Clara menatap Ansel tidak percaya. Bahkan matanya tidak berkedip lagi karena terkejut. Penipuan macam apa ini? Jangan-jangan besok Ansel akan meminta Clara mencuci bajunya juga?
"Apa?! Kamu bilang aku akan tidur di kamar kosong dan bukannya bersamamu, Ansel! Wah, ini penipuan namanya!" Seru Clara emosi.Clara menatap Ansel penuh amarah. Namun tiba-tiba pria itu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Clara hanya menatap Ansel dengan tatapan bingung. Mungkin pria bernama Ansel ini sebenarnya memiliki gangguan jiwa? Bukankah banyak seniman yang memang sedikit gila? Clara mulai berpikir untuk melarikan diri saja daripada harus tinggal bersama Ansel yang tampan namun tidak waras."Kenapa kamu tertawa? Tidak ada yang lucu, Ansel!" Seru Clara sewot.Ansel menyeka air matanya yang sedikit menetes karena terlalu asyik menertawai Clara."Aku bercanda, Clara! Mana mungkin aku akan menyuruhmu tidur bersamaku!" Jelas Ansel lalu tertawa lagi.Mata Clara membelalak kesal. Sialan! Baru hari pertama ia pindah disini dan teman serumahnya sudah mengerjainya. Tampaknya hidup bersama Ansel tidak akan mudah. Clara harus punya banyak stok kesabaran untuk menghadapi pria ini."Apakah kamu sudah puas tertawa?" Tanya Clara sebal."Astaga, Clara! Tadi itu lucu sekali. Wajah kagetmu dan ekspresimu! Harusnya kamu melihat sendiri mukamu!" Ujar Ansel masih sambil tertawa.Lama kelamaan Clara menjadi jengkel dengan Ansel. Dengan kesal ia menarik kopernya dan masuk di kamar kosong yang ada di sebelah kamar tadi. Ia lalu membanting pintu kamarnya tanpa perduli Ansel yang memanggil-manggilnya. Namun Clara mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia berpikir mungkin ia meninggalkan sesuatu di luar. Clara lalu membuka pintu kamarnya sedikit dan melihat Ansel berdiri disana."Ada apa?" Tanya Clara datar."Kamu benar-benar tidak ingin tidur di kamarku?" Canda Ansel lagi.Clara menjelit."Tidak! Pergi sana!" Usir Clara sebal lalu membanting pintunya.Clara merebahkan tubuhnya di kasur kamar baru miliknya. Ia melihat sekeliling kamar itu yang masih polos dan belum ada apa-apa di dalamnya. Tapi satu hal yang Clara syukuri adalah Ansel sudah membersihkan dan menyiapkan kamar itu dengan baik. Clara berharap hidup barunya akan berjalan dengan mulus dan indah mulai hari ini.Singapore, please be nice to me!***Jam alarm Clara berbunyi pukul 6 pagi. Ia segera membuka matanya dan mematikan alarm berisik itu. Dengan sigap Clara beranjak dari kasurnya dan menuju kamar mandi yang berada di luar kamarnya. Ia harus segera bersiap untuk pergi kerja jam 7 pagi nanti.Setelah 15 menit membasuh dirinya dan berganti pakaian, Clara segera menuju ke dapur dan mempersiapkan sarapan."Haruskah aku membuatkan Ansel juga?" Gumamnya bingung.Namun pada akhirnya Clara juga membuatkan Ansel sarapan yang sama dengannya. Entah Ansel akan menyukainya atau tidak, setidaknya Clara sudah berusaha untuk menjadi roommate yang baik, bukan?Tidak berapa lama sejak ia mulai memasak, pintu kamar Ansel terbuka. Clara menoleh dan melihat pria itu berjalan keluar dengan mukanya yang masih mengantuk. Ansel mencium bau sedap dari dapurnya dan menghampiri Clara dengan senyum sumringah."Kamu membuat sarapan, Clara?" Tanya Ansel tidak percaya.Clara mengangguk. Tangannya masih sibuk mengaduk-aduk mie tumis andalannya."Aku membuat stir fry noodle untuk sarapan kita. Aku tidak tahu apakah kamu akan menyukainya atau tidak, tapi hanya inilah bahan yang bisa kutemukan di kulkas." Jawab Clara santai.Ansel langsung mengambil kursinya dan duduk di meja makan seperti anak kecil yang menunggu ibunya memasak. Senyumnya lebar dan terlihat bahagia memikirkan makanan rumahan hangat yang akan masuk ke perutnya."Oh, terimakasih banyak Clara! Kamu tidak tahu betapa bosannya aku selalu sarapan dengan sereal tawar itu!" Ujar Ansel