Udara pagi di desa benar - benar terasa segar. Kinan menghirup udara dalam - dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
"Waaah, emang mahal sih udara bersih kayak gini." Kata Kinan. "Seger ya, Bu Dokter?" Terdengar suara seorang pria yang menegurnya. Kinan celingukan mencari keberadaan sumber suara. Kejadian kemarin, cukup membuat Kinan parno dan suara yang barusan muncul tanpa ada orang yang terlihat, kembali membuat Kinan merinding. "Nyari kodok, Bu Dokter?" Tanya pria itu lagi, di sertai suara cekikikan. "Saya di sini, Bu Dokter." Kata si Pria sambil melambaikan tangannya. Pria itu bersandar di pagar rumahnya dan tertutup dahan pohon mangga, hingga tak nampak keberadaannya. "Astaghfirullah. Jangan bikin takut, dong, Mas." Gerutu Kinan sambil mengusap - usap dadanya. "Maaf, Bu Dokter." Jawab pria itu sambil tertawa. "Salam kenal, Bu Dokter, namaku Arbi. Anaknya Pak Harjo, adiknya Mas Aksa." Pria bernama Arbi itu memperkenalkan diri. "Oh, aku Kinanti. Salam kenal juga Mas Arbi." Jawab Kinan disertai senyuman ramah. "Jangan manggil Mas, Bu Dokter. Aku lebih muda dari Bu Dokter, panggil Arbi aja. Mau panggil Dek Arbi juga boleh." Ujar Pria berusia dua puluh dua tahun itu. "Gitu? Baiklah, Arbi." Ujar Kinan sambil tersenyum. "Bu Dokter mulai kerja hari ini, kan?" Tanya Arbi yang di jawab anggukan oleh Kinan. "Mending Bu Dokter cepet siap - siap. Jangan sampai terlambat, soalnya Pak Lurah Tirto Wangi tuh galak banget." Kata Arbi. "Beneran? Pak Lurah galak?" Tanya Kinan dengan wajah serius. "Iya. Dia selalu menghukum staf yang terlambat Apel. Salah sedikit aja, bisa - bisa di pecat sama dia." Jawab Arbi. "Ketat banget ya, Pak Lurah? Jadi takut." Ujar Kinan. "Makanya Bu Dokter hati - hati. Jangan mau deket - deket sama Pak Lurah, serem poll." Sahut Arbi sambil menahan tawa. "𝘼𝙧𝙗𝙞𝙞𝙞𝙞𝙞... 𝙉𝙜𝙤𝙥𝙤 𝙠𝙤𝙬𝙚 𝙣𝙚𝙢𝙥𝙡𝙤𝙠 𝙠𝙤𝙮𝙤𝙠 𝙘𝙚𝙘𝙖𝙠 𝙣𝙜𝙤𝙣𝙤? 𝙄𝙨𝙪𝙠 - 𝙞𝙨𝙪𝙠 𝙬𝙚𝙨 𝙣𝙜𝙞𝙣𝙘𝙚𝙣𝙜𝙞 𝙩𝙤𝙣𝙜𝙜𝙤𝙣𝙚! (Arbiiii... Ngapa kamu menempel seperti cicak gitu? Pagi - pagi sudah mengintip tetangganya!)" Seruan seorang perempuan, tentu saja itu suara Bu Sari. "𝙊𝙧𝙖 𝙣𝙜𝙞𝙣𝙘𝙚𝙣𝙜 𝙡𝙝𝙤, 𝘽𝙪. 𝙒𝙤𝙣𝙜 𝙠𝙚𝙣𝙖𝙡𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙧𝙤 𝘽𝙪 𝘿𝙤𝙠𝙩𝙚𝙧, 𝙠𝙤𝙠. (Gak ngintip lho, Bu. Orang kenalan sama Bu Dokter, kok)" Jawab Arbi. "𝙃𝙚𝙡𝙚𝙝, 𝙢𝙗𝙚𝙡𝙜𝙚𝙙𝙚𝙨! 𝙋𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙠𝙤𝙬𝙚 𝙣𝙜𝙜𝙪𝙙𝙤 𝘽𝙪 𝘿𝙤𝙠𝙩𝙚𝙧. 𝙈𝙧𝙞𝙥𝙖𝙩𝙢𝙪 𝙡𝙝𝙤, 𝙧𝙖 𝙞𝙨𝙤 𝙣𝙙𝙚𝙡𝙤𝙠 𝙬𝙤𝙣𝙜 𝙖𝙮𝙪. (Halah, bohong! Paling kamu menggoda Bu Dokter. Matamu lho, gak bisa lihat orang cantik.)" Cicit Bu Sari yang kini menghampiri putranya. Kinan pun hanya bis terkekeh mendengar omelan Bu Sari. "Gak usah di dengerin kalo Arbi nggodain, Nduk. Anak ini memang jahil banget, makanya sering di omeli. Pokoknya jangan kaget kalo tiap hari dengar kami ngomelin Arbi." Kata Bu Sari. "Iya, Bu." Jawab Kinan sambil terkekeh. Ia kira akan kesepian di Desa karena sendirian. Ternyata ia memiliki tetangga yang sangat ramah dan seru. Setelah mengobrol sejenak, Kinan pun berpamitan masuk ke dalam rumah untuk bersiap - siap. Setelah memastikan rumahnya dalam keadaan rapi dan terkunci, Kinan kemudian berjalan menuju ke Puskesmas Desa. Semalam, Pak Harjo sudah memberi tau dimana letak Puskesmas. Puskesmas Desa Tirto Wangi tepat bersebrangan dengan Kantor Kelurahan