Share

Terjerat Cinta Janda Satu Anak
Terjerat Cinta Janda Satu Anak
Author: Bunda Umu

Bab 1 Janda Gatal

"Hei, Janda Gatel!" teriak langsung seorang ibu.

Teriakan itu mengagetkan wanita muda yang baru keluar dari rumah dengan menggandeng gadis kecil dan menjinjing sebuah keranjang belanjaan, sepertinya hendak ke pasar. ia pun mendongak menatap ke arah datangnya suara. Keningnya mengerut keheranan hingga berdiri mematung.

"Berapa yang harus aku bayar, biar anakku bisa kamu kembalikan, hahh?" tanya Ibu tersebut setengah berteriak sambil berjalan ke arahnya.

Masita, janda satu anak itu hanya melongo ditanya demikian karena tidak mengerti apa maksud dari ucapannya.

"Kenapa cuma diam, ayo jawab, berapa?!"

Masita pun gelagapan."A-apanya yang berapa , Bu? anak mana yang harus aku kembalikan? aku gak ngerasa ngambil anak Ibu loh." Dia terlihat bingung sembari melirik putri kecilnya, lalu kembali menatap ibu tersebut.

Ibu itu tersenyum sinis. "Gak usah berkilah, aku sudah tahu kalo selama ini, Royan, anakku tinggal di rumah kamu, jadi sekarang katakan berapa yang harus aku bayar, agar kamu mau melepaskan Royan!"

Masita semakin bingung dengan kening semakin mengerut sampai alisnya bertautan. "Maaf ya, Bu. Royan tinggal di sini karena kemauannya sendiri, bukan karena paksaan, jadi kalau Ibu mau mengambilnya, ya silakan dipanggil," jelas Masita santai meskipun wajahnya menyiratkan rasa tidak senang.

Mendengar penuturan Masita, wajah ibu itu langsung berubah bengis. Giginya gemeretak dan tangan mengepal kuat.

"Kalau aku bisa membujuknya dengan mudah, aku gak bakalan sudi datang ke kampung jelek begini," decitnya dengan geram.

"Ya ... itu masalah Ibu, kenapa harus aku yang dimaki-maki, sudah tahu anaknya kepala batu, malah menyalahkan orang lain," kilah Masita sedikit cuek.

Ibu tersebut yang merupakan mamanya Royan, semakin geram mendengar anaknya dikatai kepala batu. Tatapannya amat tajam penuh kebencian. Tangannya pun terangkat ke udara dan ...

Plak!

"Aaakh" Tamparan keras mendarat di pipi Masita, membuat wanita itu terhuyung, malu dan sakit dalam waktu yang bersamaan.

"Berani sekali mengatai anakku kepala batu," sergah mamanya Royan dengan wajah beringas. Napasnya terdengar memburu menahan kesal dan geram.

"Maaf Bu, aku gak tahu kenapa Ibu marah dan menamparku, sampai meneriaki aku janda gatel, aku bukan wanita kayak gitu, lagian emang bener kok, Royan itu kepala batu, dikasi hati minta jantung, gak tahu terima kasih!" balas Masita sambil berlinangan air mata.

Hatinya teramat sakit diperlakukan seperti pelakor sampai dadanya kembang kempis menahan sesak dan gejolak amarahnya.

Mendengar Masita berkilah lagi, wanita berumur itu semakin beringas dengan tersenyum sinis menatap masita amat tajam.

"Itu karena kamu yang merayunya 'kan? Kamu pasti kesepian, udah lama 'kan gak disentuh laki-laki? Makanya kamu merayu anakku agar mau tinggal di rumah kamu, dasar kegatelan, sukanya sama anak kemarin sore, kenapa gak sekalian kamu ke rumah bordil, jangan seenaknya menjerat anak polos, dasar janda gatel!" teriak mamanya Royan dengan suara melengking seakan sengaja agar orang-orang mendengarnya.