ceria.Clara hanya tertawa melihat Ansel yang tampak begitu antusias hanya karena sarapan pagi rumahan buatannya. Kalau dipikir-pikir mungkin memiliki teman serumah tidak begitu buruk.Sepuluh menit berselang, sarapan sederhana buatan Clara selesai. Ia segera membaginya ke dalam dua piring dan membawanya ke meja makan. Satu piring untuk dirinya dan piringnya yang lain ia sodorkan ke Ansel. Pria itu dengan cerah menerimanya dan segera mengambil garpu untuk memakannya."Hmmm... makanan rumahan memang yang terbaik! Ternyata kamu cukup pandai memasak ya!" Puji Ansel tulus.Clara memasang tampang bangga dan tersenyum pongah. Kemampuan memasaknya adalah satu-satunya hal yang paling Clara banggakan."Tentu saja! Sudah bertahun-tahun aku bekerja di restoran, tidak mungkin aku tidak bisa memasak kan?" Balas Clara.Ansel menyantap masakan Clara dengan lahap. Ia kagum dengan hasil masakan teman serumahnya ini."Jam berapa kamu akan pergi bekerja?" Tanya Ansel basa-basi.Clara menatap jam tangannya."Sebentar lagi. Jam setengah 8 restoran tempatku bekerja dibuka jadi aku sudah harus disana saat pukul 7." Jawab Clara."Kamu mau kuantar? Atau kutemani kesana? Kebetulan hari ini aku tidak ada kuliah pagi." Tawar Ansel dengan ramah."Ah, tidak usah, Ansel. Aku bisa pergi sendiri." Ujar Clara menolaknya dengan halus.Ansel tersenyum tipis."Hubungi saja aku jika kamu butuh bantuanku, Clara. Kita kan tinggal bersama. Tidak perlu merasa sungkan kepadaku." Ujar Ansel lagi.Clara tersenyum senang. Ternyata Ansel bukanlah seseorang yang menyebalkan seperti yang ia kira. Mungkin Ansel mengerjai Clara kemarin adalah salah satu caranya untuk mencoba akrab dengan Clara. Lagipula mereka akan tinggal serumah, sudah sewajarnya bagi mereka untuk berteman dekat, bukan?***Perut Clara terasa sangat tidak beres. Sudah selama dua jam terakhir ia bolak balik kamar mandi karena mulas. Ditambah lagi kepalanya yang sedikit pusing entah karena apa. Bosnya sendiri, Uncle Liem, sampai bingung melihat karyawan barunya yang tampak seperti setrika. Mondar mandir ke kamar mandi."Kamu kenapa, Clara? Saya lihat selama dua jam terakhir kamu sudah delapan kali ke kamar mandi. Kamu sakit?" Tanya Uncle Liem khawatir.Clara menggelengkan kepalanya."Saya juga tidak tahu, Uncle. Sejak tadi perut saya mulas terus dan kepala saya pusing." Keluh Clara kepada Uncle Liem.Uncle Liem berdecak kesal."Haiyah! Itu pasti salah makan ya! Kamu orang muda suka sekali makan sembarangan! Tidak jaga-jaga kesehatan ya!" Ujar Uncle Liem menggurui Clara.Tapi Clara malah menatap Uncle Liem dengan wajah bingung. Karena sejak pagi yang ia makan hanyalah masakannya sendiri. Tidak mungkin Clara keracunan masakannya sendiri kan?Tiba-tiba Clara merasakan ponselnya yang bergetar dan membaca nama penelepon di layarnya."Halo, Ansel?" Sapa Clara pada si penelepon yang tidak lain dan tidak bukan adalah Ansel.Namun sapaan ramah Clara disambut oleh semburan kekesalan Ansel."Kamu mengambil darimana bahan-bahan untuk sarapan tadi pagi?!" Tanya Ansel tanpa basa-basi."Di kulkas. Aku cuma mengambil bahan-bahan yang ada di kulkasmu." Jawab Clara polos.Clara mendengar Ansel yang berteriak histeris di seberang telepon. Dan gadis itu semakin bertanya-tanya tentang apa yang terjadi."Memangnya ada apa, Ansel?" Tambah Clara lagi. Ia sangat bingung dengan kemarahan Ansel yang tiba-tiba."Astaga Clara! Apakah kamu tidak mengecek tanggal kemasan sebelum memasak?!" Sembur Ansel lagi.Clara menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia mengaku kalau memang sering lalai memeriksa tanggal expired di kemasan makanan. Tapi mana mungkin Ansel menyimpan bahan makanan expired di kulkasnya kan?"Memangnya ada apa?" Imbuh Clara masih tidak mengerti."Makanan yang kamu masak semuanya sudah kadaluarsa!"Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny