Share

Bab 5. Royan Diusir

"Kenapa malah diam melongo? Ayo jawab, siapa perempuan itu, Yan?" sentak Masita dengan wajah kesal.

"E ... aku ... mm ... biar aku makan dulu, ya. Habis makan aku jelasin semua deh, aku janji," jawab Royan beralasan.

Masita pun terdiam dengan tatapan tajam seakan tidak puas, tetapi semua harus ditahannya sesuai permintaan pemuda di depannya tersebut.

Royan dengan sigap menyantap makanan di depannya, dengan sesekali melirik Masita. Ada rasa segan dan rasa tidak enak terpancar dari wajahnya.

Masita pun menunggunya dengan sabar tetapi matanya berkaca-kaca. Ucapan wanita yang menelepon Royan masih terngiang di telinganya. Hatinya sakit tak Terperi karena harga dirinya seolah diinjak-injak oleh anak gadis kemarin sore.

Seketika terbayang kembali saat Royan menyatakan perasaan padanya sebulan yang lalu.

Saat itu, tatkala ia tengah memasak di dapur, Royan datang dan memeluk Masita dari belakang.

"Aku suka dan sayang sama Mama, aku jatuh cinta, apa itu salah?" ucap Royan sembari mempererat pelukannya.

Masita tersenyum lalu menoleh menatapnya, dan berusaha melepas lingkaran tangan pemuda belia itu. "Gak salah, hanya saja aku yang tidak sanggup menerimanya. Aku malu dan takut sama penilaian orang. Janda satu anak memacari anak kuliahan, nanti aku dikira janda gatal."

Royan menggeleng dan kembali ingin memeluknya. "Aku gak peduli apa kata orang, yang pasti aku cinta Mama, dan itu sudah cukup."

Air mata Masita pun menggenang mengingat bagaimana Royan meyakinkannya dahulu agar cintanya bisa diterima. Matanya nanar menatap pemuda tampan di depannya yang masih asik menikmati makanan.

Sampai akhirnya Royan pun selesai makan, dan Masita langsung angkat bicara.

"Semua yang aku khawatirkan dulu, sekarang sudah terjadi, semua orang menuduhku janda gatal," ucap Masita dengan berat, air matanya yang menggenang akhirnya tumpah.

Royan hampir saja tersedak air minum mendengar ucapannya. Namun, tidak ada yang bisa dikatakannya untuk membela diri, akhirnya memilih untuk tetap diam.

"Harga diri dan kehormatanku sekarang sudah raib, dilindas oleh sifat keras kepalamu, terima kasih, sudah membuat hidupku kacau balau," lanjut Masita sambil terisak lalu berbalik badan hendak meninggalkan Royan.

Melihat wanita itu hendak berlalu, Royan segera bangkit dari kursi dan segera memeluknya dari belakang.

"Ma, plis jangan ngomong gitu, aku benar-benar akan bertanggung jawab, gak akan kubiarkan siapa pun menghina kamu, aku janji," bisik Royan mencoba menenangkan Masita.

Namun, Masita bukannya tenang, justru semakin sedih. "Udah, cukup! jangan pernah mencoba meyakinkan aku lagi, aku muak!" sentak Masita seraya melepas paksa pelukan Royan.

"Aku gak mau lagi dengar apapun dari kamu." lanjut Masita dan beranjak pergi.

Sayangnya, pemuda itu tidak akan membiarkannya pergi. Dengan cepat ia menangkap lengan Masita.

"Ma, tunggu! tolong, sekali ini aja, dengarin aku. Aku benar-benar gak tahu kalau semuanya akan kacau begini, tapi percayalah rasa cintaku itu nyata, dan aku serius. Karena itu aku mau kita menikah, ayo kita buktikan sama mereka kalau cinta kita murni dan tulus, aku mohon," pinta Royan dengan wajah penuh keyakinan.

Masita kembali menghempaskan tangannya dengan kuat. "Gak, aku gak akan mau dengar apapun lagi dari kamu, tinggalin aku sendiri." Lagi-lagi Masita membentaknya dengan kuat dan kembali hendak berlalu pergi.

Royan tetap tidak mau mengalah, dengan sigap meraih tangan wanita itu dan memeluknya dengan erat.

"Tolong, jangan marah padaku, Ma. Aku gak akan bisa memaafkan diriku kalau kamu terus marah begini, aku mohon."

"Lep-pasin!"

Masita berusaha kuat untuk mendorong tubuh kekar tesebut, tetapi tenaganya terlalu besar membuat wanita itu tidak mampu melepaskan diri. Dia pun terus memukulinya, tetapi pemuda itu seakan tidak merasakan apa-apa.

"Royan, lepasin!" Masita kembali berteriak, tetapi Royan kekeh tak mau melepasnya.

"Izinkan aku membuktikan besar dan tulusnya cintaku, Ma. Aku gak akan peduli apa kata orang, yang aku pedulikan hanya kamu, Kania, dan kita. Aku tahu mungkin aku gak bisa memberikan harta yang melimpah, tapi aku janji akan mencintai dan menyayangi kalian berdua, percayalah," jelas Royan dengan lembut.

Mendengar ucapan Royan, hati Masita kembali meleleh dan akhirnya luluh. Royan pun melonggarkan pelukannya lalu menangkup kedua pipi wanita itu kemudian menatapnya dengan penuh kasih.

