Hari sudah sore ketika zoom meeting yang di ikuti Dokter Kinan selesai. Wanita cantik itu melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul empat tiga puluh sore. Awan mendung yang tebal, membuat suasana sore itu makin terasa sunyi.
"Astaghfirullah, gelep banget mendungnya." Lirih Kinan sambil buru - buru membereskan barang - barangnya. "Ya Allah, mudah - mudahan hujannya turun setelah aku sampe rumah. Aamiin." Doa Kinan dalam hati. Ia segera mengunci pintu ruangannya dan melangkah cepat menuju keluar Puskesmas. "Astaghfirullah!" Seru Kinan. Dokter cantik itu hampir melompat karena terkejut saat melihat sosok Pak Lurah yang sedang duduk di bangku sambil memainkan ponselnya. "Loh, P-Pak Lurah, kok di sini? Kan kantornya di depan." Tanya Kinan sedikit gugup. "Iya, memang kantorku di depan. Apa aku gak boleh duduk di sini?" Tanya Aksa sambil menatap ke arah Kinan yang masih mematung di tempatnya. "Ya, boleh. Tapi kan aku jadi kaget. Pak Lurah sakit? Mau berobat?" Tanya Kinan. "Enggak. Aku tadi lihat Puskesmas pintunya kebuka. Padahal biasanya jam setengah empat, Dona dan Fitri udah pulang." Jawab Aksa. "Oh itu tadi aku masih zoom meeting di dalam. Sengaja pintunya aku buka, barang kali ada warga yang mau berobat." Kata Kinan. "Pak Lurah kenapa tadi gak masuk?" Tanya Kinan kemudian. "Aku udah masuk dan lihat kamu lagi meeting. Makanya aku duduk di sini." Jawab Aksa. "Terus, kenapa gak pulang? Kan udah liat kalo aku ada di dalam?" Telisik Karin. "Ya justru karna kamu sendirian di dalam, makanya aku tungguin. Kalo ada apa - apa sama warga baru, kan aku juga yang repot." Sahut Aksa. "Yaudah, ayo kita pulang." Ajak Aksa. "Bapak ngajak aku pulang bareng?" Tanya Kinan dengan ragu. "Kamu mau pulang sendiri, jalan kaki, mendung gelap gini?" Tanya Aksa dengan tatapan yang sulit di artikan. Sementara itu, Kinan hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan Aksa. "Apa kata warga desa kalau lihat aku ngebiarin kamu jalan sendirian, padahal rumah kita sebelahan dan kita sempet ketemu gini? Lagi pula, bisa - bisa aku di omelin sama Bapak karna ngebiarin kamu jalan sendirian mendung - mendung gini padahal tempat kerja kita cuma bersebrangan." Kata Aksa yang masih melanjutkan omelannya. Kinan melihat ke arah Aksa yang baru menyelesaikan omelannya. Ia tau kalau pria di hadapannya ini adalah pria gentle, walaupun ia cukup gengsian dan selalu mengatasnamakan warga desa. "Cepat kunci pintunya, kita pulang. Keburu hujan." Aksa kembali menginterupsi. "Iya, Pak." Jawab Kinan yang segera mengunci pintu Puskesmas. Gadis cantik itu lalu segera menyusul Aksa yang sudah bertengger di atas motor trailnya. Setelah memastikan Kinan duduk dengan benar, Aksa segera memacu motornya dengan cepat. Sayangnya, kali ini doa Kinan tak terkabul. Hujan deras turun saat mereka berada di pertengahan sawah. Aksa segera membawa motornya menuju ke sebuah saung yang ada di pinggir sawah untuk berteduh. Kinan segera turun dari motor dan duduk di saung bambu itu, begitu juga dengan Aksa. "Astaghfirullah!" Seru Kinan saat melihat kilatan cahaya petir. Di susul suara petir yang begitu keras seperti suara ledakan. Dengan kesadaran penuh, ia mendekat ke