“Nat, kamu itu kapan mau pulang? Jangan buat kami khawatir.”
Gadis itu hanya menghela napas pelan mendengar protesan sang kakak dari seberang telepon sana. Dia menggaruk kepalanya kesal dengan omelan sang kakak yang menjadi alarmnya setiap malam sebelum tidur atau saat dia harus begadang menyelesaikan pekerjaanya.
“Kakak tenang saja aku baik-baik di sini, kakak bisa lihat kehidupanku semuanya baik dan aku bisa hidup dengan layak,” jawab Natasha mencoba santai tapi dalam hati sudah ada doa supaya sang kakak bisa percaya.
“Layak? Apanya yang layak, hmmm? Kamu makan saja harus irit-irit bahkan kamu pikir kakak tidak tahu kamu selalu membeli makanan-makanan yang hampir kadaluarsa di supermarket Paman Kris.”
Gadis muda itu hanya meringis dengan ucapan sang kakak, dalam hati dia menyumpahi pria tua mantan pekerja sang ayah yang sekarang membuka supermarket kecil di dekat rumahnya itu.
‘Benar-benar tidak bisa jaga mulut. Dari dulu sampai sekarang selalu jadi ember bocor.’
“Nat, kamu dengar kakak tidak? Jangan diam saja.”
“Iya aku dengar, Kak. Kakak tenang saja semua baik-baik saja.”
“Kam-”
“Natasha Calsine.”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya saat mendengar suara wanita paruh baya yang sangat-sangat dia sayangi, ya, siapa lagi kalau bukan sang ibu, Veronica Calsine.
“Natasha Calsine, ibu tahu kau mendengar suara ibu, jangan pura-pura tidak dengar.”
“Ibu … jangan sama dengan kakak, aku baik-baik saja.”
“Nat, kamu itu putri keluarga Calsine kau putri bungsu Abraham Calsine dan bisa-bisanya kau tinggal di tempat yang bahkan lebih buruk dari kandang kuda milik ayahmu. Kau makan makanan yang hampir kadaluarsa bukan? Kau ini selalu membuat ibumu ini stress, paling tidak terima bahan-bahan makanan yang ibu kirim jangan dikembalikan, kau tidak sayang ibumu ini lagi, hah?”
Natasha hanya menghela napas pelan mendengar suara ibunya yang frustasi karena dirinya membuat hatinya sakit. Dia juga tidak mau begini, dia juga tidak mau tinggal jauh dari keluarganya tapi ini demi cita-citanya dan impiannya yang jujur selalu disepelekan oleh sang ayah, bahkan ayahnya menganggap dia bisa dibilang sebagai ‘Produk Gagal’.”
Ya, dia sadar dia memang produk gagal dari keluarga Calsine—konglomerat yang turun temurun menjalankan bisnis dunia kesehatan sebagai dokter dan pemilik rumah sakit. Dia bahkan otaknya saja tidak cocok belajar ilmu pengetahuan alam karena otaknya lebih mengarah pada dunia kepenulisan. Terkadang dia berpikir apa mungkin dia bukan anak kandung, atau mungkin dia anak pungut yang diambil dari selokan atau dari tempat sampah dan karena kasihan maka diangkat anak seperti di novel-novel kerajaan yang dia baca selama ini—mulai lagi otak imajinasinya tidak terkontrol.
“Nata, kau masih mendengar ibu, tidak?!”
Natasha tersentak kembali dari dunia imajinasiya ke dunia nyata dimana sang ‘Nyonya Besar Calsine’ sedang besabda. “Iya, Nat masih dengar.”
“Kapan kamu pulang? Minimal jangan tolak bantuan ibu dan kakakmu, kalau kau tidak mau terima bantuan ayahmu ya sudah lah tidak apa, tapi masa bantuan ibu dan kakakmu juga kau tolak begitu saja.”
“Iya ….”
“Jangan iya-iya saja, ibu ini lama-lama tua stress memikirkan dirimu.”
“Kan memang ibu sudah tua.”