Tirto Wangi. Jaraknya memang cukup jauh jika harus di tempuh dengan berjalan kaki. Tapi mau bagaimana lagi, Kinan harus bersabar selama satu minggu ini sampai Kakaknya punya waktu untuk mengantarkan motor ke Desa. "Semangat, Kinan! Hitung - hitung olah raga." Kinan menyemangati dirinya sendiri. Peluhnya pun mulai bercucuran, membasahi dahi dan kerudung yang ia pakai. Tin... Tin... Suara klakson motor terdengar dari arah belakangnya. Seketika, Kinan menoleh ke sumber suara. "Ayo bareng saja." Ajak Aksa yang mengendarai motor trail miliknya. "Makasih, Pak Aksa. Maaf merepotkan terus." Ujar Kinan yang kemudian menaiki boncengan. "Enggak, kan searah." Jawab Aksa. Ia mulai melajukan motornya setelah memastikan Kinan duduk dengan benar. Tak ada obrolan, keduanya tampak terdiam. Hanya Aksa yang sesekali mengangguk dan balas menyapa kala warga Desa menyapanya. "Terima kasih, Pak." Ujar Kinan saat Aksa menghentikan motornya di depan pagar Puskesmas Desa. "Sama - sama. Saya ke Kelurahan dulu kalau gitu." Pamit Aksa sebelum melajukan motornya menuju ke Kantor Kelurahan. Kinan segera berjalan masuk ke Puskesmas yang sudah terbuka. Pasti salah satu rekannya sudah berada di dalam, pikir Kinan. "Assalamualaikum." Ucap Kinan saat memasuki bangunan Puskesmas yang nampaknya baru di bangun. "Waalaikumsalam." Sahut seorang perempuan yang kemudian menampakkan dirinya. "Eh Bu Dokter Kinanti, ya? Selamat datang di Puskesmas Tirto Wangi, Bu Dokter." Perempuan muda itu menyambut kedatangan Kinan. "Iya, aku Kinanti." Kinanti memperkenalkan diri. "Aku Dona, Bidan di Puskesmas ini." Kata Bidan Dona. Mereka berdua pun saling berjabat tangan. "Fit... Fitri... Bu Dokter sudah datang." Seru Diah. "Iya, Na." Jawab Fitri yang datang dengan tergopoh - gopoh. "Maa Syaa Allah, Bu Dokter cantik. Perkenalkan namaku Fitri. Aku Tenaga Teknis Kefarmasian di Puskesmas." Fitri, perempuan yang sebaya dengan Bidan Dona memperkenalkan diri. "Salam kenal Fitri, aku Kinanti." Kata Kinanti dengan ramah. Mereka bertiga pun mengobrol sejenak sebelum menuju ke Kantor Kelurahan untuk Apel rutin di senin pagi. Ketiganya nampak begitu akrab walaupun baru saja bertemu. Kinanti memang tipe orang yang humble, hingga mudah akrab dengan orang - orang."Kinan ini biasanya gak betahan tinggal jauh dari keluarga, apa lagi dari Mama dan Papa. Tapi kata Mama, kok tumben sekali Kinan gak ngerengek minta di temani. Padahal sebelum berangkat sudah bilang, kalau gak betah, minta di temani dulu sama Mama dan Papa beberapa hari." Cerita Kak Ridho. "Ternyata, karna ada yang bisa bikin betah." Imbuh Mbak Ina sambil terkekeh. "Mama sama Papa kok gak ikut, Kak?" Tanya Aksa. "Mama sama Papa harus dateng ke acara pernikahan Sepupu kami. In syaa Allah, lain waktu berkunjung ke sini sama Raka juga. Raka ini kebetulan lagi ada tugas juga di luar Pulau." Jawab Kak Ridho. "Gimana ceritanya kok udah jadi aja, baru satu minggu loh, Dek." Goda Mbak Ina. "Gak sengaja, Mbak." Jawab Kinan. "Mana ada orang pacaran gak sengaja?" Tanya Kak Ridho. Kinan pun menceritakan awal mula mereka dekat hingga pertemuannya dengan Faris yang justru membuat mereka berdua berpacaran. "Orang itu masih gangguin kamu, Dek?" Tanya Kak Ridho dengan wajah khawatir.
