menahu soal itu. Clara mengira si pemilik iklan adalah seorang gadis karena username yang digunakan sangatlah feminim.
Clara duduk di ruang tamu apartemen pria itu dan menatapnya dengan tidak percaya. Bagaimana bisa pria dengan tubuh atletis ini menggunakan nama yang begitu lucu sebagai identitasnya di internet?"Jadi kamu adalah MilkBun22? Orang yang sedang mencari roommate?" Tanya Clara sekali lagi sambil menatap Ansel dari ujung kaki hingga ujung kepala.Ansel berjalan dari dapur menuju sofa tempat Clara duduk. Ia lalu memberikan Clara segelas teh dan duduk di depan gadis itu."Iya, apakah ada yang salah dengan itu?" Balas Ansel bingung."Tapi kukira kamu adalah seorang wanita! Karena namamu terdengar sangat feminim! Lagipula kenapa seorang pria memakai username seperti itu?" Seru Clara heboh."Karena roti susu adalah makanan favoritku, okay? Tidak ada yang salah dengan itu kan?" Jawab Ansel tidak mau kalah.Clara meghela nafas lelah. Ia menyenderkan tubuhnya ke sofa dan memijat kepalanya yang tidak pusing. Sekarang ia kembali mempertimbangkan opsinya untuk tinggal di rumah Tante Ana saja. Bagaimana mungkin Clara bisa tinggal bersama seorang pria asing? Memikirkannya saja Clara sudah merasa canggung apalagi benar-benar melakukannya."Lalu kenapa kamu mencari roommate? Kamu tahu, harga yang kamu tawarkan itu sangat murah hingga tampak mencurigakan. Jangan-jangan ada syarat tersembunyi dari iklan itu ya?" Tuduh Clara curiga.Ansel tertawa terbahak-bahak mendengar tuduhan Clara."Astaga, Clara. Bukan seperti itu. Aku mencari roommate karena ada satu kamar kosong di apartemenku dan aku butuh uang tambahan untuk mengejar impianku." Jawab Ansel santai."Dan kenapa harganya murah karena aku menyewa apartemen ini tanpa perabotan. Jadi harganya memang jauh lebih murah. Mengerti?" Tambah Ansel lagi.Clara hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa ada niat mengiyakan tawaran Ansel. Begitu banyak pikiran negatif yang menghantuinya apabila ia benar-benar tinggal dengan pria asing ini. Tak lama, ponsel Clara berdering. Tante Ana meneleponnya."Aku keluar sebentar, Ansel. Ada telepon yang harus kujawab." Pamit Clara sembari beranjak dari sofa."Iya, halo Tante?" Sapa Clara pada Tante Ana."Clara kamu dimana? Kenapa belum pulang juga?" Tanya Tante Ana khawatir."Clara sedang bertemu dengan teman Clara, Tante." Jawab Clara beralasan.Tante Ana hening sejenak."Bisakah kamu pulang secepatnya? Tante merasa tidak enak dengan Jo yang mengomel terus dari tadi. Tante tidak mau kamu disalahkan Jo, Clara." Ucap Tante Ana pelan.Clara menghela nafas berat. Ah, lagi-lagi Jo. Sepertinya tidak peduli sebaik dan serajin apapun Clara di rumah itu, Jo tetap saja akan menyalahkannya. Karena memang Jo tidak suka dengan keberadaan Clara. Clara kembali memikirkan untuk menerima tawaran Ansel. Mungkin tawaran itu tidak terlalu buruk. Setidaknya untuk satu atau dua bulan ke depan, Clara sudah mendapatkan tempat tinggal meskipun bersama pria tidak dikenal ini. Setidaknya Tante Ana tidak perlu beradu mulut dengan Jo lagi soal Clara.Clara melangkah masuk ke apartemen Ansel. Wajahnya tampak bimbang. Ia kembali duduk di hadapan Ansel."Bagaimana? Kamu mau menerimanya?" Tanya Ansel.Clara diam sejenak. Ia lalu menatap Ansel dengan yakin."Iya, aku mau tinggal disini."***Hari ini adalah hari kepindahan Clara dari rumah Tante Ana. Tiga hari yang lalu ia sudah merampungkan kesepakatannya bersama Ansel dan melunasi pembayarannya. Setelah membeli sedikit perlengkapan dengan sisa tabungannya, Clara sudah siap untuk pindah. Yang agak sulit adalah meminta izin kepada Tante Ana.Dua hari yang lalu, Clara berbicara empat mata dengan Tante Ana saat Jo tidak ada di rumah. Pria pelit itu sedang bekerja dan akan pulang ketika malam. Dan Clara pikir saat itu adalah saat yang paling tepat untuk mengobrol dengan Tante Ana terkait kepindahannya."Kamu mau bicara tentang apa, Clara?" Tanya Tante Ana