“Hei!! Sembarangan kalau bicara. Ibu ini masih muda bahkan ibumu ini masih kuat melayani ayahmu beronde-ronde.”
“Ibu!! Jangan keluar dari konteks pembicaraan Natasha yang disuruh pulang!!”
Natasha menahan tawa mendengar suara sang kakak dari belakang sana yang protes dengan pembicaraannya dan sang ibu.
“Iya … iya … kau ini. Nat, pulang!! Kau ini masa mau makan makanan yang hampir kadaluarsa terus, masa mau mengais sampah buat ambil barang-barang perabot dalam rumahmu, kau pikir ibu tidak tahu bahkan tempat tidurmu saja busanya sudah hampir habis.”
Natasha menoleh sekilas pada tempat tidur yang letaknya tidak jauh di belakang dirinya saat ini duduk, dia meringis singkat dengan tempat tidur bekas yang dia pungut dari pembuangan terakhir, memang masih layak tapi memang busa-busanya saja yang sudah banyak yang hilang hingga pir-pirnya sedikit menonjol.
“Kalau tidak mau pulang jangan dipaksa, dia sudah dewasa bukan anak kecil lagi.”
Natasha menegang dengan suara bass dan berat dari arah belakang telepon lalu terdengarlah protesan sang ibu dan suara berat itu menanggapinya dengan santai tapi pemilihan katanya sangat menusuk hati. Ayahnya, Abraham Calsine dokter bedah ternama sekaligus kepala rumah sakit Royal Hospital, orang yang membuatnya memutuskan keluar dari rumah dan hidup sedrhana walaupun sejak kecil hidup bagaikan putri. Pria paruh baya yang selalu menghina pekerjaannya dan memandang pekerjaannya itu hanya buang-buang waktu saja.
“Tutup teleponnya, ayo waktunya makan.”
Natasha menutup ponselnya duluan sebelum sang ibu, dia tidak sanggup lagi menahan air matanya tapi dia tahu harus kuat karena ini keputusannya. Natasha melempar sedikit ponselnya ke sebelah laptopnya yang masih menyala, gadis itu menelungkupkan kepalanya sambil menahan sesak, sakit dan kesal yang menjadi satu hingga rasanya hatinya lelah sendiri.
Natasha sadar dia berbeda—tidak pintar, tidak cantik dan yang pasti dia tidak cerdas seperti keluarganya. Ayahnya seperti tadi sudah dijelaskan dokter bedah ternama dan kepala rumah sakit, ibunya dokter bedah plastik langganan artis bahkan politisi, kakak pertamanya, Nara Calsine adalah dokter jantung yang banyak mengurusi keluarga konglomerat sampai keluarga presiden, sedangkan mendiang kakak keduanya, Naomi Calsine memang meninggal saat masih menjalani magang di rumah sakit namun sudah terlihat kepitarannya.
“Huufffttsss … tidak boleh manja Natasha ini keputusanmu dan ini hidupmu jadi bertanggung jawablah, kau ini sudah besar jangan manja. Harus semangat jangan sedih jangan manja, ayo Natasha, semangat!! Tapi aku mengantuk, tidur dulu sebentar tidak apa mungkin.”
Natasha menyimpan tulisannya dan menelungkupkan kepalanya mencoba tidur sebentar dan mungkin entahlah dia lelah atau benar-benar mengantuk dia masuk kea lam mimpi dengan cepatnya.
Saat dia tidur nyenyak tanpa disadari seorang pria muda dengan kemeja yang sudah tidak rapi lagi melompat masuk ke dalam rumah yang jujur dia tidak tahu milik siapa tapi dia berharap bisa bersembunyi sementara di rumah ini.
“Benar-benar teledor, sudah tahu hidup sendiri tapi tidak berjaga-jaga, tidak mengunci pintu dan jendela. Hufftt … aku tidak menyangka akan berakhir tinggal di rumah seperti kandang sapi.”