"Mas mau kerumah Nduk Kinan?" Tanya Bu Sari. "𝙉𝙟𝙞𝙝, 𝘽𝙪. 𝙒𝙤𝙣𝙩𝙚𝙣 𝙣𝙤𝙥𝙤? (Iya, Bu. Ada apa?)" Tanya Aksa. "𝙄𝙠𝙞, 𝙙𝙞 𝙜𝙤𝙬𝙤 𝙥𝙞𝙨𝙖𝙣. 𝙈𝙖𝙪 𝙜𝙚𝙣𝙙𝙪𝙠 𝙚 𝙣𝙜𝙤𝙢𝙤𝙣𝙜 𝙣𝙖𝙠 𝙆𝙖𝙠𝙖𝙣𝙜𝙚 𝙖𝙧𝙚𝙥 𝙩𝙚𝙠𝙤, 𝙣𝙜𝙤𝙣𝙤. (Ini, di bawa sekalian. Tadi Kinan bilang kalau Kakaknya maundatang, gitu.)" Kata Bu Sari yang memberikan tiga toples berisi keripik pisang, keripik sukun dan peyek kacang. "𝙉𝙟𝙞𝙝, 𝙨𝙚𝙠𝙚𝙙𝙖𝙥 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙝 𝙙𝙪𝙜𝙞. (Iya, sebentar lagi sampai.)" Jawab Aksa. "𝙔𝙤𝙬𝙚𝙨 𝙜𝙚𝙠 𝙙𝙞 𝙜𝙤𝙬𝙤 𝙢𝙚𝙧𝙤𝙣𝙤.(Yasudah cepat di bawa kesana.)" Kata Bu Sari. "Buk, aku mau ngomong sebentar." Kata Aksa. "𝙊𝙥𝙤, 𝙈𝙖𝙨? 𝘼𝙧𝙚𝙥 𝙣𝙜𝙤𝙢𝙤𝙣𝙜 𝙣𝙖𝙠 𝙠𝙤𝙬𝙚 𝙘𝙚𝙬𝙚𝙠𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙧𝙤 𝙉𝙙𝙪𝙠 𝙆𝙞𝙣𝙖𝙣? 𝙒𝙚𝙨, 𝙄𝙗𝙪 𝙬𝙚𝙨 𝙬𝙚𝙧𝙪𝙝. (Apa, Mas? Mau bilang kalau kamu pacaran sama Kinan? Sudah, Ibu sudah tau.)" Jawab Bu Sari. "Ibu tau dari mana?" Tanya Aksa. "𝙎𝙞𝙢𝙗𝙖𝙝 - 𝙨𝙞𝙢𝙗𝙖𝙝 𝙗𝙪𝙙𝙚𝙜 𝙮𝙤 𝙬𝙚𝙧𝙪𝙝 𝙣𝙖𝙠 𝙠𝙤𝙬𝙚 𝙬𝙤𝙣?