Benar saja, beberapa ibu yang kebetulan lewat langsung berhenti dan menonton, begitu juga dengan yang ada di dalam rumah, langsung keluar karena mendengar keributan.

Melihat banyak yang datang menonton, wajah Masita semakin pias menahan malu. Rasa sedihnya pun memuncak, napasnya semakin berat untuk dihembuskan, air matanya yang berlinang akhirnya jatuh tak tertahankan lagi.

Masita mengepalkan tangan untuk menguatkan diri, lalu perlahan mengangkat wajah yang terasa berat, dia berusaha berucap dalam keadaan sesak.

"Anak Ibu ... yang gak mau pulang, aku ... sudah berkali-kali menyuruhnya ... pulang, tapi tetep aja ngeyel. Dasar anak Ibu aja yang ... kepala batu, seharusnya Ibu yang instrokpeksi diri, kenapa ... dia gak betah tinggal di rumah, tapi ... betah tinggal di rumah orang lain?!" bantah Masita tidak mau kalah dengan terbata-bata.

Mamanya Royan semakin geram mendengar ocehan Masita. Bibirnya terlihat gemetar dengan wajah yang mulai merah padam..

"Berani sekali kamu menasehati aku, kamu pikir kamu siapa, hahh?" sentak mamanya Royan sambil menjambak jilbab Masita lalu menarik kemudian mendorong kepala Masita ke samping, membuat janda satu anak itu terhuyung dan hampir jatuh.

Warga yang mendengar hanya menganga tidak percaya, kebanyakan dari mereka yang membekap mulut.

Mamanya Royan seolah tidak puas meluapkan kesal ke Masita, kini menoleh menatap warga yang menonton.

"Heeh, Bu-Ibu! Kalian lihat tetangga kalian!" serunya sambil menunjuk Masita yang hanya terdiam melihat warga yang juga menatapnya.

"Coba lihat, dia itu sudah merayu anakku sampai-sampai mereka tinggal serumah, coba kalian pikir, apa yang bisa mereka lakukan jika janda muda serumah dengan anak muda? Ayo apa? Kenapa kalian semua membiarkan janda ini menyimpan berondong di rumahnya? Apa kalian mau kampung kalian ini kena azab karena ada warga yang berzina?" teriaknya lagi memprovokasi warga.

Sontak semua warga saling pandang dan mengangguk sepakat. Wajah mereka terlihat kesal dan geram pada Masita.

Masita semakin merasa tersudut dan akhirnya menundukkan wajahnya semakin dalam. Bukan karena tidak sanggup melawan, tetapi apa yang dikatakan oleh mamanya Royan sebagian besar ada benarnya.

"Kenapa diam, hahh? kenapa? Karena semua yang aku katakan benar, iya 'kan? dasar janda gatel, kamu!" lanjut mamanya Royan dan kembali mendorong bahu Masita dengan kuat.

Masita pun tersentak selangkah ke belakang, tetapi wanita itu masih saja diam dan menunduk. Air matanya terus mengalir sambil menggigit bibirnya kuat-kuat. Anak gadisnya yang masih polos hanya bisa mendongak menatapnya dengan heran.

Melihat ekspresi gadis kecil di depannya, mamanya Royan semakin beringas. "Nah, coba lihat anakmu! dia juga perempuan, apa kamu mau dia tumbuh jadi perempuan gatel juga seperti kamu, hahh? Apa itu yang mau kamu ajarkan sama anakmu?"

Masita yang semula pasrah, langsung emosi saat anaknya disentil.

"Cukup Bu, Ibu boleh marah ke aku, tapi jangan libatkan anakku, dia gak tahu apa-apa!" ucapnya berapi-api.