Pria itu berkeliling tanpa suara melihat keadaan supaya persembunyiaanya tidak diketahui siapa-siapa. Pria itu melihat satu persatu ruangan yang menurutnya bahkan lebih besar dari kamar pelayannya. “Ini bukan rumah tapi gudang.”
Pria itu melihat sebuah ruangan gelap dan pengap yang di dalamnya banyak sekali barang-barang tak terpakai. “Hmmm ... mungkin aku bisa bersembunyi di gudang ini. Gudang ini sangat kotor berarti dia jarang masuk ke sini, beruntung masih ada cela untukku bersembunyi."
"Sudah-sudah jangan bahas itu, Nat tolong jelaskan mereka siapa? karena ini masih rumahku dan kamu masih menyewanya jadi kamu harus bertanggung jawab dengan siapa saja yang keluar masuk rumah ini.”Natasha diam sesaat menatap dalam gadis berkulit tan itu dengan wajah penuh pertimbangan. Bukan—bukannya dia tidak percaya pada teman-temannya itu tapi dia hanya takut Jasper akan marah.“Sebentar.” Natasha meninggalkan teman-temannya dan menghampiri Jasper.“Jas, boleh aku memberi tahu mereka berdua? Hmmm … itu—aku tidak mungkin tidak menjelaskannya pada mereka karena—”“Lakukan,” potong pemuda itu cepat.“Yakin?”Jasper menatap sepenuhnya pada Natasha dengan tatapan menusuk membuat gadis itu langsung menciut takut.“Kamu bilang harus menjelaskan pada mereka, bukan? Aku sudah memberi izin dan dirimu masih mempertanyakannya lagi?”Natasha menggeleng ribut dan langsung berbalik menuju kedua sahabatnya. Gadis itu menarik keduanya menuju dapur seperti akan membicarakan sesuatu yang penting.“D
Kleekkk … kleeekkk ….Keempatnya langsung melihat ke arah pintu. Wajah Natasha sudah memucat bahkan dia reflek berdiri sambil mendorong kecil lengan Jasper yang terlihat santai-santai saja.“Tenanglah Nat.”“Mana bisa tenang, bagaimana kalau itu kakakku atau –”“Benar itu kuncinya?”“Benar.”“Kenapa tidak bisa dibuka?”“Yang punya rumah siapa?“Kamu.”“Ya sudah, tunggu aku sedang berusaha membukanya.”“Ya Tuhan, ini lebih parah dari kakakku. Kenapa mereka ke sini malam-malam, aduh aku harus apa? Ohhh … kalian sembunyi di kamarku cepat-cepat.”“Tidak mau.”“Kau gila ya, bagaimana kalau mereka melihat kalian bertiga—aku harus menjelaskannya bagaimana?!”“Tidak perlu dijelaskan, mereka juga kalau berani bicara tinggal dihabisi.”“Kau gila!” teriak Natasha tanpa sadar dan langsung gadis itu membekap mulutnya sendiri.Jasper tertawa kecil melihat wajah panik Natasha. Baginya yang harusnya panik itu dia bukan gadis ini, tapi Natasha benar-benar sepanik itu sampai-sampai berteriak tanpa sadar
“Nat,” panggil Jasper membuat Natasha kembali dari imajinasinya“Hmmm? Apa?”“Kenapa kamu bilang aku bodoh?”“Ya memang kamu bodoh, kalau tidak bodoh mana mungkin kamu menyakiti dirimu sendiri.”Jasper menatap Natasha lekat seperti melihat betapa beraninya gadis ini menyebutnya bodoh, padahal selama ini tidak ada yang berani menyebutnya bodoh bahkan menatap matanya langsung saja banyak yang tidak berani kecuali tunangannya dan seseorang.“Kau boleh marah aku tidak melarang, kau boleh melampiaskan rasa marah dan emosimu pada hal apapun itu tapi ingat untuk tidak menyakiti diri sendiri. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan dariku, tapi aku tahu bukan kau yang membunuh tunanganmu.”Jasper tersenyum mengejek seperti menganggap Natasha tahu apa. “Kau tahu apa Nona Calsine.”Natasha menatap Jasper dengan tatapan cuek tapi ada rasa kasihan pada pria yang ada di hadapannya ini. Natasha merasa Jasper itu tidak sekuat itu, ada sisi lemah yang pria itu tutu