"Mama percaya sama aku 'kan?"

Masita hanya mengangguk pelan sambil terisak. Royan segera menyeka air mata wanita itu lalu mengecup keningnya sehingga pipi janda satu anak itu merah merona. Senyum malu-malu tampak terukir di wajah cantiknya.

"Masita, siapa lelaki itu?!"

Sebuah teriakan keras membuat Royan dan Masita sontak menoleh dengan kaget.

Matanya pun membulat dengan jantung yang seakan berhenti berdetak.

"Om?" tanya Masita dengan wajah ketakutan.

Royan pun tersenyum kikuk. "Aku Royan, Om. A-aku ..." Royan semakin gugup untuk melanjutkan omongannya.

Pak Burhan-om Masita menatapnya dengan geram. "Apa yang kalian lakukan?" lanjutnya tanpa mengubah tatapan tajamnya.

Masita dan Royan saling tatap sejenak lalu kembali menatap pria setengah baya di depannya tanpa mampu menjawab.

"Tadi Pak RT menelpon Om, ngasih tahu kelakuan kamu sampai diusir dari kampung sana, tadinya aku gak percaya omongan Pak RT, tapi apa yang aku lihat sudah cukup meyakinkan, Om benar-benar gak nyangka, Sita. Ternyata kelakuan kamu seperti ini?!" sentak Pak Burhan dengan wajah merah padam.

Seketika Royan bersimpuh di hadapan Pak Burhan.

"Aku minta maaf, Om. Aku yang salah, aku janji, aku akan bertanggung jawab," ucap Royan dengan penuh keyakinan seraya menundukkan kepala di depan om Masita.

Pak Burhan semakin geram, matanya kini memerah. "Apa kamu pikir semua masalah akan selesai hanya dengan kata bertanggung jawab, hahh?!"

"Maafkan aku Om, aku salah," ucap Royan yang semakin tertunduk.

"Kamu tahu kamu salah, tapi bukannya menyesal malah datang ke sini dan pamer kemesraan di rumah orang, dasar tidak punya adab kamu, pergi dari sini Sekarang, sebelum kesabaranku habis!" sentak Pak Burhan sembari menunjuk ke luar dengan garang.

"Maafkan aku, Om. Biarkan aku bertanggung jawab sama Masita, Om. Aku mohon," sela Royan dengan cepat berharap orang di depannya akan meredakan amarah.

"Tanggung jawab? Tanggung jawab apa, hahh? Apa kamu mau datang ke kampung sana untuk menjelaskannya ke orang-orang, atau apa?" tanya Pak Burhan dengan beringas.

Royan pun memberanikan diri mendongak. "Izinkan aku menikahi Masita, Om," ucap Royan penuh keberanian.

Memdengar pernyataan Royan tersebut, seketika wajah Pak Burhan semakin murka dan langsung mengepalkan tangannya hendak menghantam wajah pemuda di depannya.

Masita yang melihatnya semakin ketakutan dengan wajah meringis hampir menangis.

Royan hanya memejamkan matanya seolah sudah siap menerima hantaman kepalan tangan tersebut, tetapi setelah beberapa saat tak ada sesuatu yang menimpa wajahnya, pemuda itu pun membuka mata.

Ternyata Pak Burhan menahan kepalan tangannya di depan wajah Royan dengan bibir bergetar tanda menahan amarah yang amat sangat.

"Pergi dari sini, sebelum aku benar-benar murka, pergi!" usir Pak Burhan dengan gigi gemeretak.

Royan bergeming dan dengan tenang menatap orang tua itu. "Aku gak akan pergi, sebelum Om mengizinkan aku membawa Masita sebagai istriku," ucapnya membuat Pak Burham semakin geram.

"Apa kamu pikir dengan menikahi Masita lantas namanya akan bersih?! Justru orang akan semakin menggunjingnya, paham!" teriak Pak Burhan dengan lantang.

"Aku gak mau kehilangan dia, Om. Aku sayang dan cinta sama dia, dan aku rela menerima hukuman apapun dari Om, asal aku diizinkan menikahinya." decit Royan tanpa gentar.

Melihat pemuda di depannya tidak gentar sedikit pun dengan bentakannya, Pak Burhan berusaha menarik napas untuk mengurangi rasa kesal.

"Hei anak muda, dengar! Masita itu bukan gadis belia yang tak punya tanggungan dan beban. Dia punya anak, nama, dan harga diri yang harus dijaganya, " ucapnya kemudian dengan suara yang berusaha ditekan.

"Aku tahu, Om. Dan aku sudah siap dengan semua tanggung jawab itu," kilah Royan semakin berani.

"Apa kerjaan kamu, berapa penghasilan kamu, apa yang kamu punya untuk menjaga dan melidungi anakku itu, hm?"

Royan terdiam dan tak mampu menjawabnya. Melihat pemuda itu terdiam, Pak Burhan melanjutkan.

"Kenapa diam, kamu gak punya apa-apa untuk melamar anakku? Huh, hanya bermodal nyali apa kamu pikir bisa menghidupinya? Jangan menghayal. Lebih baik kamu pergi dari sini, pergi!"

Royan tersentak kaget dan menatap Pak Burhan dengan nanar.

"Kenapa masih diam, pergi dari sini!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status