arah Aksa yang nampak tenang. Hujan lebat, angin kencang, petir yang bersahutan, dan ia yang berada di luar ruangan, tentu membuat nyalinya ciut. Andai ia berada di dalam ruangan, pasti tak akan setakut ini. "Pak Lurah, maaf ya aku duduknya mepet, aku takut." Kinan meminta izin pada Aksa dengan suara lirih. "Gak apa - apa, asal jangan minta pangku atau peluk. Gak enak kalo ada warga yang lihat. Kecuali kalo kamu mau aku halalin." Jawaban Aksa yang membuat Kinan cukup tercengang saat mendengarnya. "Ya, aku juga tau diri, Pak. Gak mungkin minta peluk apa lagi minta pangku." Sungut Kinan yang membuat Aksa melipat bibir menahan tawa. Cukup lama hujan turun, namun tak kunjung reda hingga waktu menjelang magrib. Tiba - tiba, mereka melihat beberapa warga tampak berlari tergopoh - gopoh di bawah guyuran hujan deras itu. "𝘽𝙖𝙥𝙖𝙠 - 𝘽𝙖𝙥𝙖𝙠, 𝙖𝙥𝙚 𝙣𝙚𝙣𝙜 𝙣𝙙𝙞? (Bapak - Bapak, mau kemana?)" Tanya Aksa. "𝙏𝙖𝙣𝙜𝙜𝙪𝙡𝙚 𝙟𝙚𝙗𝙤𝙡, 𝙋𝙖𝙠 𝙇𝙪𝙧𝙖𝙝. 𝙎𝙖𝙬𝙖𝙝𝙚 𝙗𝙖𝙣𝙟𝙞𝙧, 𝙖𝙙𝙚𝙬𝙚 𝙖𝙥𝙚 𝙢𝙗𝙚𝙣𝙖𝙠𝙣𝙚 𝙩𝙖𝙣𝙜𝙜𝙪𝙡 𝙨𝙞𝙣𝙜 𝙟𝙚𝙗𝙤𝙡. (Tanggulnya jebol, Pak Lurah. Sawahnya kebanjiran, kami mau benerin tanggul irigasi yang jebol.)" Jawab salah seorang warga. "Astaghfirullah." Ujar Aksa dan Kinan hampir bersamaan. Aksa kemudian melirik ke arah Kinan. Ia ingin membantu warganya, namun khawatir jika harus meninggalkan Kinan sendirian di sini. "Bapak gak bantuin itu warganya?" Tanya Kinan. "Kamu gak apa - apa, aku tinggal sendiri?" Aksa malah balik bertanya hingga membuat Kinan kebingungan. "Lama gak? Kalo gak lama ya, gak apa - apa." Jawab Kinan sedikit ragu. "Yakin?" Tanya Aksa yang kembali di jawab anggukan ragu oleh Kinan. "Yasudah, aku tinggal sebentar. Kalau jebolnya gak parah, aku langsung balik lagi ke sini." Kata Aksa yang kembali di jawab anggukan oleh Kinan. Aksa meletakkan tas dan memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. Ia lalu menghidupkan mesin motor, untuk memberi penerangan pada Kinan melalui lampu motor. "Aku titip tas, ya. Kamu jangan kemana - mana." Pesan Aksa sebelum meninggalkan Kinan. "Iya, Pak." Jawab Kinan. Aksa pun kemudian berlari menyusul warganya di tengah hujan lebat yang mengguyur. Sementara Kinan, dengan harap - harap cemas menunggu di saung yang berada di tengah sawah itu, sendirian."Kinan ini biasanya gak betahan tinggal jauh dari keluarga, apa lagi dari Mama dan Papa. Tapi kata Mama, kok tumben sekali Kinan gak ngerengek minta di temani. Padahal sebelum berangkat sudah bilang, kalau gak betah, minta di temani dulu sama Mama dan Papa beberapa hari." Cerita Kak Ridho. "Ternyata, karna ada yang bisa bikin betah." Imbuh Mbak Ina sambil terkekeh. "Mama sama Papa kok gak ikut, Kak?" Tanya Aksa. "Mama sama Papa harus dateng ke acara pernikahan Sepupu kami. In syaa Allah, lain waktu berkunjung ke sini sama Raka juga. Raka ini kebetulan lagi ada tugas juga di luar Pulau." Jawab Kak Ridho. "Gimana ceritanya kok udah jadi aja, baru satu minggu loh, Dek." Goda Mbak Ina. "Gak sengaja, Mbak." Jawab Kinan. "Mana ada orang pacaran gak sengaja?" Tanya Kak Ridho. Kinan pun menceritakan awal mula mereka dekat hingga pertemuannya dengan Faris yang justru membuat mereka berdua berpacaran. "Orang itu masih gangguin kamu, Dek?" Tanya Kak Ridho dengan wajah khawatir.