penasaran.Clara diam sejenak. Ia bingung bagaimana harus mengatakannya. Terlebih lagi alasan kepindahannya yang begitu tiba-tiba."Clara?" Ulang Tante Ana lagi.Clara berdeham pelan."Aku mau pindah, Tante." Jawab Clara pelan.Tante Ana terkesiap. Ia bingung kenapa keponakannya yang tidak punya siapa-siapa disini tiba-tiba akan pindah."Kenapa mendadak sekali?" Tanya Tante Ana lagi."Tidak ada alasan khusus, Tante. Aku hanya ingin merasakan hidup mandiri. Itu saja." Balas Clara tersenyum palsu.Tante Ana melihat wajah Clara dengan saksama. Ia tahu benar keponakannya ini sedang berbohong. Clara tidak pernah berani menatap mata lawan bicaranya jika ia sedang berbohong dan sekarang Clara memalingkan wajahnya dari Tante Ana."Apakah karena Jo?" Ujar Tante Ana pelan.Clara terkejut. Ia pura-pura menyembunyikan rasa kagetnya namun Tante Ana terlanjur menangkap perubahan ekspresinya."Ternyata benar karena Jo." Timpal Tante Ana lagi.Tante Ana hening. Ia merasa bersalah kepada keponakannya dan kakaknya di Indonesia. Ia adalah orang yang mengajak Clara pindah ke Singapura dengan iming-iming akan menjaga Clara. Namun sekarang keponakannya malah memilih keluar dari rumahnya karena suaminya yang pelit."Ada apa dengan Jo?" Tanya Tante Ana ingin tahu.Clara diam sejenak dan akhirnya ia membuka mulutnya."Aku tahu kalau Jo keberatan aku tinggal disini, Tante. Aku tanpa sengaja mendengar percakapan Tante dan Jo malam itu." Jawab Clara pelan.Tante Ana tampak terhenyak. Perasaan bersalah menelannya bulat-bulat."Astaga, Clara. Jadi inikah alasan kamu selalu diam dan tidak mau makan apapun di rumah? Karena kamu tidak enak dengan Jo?" Ucap Tante Ana dengan raut tidak enak.Clara mengangguk pelan. Tante Ana tidak dapat menyembunyikan rasa bersalahnya. Ia langsung memeluk keponakannya itu dan mengelus kepala Clara."Ya Tuhan, Clara. Maafkan Tante. Tante tidak bisa menepati janji Tante pada Mamamu. Bukannya menjagamu Tante malah membuatmu keluar dari sini." Tutur Tante Ana dengan lirih.Clara balas memeluk Tante Ana."Tidak apa-apa, Tante. Lagipula aku sudah besar, Tante. Tante tidak perlu repot-repor mengurusiku, sungguh." Balas Clara menenangkan Tante Ana.Tante Ana menyeka air matanya setelah tangisnya mereda. Ia menatap ke arah Clara dan menyadari bahwa keponakannya yang dulu masih kecil kini sudah dewasa. Tante Ana memutuskan untuk percaya kepada Clara dan membiarkannya hidup sendiri."Kapan kamu pindah, Clara?" Tanya Tante Ana setelah tangisnya reda.Clara tersenyum sumringah."Lusa, Tante!"Dan sekarang disinilah Clara. Berdiri di depan tempat tinggal barunya dengan barang-barangnya yang tidak seberapa. Sudah sepuluh menit ia berdiri di depan pintu dan membunyikan bel. Namun Ansel si empunya rumah tak kunjung membukakan pintu. Clara baru akan menelepon pria itu, tetapi pintu tiba-tiba terbuka.Ansel muncul di ambang pintu dengan wajah kusut dan tampak seperti bangun tidur. Clara menatap Ansel dengan sebal karena sudah membuatnya menunggu begitu lama."Maafkan aku, Clara. Aku ketiduran karena semalam harus begadang menyelesaikan tugasku." Kata Ansel sambil tertawa.Clara berdecak kesal dan langsung membawa masuk barangnya ke dalam apartemen itu. Ansel membantu membawa beberapa yang tersisa dan menyusul di belakang Clara."Jadi dimana aku akan tidur?" Tanya Clara seraya meletakkan kopernya.Ansel tersenyum cerah. Ia berjalan ke sebuah kamar dan memberi isyarat pada Clara untuk mengikutinya. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar yang berantakan dengan banyak barang di dalamnya. Clara menatap Ansel dengan tatapan bingung."Katamu kamarnya kosong tapi kenapa ada banyak barang disini? Kamar siapa ini?" Ucap Clara bingung."Ini kamarku." Jawab Ansel ceria.Clara makin tidak mengerti."Maksudmu?"Senyum Ansel makin melebar melihat Clara yang tampak menggemaskan karena bingung."Kamu akan tidur bersamaku di kamar ini, Clara!"Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny