Share

Bab 4. Siapa Dia?

Mereka tampak bengong beberapa saat lalu menolah dan saling menatap satu sama lain kemudian kembali menatap Royan.

"Jangan asal bicara, Nak. Pernikahan bukan permainan yang bisa seenaknya kamu ucapkan, ada tanggung jawab yang besar di dalamnya, mengerti?" tegur tante Masita sembari menatap Royan begitu dalam.

"Aku tahu, Tante. Dan aku sudah siap untuk itu, karena aku sayang dan cinta sama Masita. Aku gak peduli dengan apa pun, asal Masita mau menerimaku apa adanya, itu sudah cukup," sanggah Royan.

Masita yang mendengarnya hanya bisa menunduk dan menutup wajah dengan kedua tangannya karena malu. Meskipun hatinya agak kesal, tetapi ucapan pemuda itu sanggup membuatnya berbunga-bunga sehingga rasa kesalnya pun hilang bagai ditiup angin.

"Apa kamu pikir hanya dengan bermodalkan cinta dan sayang lalu kamu bisa membina rumah tangga dengan mudah? dengar Nak! menikahi ponakanku ini berarti ada 2 nyawa yang harus kamu tanggung, meski sebenarnya anaknya bukanlah kewajiban kamu untuk menafkahinya, tetapi ketika kamu masuk dan menjadi bagian dari keluargannya maka secara otomatis kamu pun harus memberinya makan. Apa kamu sanggup?" Lanjut tante Masita menasehati.

"Aku sanggup Tante, aku janji."

Bu Fatma, tante Masita itu tersenyum sangsi mendengar janjinya.

"Dengan status kamu yang sekarang menggembel?"

Mendengar ucapan wanita itu, Royan seketika bungkam dan langsung tertunduk diam dengan menggigit bibir. ada raut malu dan sedih membayangi wajahnya.

Demikian pula dengan Masita yang tadinya sedang terlena kini tersentak seakan baru tersadar dari hayalannya.

Sejenak suasana hening, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun tatapan Bu Fatma tidak sedikitpun beralih dari Royan.

Royan lantas mangangkat wajahnya lalu menarik napas panjang. "Aku akan cari kerja, Tante," lanjut Royan seraya menatap Bu Fatma dengan tegas.

"Kuliahmu aja belum kelar, bagaimana kamu bisa bekerja?" sanggah Bu Fatma meremehkannya.

Royan semakin merasa tersudut tetapi tidak juga mau menyerah. "Akan aku usahakan, aku bisa kerja apa aja yang penting halal, Tante."

Masita yang paham tabiat Royan yang keras kepala segera menengahi agar perdebatan itu seegera berakhir.

"Udahlah Tante, percuma juga berdebat dengan dia, gak bakal ada habisnya, mending suruh duduk, kasihan berdiri terus dari tadi," lerainya.

Tantenya hanya menghela napas panjang lalu mengangguk. "Ya udah, mari silakan duduk, Nak!"

Royan pun mendekat dan hendak duduk sambil melepas tas ransel berukuran sedang yang dibawanya di punggung. Masita pun dengan spontan bangun dan segera menyambut tas tersebut lalu meletakkannya di lantai.

Perlakuannya itu membuat tantenya menggeleng seraya menatapnya tidak senang.

Saat Royan telah duduk di sofa, Masita juga hendak duduk di sampingnya. Namun, Bu Fatma mencegatnya.

"Sita, kamu antar anak kamu ke kamar aja, gak baik kalau kalian duduk berdua di sini. perlakuan kamu itu sudah seperti istrinya, pantas kalau warga mencurigai kalian."

Masita pun tersentak dan langsung menegakkan punggung kembali seolah baru sadar dengan perilakunya sendiri. "Baik Tante."

Masita pun segera mendekati anaknya yang sejak tadi asik bermain di sudut ruangan.

"Yan, aku ke atas dulu ya. Maaf aku gak bisa menemani," pamitnya sambil menuntun anaknya menuju tangga.

"Kamu tunggulah di sini sampai Omnya Sita datang. kalau kamu berani, lamarlah Masita sama dia, dialah yang berhak menentukan kamu diterima atau tidak!" Ketus Bu Fatma lalu pergi meninggalkan Royan sendirian di ruangan itu.

Sepeninggal wanita itu, Royan hanya bisa mengeratkan gigi seraya menjambak rambutnya lalu menghempaskan punggungnya di sandaran sofa.

"Tuhaan, aku harus apa sekarang?" gumamnya lirih sambil menghembuskan napasnya dengan keras.

lama terdiam tak tahu apa yang harus diperbuat selain hanya pasrah menerima nasib, akhirnya pemuda itu merebahkan tubuhnya di sofa. Dengan berbantalkan kedua lengan, Royan menatap langit-langit, hingga akhirnya tertidur dengan pulas.

Waktu pun bergulir, Masita yang turun hendak makan siang menyadari jika Royan ternyata sedang tidur pulas, tak mau mengganggunya dan membiarkannya tertidur. hingga selesai makan siang, barulah ia mencoba membangunkannya untuk makan siang pula.

"Yan, bangun ... hei ... ayo bangun, waktunya makan siang, ayo bangunlah!" bisik Massita dengan lembut seraya menggoyang-goyangkan bahu Royan dengan pelan.

Tampak mata royan bergerak-gerak meski belum terbuka, tetapi dia tetap bergeming seolah masih terlelap. Hatinya begitu senang mendengar suara bisikan lembut dari wanita itu. Seakan-akan semua kesedihan dan kegalauan di hatinya hilang seketika.

Sayang, Masita menyadari jika dia sedang pura-pura, sehingga dengan gemas dijewernya telinga pemuda itu dengan kuat. "Apa kamu pikir aku gak tahu kalau kamu sudah bangun, haah?" decit Masita dengan gemas membuat Royan langsung membuka mata sambil terkekeh.

Masita pun semakin kuat menjewer telinganya, sehingga Royan harus memegangi telinganya. "Aduh, ampun Ma!" pekik Royan memnuhi seluruh ruangan.

Mendengar teriakan itu, Masita langsung terbelalak dan sontak melepas tangannya dari telinga Royan. "Ish, jangan panggil 'Ma' di sini, tahu!" Sentak Masita dengan berbisik sembari memukul bahu Royan dengan gemas.

Royan pun meringis sambil mengusap-usap bahunya yang tidak sakit sambil menatap Masita dengan manja.

"Kenapa emang? nama kamu kan Masita, jadi gak salah dong?" bantahnya.

Masita yang tidak mau berdebat dengannya, hanya bisa mendelik kesal menatapnya. "Sudah ah, aku gak mau berdebat, aku sudah nyiapin makan siang, ayo makan!" ajaknya sambil berlalu masuk ke dalam.

Royan pun tersenyum bahagia dan dengan penuh semangat bangkit dari sofa lalu mengikuti Masita ke dapur.

"Ayo duduk!" suruh Masita sambil menarik kursi untuk Royan.

pemuda itu menurut dan duduk sedang Masita mulai sibuk mengambilkan makanan di piring untuknya.

Dari jauh, tantenya hanya geleng-geleng kepala menyaksikan bagaimana perlakuan Masita yang sepeti sedang meladeni suaminya.

Saat tengah menuangkan air minum untuk Royan, tiba-tiba terdengar bunyi nada dering ponsel yang menbuat Royan sontak menatap Masita.

"Ponsel siapa yang bunyi?" tanya Royan penasaran.

Masita justru balik menatap Royan dengan wajah tak senang.

"Ya ponsel kamulah, tuh di saku!" ujar Masita yang menunjuk saku celana Jogger yang dikenakan Royan.

Royan ikut berkerut sambil ikut menatap celananya. Seketika senyumnya terbit saat tahu di sana masih tersimpan ponselnya.

"Aah, ternyata aku lupa meninggalkan ini di rumah," gumamnya seraya merogoh saku dan mengeluarkan ponsel.

Begitu ponsel sudah ditangan, Royan segera menjawab panggilan video yang masuk.

"Hai In, ada apa? Tumben nelpon siang-siang?" ucap Royan pada sipenelepon.

"Gak pa-pa, aku cuma khawatir kamu kesepian sekarang, mau gak makan siang sama aku?" tawar gadis yang menelepon itu.

Sambil tersenyum Royan mengarahkan ponselnya ke Masita yang baru saja berbalik hendak menaruh teko di dapur.

"Sorry ya, akugak lagi kesepian, aku bareng mama," celetuk Royan, membuat Masita langsung balik badan mendengarnya.

"Dia lagi, dia lagi. Apa kamu pikir aku gak tahu siapa dia, Yan? Dia itu mama palsu kan? Dasar janda gatal gak tahu diri!" umpat gadis di ponsel Royan.

Royan membelalakkan mata mendengar umpatannya dan langsung memutuskan panggulan.

"Siapa dia, Yan?" tanya Masita membuat Royan mematung dengan mata membulat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status