"Mas mau kerumah Nduk Kinan?" Tanya Bu Sari. "𝙉𝙟𝙞𝙝, 𝘽𝙪. 𝙒𝙤𝙣𝙩𝙚𝙣 𝙣𝙤𝙥𝙤? (Iya, Bu. Ada apa?)" Tanya Aksa. "𝙄𝙠𝙞, 𝙙𝙞 𝙜𝙤𝙬𝙤 𝙥𝙞𝙨𝙖𝙣. 𝙈𝙖𝙪 𝙜𝙚𝙣𝙙𝙪𝙠 𝙚 𝙣𝙜𝙤𝙢𝙤𝙣𝙜 𝙣𝙖𝙠 𝙆𝙖𝙠𝙖𝙣𝙜𝙚 𝙖𝙧𝙚𝙥 𝙩𝙚𝙠𝙤, 𝙣𝙜𝙤𝙣𝙤. (Ini, di bawa sekalian. Tadi Kinan bilang kalau Kakaknya maundatang, gitu.)" Kata Bu Sari yang memberikan tiga toples berisi keripik pisang, keripik sukun dan peyek kacang. "𝙉𝙟𝙞𝙝, 𝙨𝙚𝙠𝙚𝙙𝙖𝙥 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙝 𝙙𝙪𝙜𝙞. (Iya, sebentar lagi sampai.)" Jawab Aksa. "𝙔𝙤𝙬𝙚𝙨 𝙜𝙚𝙠 𝙙𝙞 𝙜𝙤𝙬𝙤 𝙢𝙚𝙧𝙤𝙣𝙤.(Yasudah cepat di bawa kesana.)" Kata Bu Sari. "Buk, aku mau ngomong sebentar." Kata Aksa. "𝙊𝙥𝙤, 𝙈𝙖𝙨? 𝘼𝙧𝙚𝙥 𝙣𝙜𝙤𝙢𝙤𝙣𝙜 𝙣𝙖𝙠 𝙠𝙤𝙬𝙚 𝙘𝙚𝙬𝙚𝙠𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙧𝙤 𝙉𝙙𝙪𝙠 𝙆𝙞𝙣𝙖𝙣? 𝙒𝙚𝙨, 𝙄𝙗𝙪 𝙬𝙚𝙨 𝙬𝙚𝙧𝙪𝙝. (Apa, Mas? Mau bilang kalau kamu pacaran sama Kinan? Sudah, Ibu sudah tau.)" Jawab Bu Sari. "Ibu tau dari mana?" Tanya Aksa. "𝙎𝙞𝙢𝙗𝙖𝙝 - 𝙨𝙞𝙢𝙗𝙖𝙝 𝙗𝙪𝙙𝙚𝙜 𝙮𝙤 𝙬𝙚𝙧𝙪𝙝 𝙣𝙖𝙠 𝙠𝙤𝙬𝙚 𝙬𝙤𝙣?