Hari minggu pagi, cuaca begitu cerah. Kinan sedang menyapu halaman rumah sambil menikmati udara sejuk yang terasa begitu bersih. Beberapa warga yang lewat, menyapa ramah Dokter cantik itu. "Assalamualaikum, Bu Dokter." Seorang anak kira - kira berusia sepuluh tahun menghampirinya. "Waalaikumsalam. Ada apa, Anak Pintar?" Tanya Kinan sambil tersenyum ramah. "Ini, di suruh Ibu antar jagung dan kacang rebus untuk Bu Dokter." Jawab si anak. "Maa Syaa Allah. Terima kasih, Bu Dokter terima ya. Tolong sampaikan terima kasih untuk Ibu, ya." Kata Kinan yang kemudian mengambil alih besek berisi jagung dan muntul yang masih mengepulkan asap. "Iya, Bu Dokter. Saya pulang dulu, Bu Dokter. Assalamualaikum." Pamit si anak. "Hati - hati, ya. Waalaikumsalam." Kata Kinan. Kinan kemudian meletakkan makanan itu di atas meja yang ada di teras, kemudian melanjutkan pekerjaannya menyapu halaman yang sedikit lagi selesai. "Rajin banget, Dek. Sekalian halaman rumah Mas, sini." Gurau Aksa yang m
"Assalamualaikum." Ucap Aksa yang menghampiri rumah Kinan pagi itu. Seperti hari - hari sebelumnya, Aksa menghampiri Kinan untuk berangkat bersama. "Waalaikumsalam." Jawab Kinan sambil membukakan pintu. "Sudah siap?" Tanya Aksa. "Sudah, M-Mas Aksa mau masuk dulu?" Tanya Kinan yang sampai tergagap karena gugup. "Gak usah, nanti kesiangan. Kamu kenapa kok gugup gitu, Dek? Mas gak gigit lho." Tanya Aksa sambil terkekeh. Ia terlihat lebih santai di banding Kinan. "Eh, enggak kok, gak apa - apa. Aku kunci pintu dulu." Kata Kinan sambil mengunci pintu rumahnya. "Eeaaa. Pegangan lho, Mbak Kinan. Biar gak jatuh." Goda Arbi yang mengintip dari pagar rumahnya. "𝙊𝙧𝙖 𝙪𝙨𝙖𝙝 𝙧𝙚𝙨𝙚𝙝, 𝘽𝙞. 𝙄𝙨𝙚𝙝 𝙞𝙨𝙪𝙠 𝙞𝙠𝙞. (Gak usah jahil, Bi. Masih pagi ini.)" Sahut Aksa. "𝙈𝙪𝙣𝙜 𝙣𝙜𝙖𝙣𝙙𝙖𝙣𝙞 𝙈𝙗𝙖𝙠 𝙆𝙞𝙣𝙖𝙣 𝙡𝙝𝙤, 𝙈𝙖𝙨. 𝙆𝙤𝙣 𝙜𝙤𝙣𝙙𝙚𝙡𝙖𝙣 𝙗𝙚𝙣 𝙧𝙖 𝙩𝙞𝙗𝙤. (Cuma bilangin Mbak Kinan lho, Mas. Suruh pegangan biar gak jatuh.)" Jawab Arbi sambil terkekeh. "Peg
Kinan terdiam saat mendengar kata - kata Aksa yang seperti meledeknya karena tadi ia mengatakan pada Faris kalau Aksa adalah pacarnya. "Maaf, Pak-" "Memangnya ada, orang yang memanggil pacarnya, Pak?" Aksa memotong ucapan Kinan hingga membuat gadis itu terperangah. Aksa kemudian membawa Kinanti duduk di sebuah bangku yang ada di lorong itu. "Ada yang luka?" Tanya Aksa dengan lembut sambil memperhatikan kedua tangan Kinan. "Gak ada kok, Pak. Cuma ini aja." Jawab Kinan dengan jantung yang berdebar kencang sambil melihat pergelangan tangannya yang merah karena cengkraman Faris. "Orang itu, salah satu staf di sini, kan?" Tanya Aksa yang di jawab anggukan pelan oleh Kinan. "Kalo gitu, jangan pernah kesini sendirian." Kata Aksa. "Terima kasih ya, Pak, karna Pak Aksa nolongin aku." Lirih Kinan. "Namanya juga pacar, pasti harus menjaga pacarnya, kan?" Kata Aksa yang membuat Kinan menatap lurus ke arahnya. "Pak Aksa, itu tadi-" "Gak apa - apa kalo kamu bilang aku ini paca
Aksa ternyata selesai lebih cepat dari pada Kinan. Pria gagah itu langsung menuju ke Kantor Dinas Kesehatan setelah menyelesaikan urusannya. Sesampainya di sana, suasana masih sepi. Aksa kemudian meraih ponselnya dan mencari kontak Kinan di sana. Begitu menemukan kontak milik Kinan, ia segera mendialnya. "Assalamualaikum." Ucap Aksa ketika Kinan mengangkat panggilannya. "Waalaikumsalam. Mas Aksa dimana?" Tanya Kinan dengan suara bergetar. Nafas gadis itu pun sedikit memburu. Aksa terdiam, tak langsung menjawab karena sedikit terkejut sebab Kinan memanggilnya dengan panggilan yang berbeda. Namun, ia tetap memperhatikan suara Kinan dan suara - suara di sekitar Kinan melalui telfon. Sementara itu beberapa menit sebelumnya... "Kinanti!" Seorang pria menarik tangan Kinan begitu Dokter cantik itu lengah. "Astaghfirullah! Lepas, Ris... Lepas!" Seru Kinan yang meronta - ronta berusaha melepaskan cengkraman Faris di tangannya.Sementara itu Faris bergeming, ia terus menyeret Kinan m