Sebuah rumah bernuansa hitam dan merah dengan lampu remang-remang terasa mengerikan dan misterius bagi siapa saja yang melihatnya. Seorang pria dengan setelan jas perlente berdiri di depan jendela besar yang memperlihatkan hamparan pohon pinus yang berjejer rapi mengeluarkan bau lembab khas hutan basah.“Tuan, kami sudah menemukan makam tunangan Jasper Bravinson, kami harus apakan selanjutnya?”“Biarkan saja dulu, aku ingin melihat apa yang akan dilakukan Jasper selanjutnya.”“Baik Tuan.”“Tunggu Marlon, kalian sudah tahu di mana Jasper bersembunyi?” Pria itu berbalik berjalan ke sisi kursi kebesarannya."Belum Tuan.”"Charlie dan Hactor juga tidak kalian temukan?”“Maaf Tuan belum juga.”Prangg..."Cari mereka bertiga, bunuh mereka bawa kepala mereka padaku, jika tidak berhasil kepala kalian yang akan aku jadikan pajangan di rumah ini. Pergi!!" teriak marah pria itu."Siap Tuan!!"Pria itu menatap foto Jasper dan Victoria yang tertempel di papan dart arrow dan sudah sedikit sobek bek
“Tidak Tuan jangan begitu, sejak kami anda angkat menjadi pengawal anda kami sudah bertekad akan selalu melayani dan melindungi anda apapun yang terjadi, bahkan kami rela menyerahkan nyawa kami asalkan anda baik-baik saja,” Hactor menatap Jasper dengan tatapan serius bahkan bagi pria itu tatapan Hactor benar-benar langka.Charlie hanya diam manatap Jasper dengan tatapan tenang namun ada rasa sedih yang dia tutupi saat melihat wajah atasannya itu. Pria yang lebih tua tiga tahun dari Jasper itu melihat guratan lelah, sedih, marah, dan frustasi yang tertutupi dengan wajah dingin dan kaku Jasper. Tidak ada senyum atau candaan yang selama ini keluar dari mulut Jasper pada para bawahannya, atau tatapan bersahabat dan ramah yang biasanya ditampilkan Jasper pada sekutu-sekutunya atau orang-orang terdekatnya. Semuanya hilang terganti dengan Jasper yang kaku dan dingin layaknya balok es besar yang susah mencair.“Tuan, kami dulu hanya sampah bahkan kami adalah kotoran tidak berguna yang anda an
“Hmmm … maaf Tuan, it-”Jasper mengernyit saat mata salah satu anak buahnya melihat ke arah belakang tubuhnya. Jasper diam sejenak dan saat itulah dia sadar apa yang mereka lihat.“Keluarlah,” ucap Jasper pelan.Natasha hanya melongok sedikit melihat kedua anak buah Jasper yang menatapnya datar bahkan mereka tanpa sadar masih menggenggam senjata api mereka.“Hmmm … maaf … ap-apa ka-kalian akan te-tetap menggenggam it-itu?”Jasper sadar kalau mereka masih menggenggam pistol, pantas Natasha takut.“Masukkan pistol kalian,” perintah Jasper pada keduanya.“Tapi Tuan—dia.”“Kalian tidak mau menuruti perintahku?”Keduanya menunduk hormat dan langsung mematuhi perintah atasannya. Jasper dan kedua anak buahnya memasukkan kembali senjata api mereka ke kantong sehingga Natasha sudah tidak melihat senjata-senjata mereka lagi.“Kau boleh keluar, tidak apa-apa mereka bawahanku mereka yang menolongku.”Natasha mengintip sedikit melihat ke arah kedua pria berbadan tegap dan kekar sama seperti Jasper