“Akkkhhh … tolong … tolong … to ….”
Brukkk ….
Pria itu menghela napas kasar melihat Natasha tergeletak pingsan di lantai setelah tengkuk gadis itu dipukul olehnya. Pria itu tidak mau melakukan itu, dia tidak mau menyakiti si pemilik rumah namun ini semua terpaksa dia lakukan apalagi melihat Natasha berlari dan akan membuka pintu jendela untuk meminta tolong.
“Maafkan aku—ini terpaksa.” Pria itu mengangkat tubuh Natasha yang terkulai tidak sadarkan diri dan dia dudukkan di kursi makan. Pria itu mengambil tali dan mengikat tubuh Natasha supaya tidak bisa kabur, juga menutup mulut gadis itu dengan lakban yang dia ambil dari laci dapur gadis itu.
Pria itu mengusap wajahnya dan rambutnya kasar melihat gadis muda yang dia yakini pasti umurnya masih dua puluhan itu tertunduk pingsan akibat ulahnya. Terpaksa? Iya, lebih tepatnya dia memang menyusup ke rumah orang asing tapi dia tidak pernah ada maksud menyakiti bahkan tidak ada maksud bertemu dengan pemilik rumah. Ini? Ini bukan maunya tapi ini dia lakukan supaya dia bisa aman.
“Ya Tuhan!! Kenapa hidupku menjadi seperti ini?!”
Pria itu menarik kursi makan satunya dan duduk di hadapan Natasha dengan tatapan tajam namun ada kilas rasa lelah dan rasa bersalah, terutama pada gadis di hadapannya ini.
Natasha pingsan agak lama bahkan berjam-jam dan beruntung gadis itu bisa bangun walaupun pusing mendera kepalanya. Gadis itu mengerjap menyesuaikan cahaya lampu yang masuk menabrak retinanya sehingga dia mengernyit samar berusaha menghalau cahaya yang menusuk matanya.
“Auhhh us … hmmm … hmmm ….” Natasha berontak saat mulutnya tidak bisa bicara tertutup sesuatu.
Dirinya tambah panik saat tidak bisa mengangkat tangan dan menggerakkan tubuhnya, apalagi melihat dirinya duduk di kursi dengan terikat tali dan mulutnya terlakban.
‘Fix … ini aku dirampok, diculik, dan disandera … Tuhan aku masih muda dan miskin kenapa kau kirimkan perampok masuk ke rumah ku?’ Natasha menutup matanya sambil mengerang jengkel dan takut menjadi satu. Dia terus bermonolog dalam hati kenapa hidupnya begini.
“Sudah sadar?”
Natasha terbelalak melihat pria yang jujur tampan tapi buat apa tampan jika orang itu penjahat. Natasha makin gelisah saat pria yang kira-kira umurnya lebih tua darinya lima atau enam tahunan darinya itu berjalan ke arahnya—takut-takut jikalau pria itu bisa saja menghabisinya saat ini juga apalagi saat ini dia tidak bisa melawan karena tubuhnya terikat.
‘Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?’ monolog Natasha ketakutan bahkan keringat dingin sudah membasahi keningnya.
‘Ahhhh … ingat kata Kak Nara, tidak boleh takut.’
Natasha menatap pria itu berusaha untuk berani dan melawan walaupun jantungnya sekarang mungkin sudah pindah ke perut karena ketakutan. Tubuhnya dia tegakkan saat melihat pria itu duduk di dekatnya sambil membawa dua piring makanan yang Natasha lirik seporsi nasi goreng dan omelet sayur.
“Makan,” ucap pria itu cuek sambil meletakkan piring di hadapan Natasha.
Natasha rasanya ingin mengumpati pria itu, bisa-bisanya sudah menyusup, menyandera dirinya, lalu dengan santai mengambil stok makanannya dan sekarang menyuruhnya makan dengan mulut terlakban dan tubuh terikat, yang benar saja.
“Oh, iya kau tidak bisa makan, tunggu aku selesai makan aku suapi kau.”
Natasha rasanya ingin berteriak marah dan mengumpati pria itu tapi dia masih sayang nyawa tidak mungkin dia harus menuju surga saat ini juga hanya karena tidak jaga mulut. Dalam hati sumpah serapah dan sebutan seluruh penghuni kebun binatang sudah dia sebutkan satu persatu untuk pria yang saat ini duduk tenang sambil menikmati makanannya.
“Ayo makan.” Pria itu melepas lakban yang membekap mulut Natasha.
“Kau siapa? Apa maumu? Kalau mau mencuri cepat ambil saja walaupun tidak ada yang berharga di rumah ini tapi nayawaku lebih penting, lepskan aku.”
“Aku tidak butuh uangmu.”
“Lalu kau cari apa? Kenapa masuk rumahku?”