Mamanya Royan balas menatap Masita dengan tajam. "Dasar janda gatel, bisanya cuma morotin duit anakku, Cuuih. sekali lagi aku ingatkan, hentikan merayu anakku, dan biarkan dia pulang ke rumah, mengerti?!" oceh mamanya Royan sambil menunjuk-nunjuk wajah Masita, lalu berbalik dan pergi dari tempat itu.

Tinggallah Masita yang geram dan kesal serta rasa malu karena ditonton oleh warga sekampung.

Begitu mobil mamanya Royan sudah berbalik dan meninggalkan lorong tempat Masita tinggal, sontak seluruh warga yang menonton menyerbu halaman rumah itu.

"Masita, apa benar yang dikatakan orang itu?"

"Jadi, selama ini kamu bohong ke kita, kalau Royan itu sepupu kamu?"

"Jadi Royan bukan sepupu kamu?"

Masita hanya bisa terdiam dan menunduk mendapat pertanyaan yang beruntun dari semua warga.

"Kenapa hanya diam, ayo jawab, Sita!"

seru seorang pria yang muncul di antara para ibu-ibu.

Masita semakin menunduk sambil menarik putrinya ke dalam pelukannya. Dia masih juga bungkam.

"Masita, jawab!!" bentak pria yang merupakan ketua RT di kampung itu.

"Sudah, usir saja dia dari kampung ini, Pak RT!" seru salah seorang ibu.

"Masita, kalau kamu masih diam, aku tidak bisa membantu kamu, jadi sekarang ayo jawab, apa benar Royan bukan sepupu kamu, seperti yang kamu laporkan dulu?" tanya Pak RT lagi dengan penuh tekanan.

Masita semakin terisak karena merasa bersalah telah membohongi warga. Dengan perlahan dia mengangkat wajahnya lalu mengangguk pelan, kemudian kembali tertunduk dan terisak makin pilu.

Sontak seluruh warga yang ada bersorak meminta agar dia diusir dari kampung. Riuh rendah suara mereka membuat Masita terpaksa harus memeluk erat putrinya dan berusaha menutup telinganya. Hatinya sangat sakit, seluruh jiwanya bagai dikoyak, tubuhnya tampak berguncang menahan isak tangis yang semakin menjadi.

Pak RT langsung mendongak sambil berkacak pinggang menghela napas panjang untuk membuang rasa kesalnya. Setelah merasa sedikit lega, pria setengah baya itu lalu mengangkat tangannya agar para penonton diam kemudian kembali menatap Masita.

"Sekarang, tolong kemasi barang-barang kamu, tinggalkan kampung ini untuk sementara sampai keadaan kampung jadi tenang. Kami tidak mau kampung ini kena karma karena ulahmu!" titah Pak RT lalu berbalik dan membubarkan warga.

Tinggalah Masita yang dirundung duka dan nestapa.

"Aku harus kemana, Ya Allah ... bagaimana mungkin aku meninggalkan rumahku?" ratap Masita pilu.

Meski masih sedih, Masita tetap berusaha kuat. Dia pun berbalik dan masuk ke dalam rumahnya sambil membimbing gadis kecilnya yang tampak kebingungan.

Dia pun mengemasi beberapa barang yang penting, lalu memasukkannya dalam tas jinjing, memesan ojek online kemudian keluar sambil menggendong si kecil. Rumahnya pun dikunci dengan rapat.

Sesampai di depan rumah, Masita dengan sabar menunggu ojek pesanannya dengan wajah tertunduk karena beberapa warga masih terlihat betah menggunjing sambil terus meliriknya dari seberang jalan.

Ojek pesanannya pun tiba, Masita lalu naik ke motor, dan di saat itu pula, Royan tiba dengan mengendarai motor besarnya.

"Ma ... tunggu, kamu mau ke mana?" serbu Royan berusaha menahannya.

Masita hanya menatapnya dengan sendu. " Jangan pernah panggil aku, 'Ma' lagi! Aku benci sama kamu, benci!" sergah Masita lalu meminta ojek untuk segera pergi.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status