“Makan.”
Natasha melihat sendok yang disodorkan padanya sudah terisi nasi dan sepotong omelet telur, dia lapar tapi rasa takut dan waspada lebih dominan dalam dirinya.
“Ayo buka mulutmu, cepat tangan ku capek.”
“Tidak mau, makanannya jangan-jangan beracun.”
“Ck … ayo cepat buka mulutnya aku tidak mau kau mati kelaparan di sini dan menjadi hantu. Kau tenang saja aku tidak mungkin meracunimu karena aku bukan pembunuh dan aku bukan orang iseng yang asal meracuni orang asing.”
“Kalau bukan orang iseng kenapa masuk rumah,” gerutu Natasha pelan.
“Makan jangan banyak menggerutu.”
“Tidak mau, aku tidak perca- hei … hmmmm … hmmm ….” Pria itu memaksa memasukkan nasi ke dalam mulut Natasha dan membekap mulut gadis itu supaya makanan yang ada di dalam mulut bisa tertelan.
“Kau mau membunuhku?”
“Tidak sekarang, kalau kau berulah aku pastikan bukan makanan beracun yang masuk dalam mulutmu tapi langsung racunnya.”
Selesai memberi makan dan minum, pria itu duduk di sofa usang milik Natasha. “Aku tidak akan menutup mulutmu tapi jika kau berani berteriak aku pastikan pisau dapurmu akan menusuk ke dalam tenggorokanmu.
Natasha menegang rasanya seperti menonton film psychopath tapi saat ini versi nyata. Dia berharap ini mimpi buruk dan dia segera bangun tapi setiap dia menggerakkan tangannya mencoba untuk melepaskan diri yang ada hanya rasa sakit dan perih yang menyapanya membuat dirinya sadar ini nyata.
"Hei ... kenapa sih kau memilih rumahku? Di rumahku tidak ada apa-apa, aku hanya penulis novel tidak terkenal, aku tidak punya cukup uang untuk kau curi bahkan untuk makan saja tidak cukup, lalu kenapa kau malah datang kesini dan menambah beban ku?"
"Aku tidak perduli, bagiku rumah ini cukup aman untuk aku tinggali," jawab pria itu sambil merebahkan tubuhnya di sofa yang sudah lumayan lapuk.
"Kau benar-benar miskin ya, sofa ini keras sekali."
"Nah ... itu tau, jadi cepat lepaskan aku karena di sini tidak ada harta berharga bahkan sofa itu saja aku memungutnya dari tempat pembuangan akhir. Sana cari orang kaya saja biar kau bisa mengeruk hartanya.”
"Aku tidak butuh uang atau harta, aku hanya butuh tempat bersembunyi.”
"Kenapa kau harus bersembunyi? Kau mencuri? Merampok atau jual narkoba? Ohhh ... ohhh ... atau jangan ... jangan ... k-k-kau mem-membunuh?"
Pria itu tidak menjawab tapi matanya yang tadi tertutup terbuka sambil memandangi langit-langit rumah yang sudah mengelupas.
Mata Natasha terbelalak kaget melihat ekspresi pria itu yang seperti menjawab kenapa penyusup di hadapannya ini harus lari dan berakhir menyusup ke rumahnya untuk bersembunyi.
“Kau?”
“Ya, aku pembunuh.”
Natasha menelan air liurnya sulit, bagaimana tidak takut jika ancamannya sudah menyangkut malaikat maut. Natasha berdehem sebentar dan dengan mengumpulkan keberanian gadis itu mengangguk pelan pertanda dia setuju dengan perjanjian mereka.“Paling tidak aku bisa lumayan hidup layak,” monolog Natasha sambil terus melihat pria itu yang mangangguk tanpa ekspresi.“Tuan, apa boleh aku tahu namamu?”Pria itu diam sesaat, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi bahkan bisa gadis itu lihat dingin dan kaku terlihat jelas dari wajah pria yang menyaderanya saat ini, benar-benar sangat kaku dan tanpa mimik wajah.“Jasper.”“Hah?”“Namaku Jasper, Jasper Bravinson.”Natasha melihat Jasper dengan wajah datar namun otaknya sedang bergerak produktif seperti mengingat sesuatu tapi otaknya seperti berhenti bergerak dan dia seperti tahu nama pria yang ada di hadapannya saat ini tapi dia lupa.“Tuan Bravinson, bisa minta tolong?”“Jasper, panggil saja aku Jasper.”“Baiklah, panggil aku Natasha atau semua meman
“Ka-kau … pembunuh?”“Boleh dibilang begitu.”“Maksudnya?”“Banyak bicara kamu.”Natasha menelan ludahnya sulit apalagi saat melihat tatapan pria itu yang sangat menusuk dan mengerikan bagi dirinya. Tatapan tajam bagaikan pisau yang bisa kapan saja menghunus dirinya sekarang juga membuat Natasha ingin mengurungkan niatnya bertanya lebih lanjut, tapi bukan namanya ‘Natasha sih banyak tanya’ jika dia tidak menemukan jawaban yang melegakan untuk dirinya.“Kau membunuh siapa?”Pria itu menghela napas berat dengan pertanyaan Natasha. Dia ingin tenang, dia butuh kedamaian tapi yang ada malah masuk ke dalam rumah burung kakak tua.“Hei … aku bertanya dari tadi tidak dijawab, kau membunuh siapa?”“Kau.”“Hah??”“Aku akan membunuhmu jika mulutmu tidak bisa diam, atau paling tidak akan aku hilangkan pita suaramu sekarang juga jika kau banyak tanya.”Wajah Natasha memucat, jantungnya seperti akan lepas bahkan tidak terasa tangannya berkeringat pertanda dia takut. Natasha berusaha bernapas pelan
“Akkkhhh … tolong … tolong … to ….”Brukkk ….Pria itu menghela napas kasar melihat Natasha tergeletak pingsan di lantai setelah tengkuk gadis itu dipukul olehnya. Pria itu tidak mau melakukan itu, dia tidak mau menyakiti si pemilik rumah namun ini semua terpaksa dia lakukan apalagi melihat Natasha berlari dan akan membuka pintu jendela untuk meminta tolong.“Maafkan aku—ini terpaksa.” Pria itu mengangkat tubuh Natasha yang terkulai tidak sadarkan diri dan dia dudukkan di kursi makan. Pria itu mengambil tali dan mengikat tubuh Natasha supaya tidak bisa kabur, juga menutup mulut gadis itu dengan lakban yang dia ambil dari laci dapur gadis itu.Pria itu mengusap wajahnya dan rambutnya kasar melihat gadis muda yang dia yakini pasti umurnya masih dua puluhan itu tertunduk pingsan akibat ulahnya. Terpaksa? Iya, lebih tepatnya dia memang menyusup ke rumah orang asing tapi dia tidak pernah ada maksud menyakiti bahkan tidak ada maksud bertemu dengan pemilik rumah. Ini? Ini bukan maunya tapi i
“Ayah … tolong jangan lakukan ini.”“Kau mempermalukan kami Nao!!”“Ayah, Nao minta maaf.”“Tidak!! Tidak ada ampun ….”“Tidak Ayah, Nao mohon … Ayah … Ayah … jangan ….”“Jangan … tidak … tidak!!”Natasha tersentak bangun dari mimpi buruknya, mimpi yang dia alami sejak sang kakak kedua tiada. Naomi Calsine, kakak kedua Natasha yang sangat-sangat menyayanginya bahkan bagi Natasha sang kakak adalah orang yang mengajarinya banyak hal. Bukan tanpa sebab Natasha lebih dekat dengan Naomi walaupun umur mereka terpaut lumayan jauh tapi bagi Nat sang kakak bisa mengimbanginya dengan menjadi kakak sekaligus sahabat bagi dirinya.Naomi memang terkenal sangat lembut dan mengayomi, berbeda dengan Nara yang cenderung keras dan disiplin terkadang tidak cocok untuk Natasha yang tidak suka dikekang sehingga sejak kecil Natasha lebih suka mengobrol atau belajar dengan Naomi dari pada Nara.Natasha mengusap wajahnya kasar menghilangkan bayangan-bayangan mimpi buruk dan menyakitkan yang membuat dirinya k
“Nat, kamu itu kapan mau pulang? Jangan buat kami khawatir.”Gadis itu hanya menghela napas pelan mendengar protesan sang kakak dari seberang telepon sana. Dia menggaruk kepalanya kesal dengan omelan sang kakak yang menjadi alarmnya setiap malam sebelum tidur atau saat dia harus begadang menyelesaikan pekerjaanya.“Kakak tenang saja aku baik-baik di sini, kakak bisa lihat kehidupanku semuanya baik dan aku bisa hidup dengan layak,” jawab Natasha mencoba santai tapi dalam hati sudah ada doa supaya sang kakak bisa percaya. “Layak? Apanya yang layak, hmmm? Kamu makan saja harus irit-irit bahkan kamu pikir kakak tidak tahu kamu selalu membeli makanan-makanan yang hampir kadaluarsa di supermarket Paman Kris.”Gadis muda itu hanya meringis dengan ucapan sang kakak, dalam hati dia menyumpahi pria tua mantan pekerja sang ayah yang sekarang membuka supermarket kecil di dekat rumahnya itu.‘Benar-benar tidak bisa jaga mulut. Dari dulu sampai sekarang selalu jadi ember bocor.’“Nat, kamu dengar