Hari minggu pagi, cuaca begitu cerah. Kinan sedang menyapu halaman rumah sambil menikmati udara sejuk yang terasa begitu bersih. Beberapa warga yang lewat, menyapa ramah Dokter cantik itu. "Assalamualaikum, Bu Dokter." Seorang anak kira - kira berusia sepuluh tahun menghampirinya. "Waalaikumsalam. Ada apa, Anak Pintar?" Tanya Kinan sambil tersenyum ramah. "Ini, di suruh Ibu antar jagung dan kacang rebus untuk Bu Dokter." Jawab si anak. "Maa Syaa Allah. Terima kasih, Bu Dokter terima ya. Tolong sampaikan terima kasih untuk Ibu, ya." Kata Kinan yang kemudian mengambil alih besek berisi jagung dan muntul yang masih mengepulkan asap. "Iya, Bu Dokter. Saya pulang dulu, Bu Dokter. Assalamualaikum." Pamit si anak. "Hati - hati, ya. Waalaikumsalam." Kata Kinan. Kinan kemudian meletakkan makanan itu di atas meja yang ada di teras, kemudian melanjutkan pekerjaannya menyapu halaman yang sedikit lagi selesai. "Rajin banget, Dek. Sekalian halaman rumah Mas, sini." Gurau Aksa yang m
"Assalamualaikum." Ucap Aksa yang menghampiri rumah Kinan pagi itu. Seperti hari - hari sebelumnya, Aksa menghampiri Kinan untuk berangkat bersama. "Waalaikumsalam." Jawab Kinan sambil membukakan pintu. "Sudah siap?" Tanya Aksa. "Sudah, M-Mas Aksa mau masuk dulu?" Tanya Kinan yang sampai tergagap karena gugup. "Gak usah, nanti kesiangan. Kamu kenapa kok gugup gitu, Dek? Mas gak gigit lho." Tanya Aksa sambil terkekeh. Ia terlihat lebih santai di banding Kinan. "Eh, enggak kok, gak apa - apa. Aku kunci pintu dulu." Kata Kinan sambil mengunci pintu rumahnya. "Eeaaa. Pegangan lho, Mbak Kinan. Biar gak jatuh." Goda Arbi yang mengintip dari pagar rumahnya. "𝙊𝙧𝙖 𝙪𝙨𝙖𝙝 𝙧𝙚𝙨𝙚𝙝, 𝘽𝙞. 𝙄𝙨𝙚𝙝 𝙞𝙨𝙪𝙠 𝙞𝙠𝙞. (Gak usah jahil, Bi. Masih pagi ini.)" Sahut Aksa. "𝙈𝙪𝙣𝙜 𝙣𝙜𝙖𝙣𝙙𝙖𝙣𝙞 𝙈𝙗𝙖𝙠 𝙆𝙞𝙣𝙖𝙣 𝙡𝙝𝙤, 𝙈𝙖𝙨. 𝙆𝙤𝙣 𝙜𝙤𝙣𝙙𝙚𝙡𝙖𝙣 𝙗𝙚𝙣 𝙧𝙖 𝙩𝙞𝙗𝙤. (Cuma bilangin Mbak Kinan lho, Mas. Suruh pegangan biar gak jatuh.)" Jawab Arbi sambil terkekeh. "Peg
Kinan terdiam saat mendengar kata - kata Aksa yang seperti meledeknya karena tadi ia mengatakan pada Faris kalau Aksa adalah pacarnya. "Maaf, Pak-" "Memangnya ada, orang yang memanggil pacarnya, Pak?" Aksa memotong ucapan Kinan hingga membuat gadis itu terperangah. Aksa kemudian membawa Kinanti duduk di sebuah bangku yang ada di lorong itu. "Ada yang luka?" Tanya Aksa dengan lembut sambil memperhatikan kedua tangan Kinan. "Gak ada kok, Pak. Cuma ini aja." Jawab Kinan dengan jantung yang berdebar kencang sambil melihat pergelangan tangannya yang merah karena cengkraman Faris. "Orang itu, salah satu staf di sini, kan?" Tanya Aksa yang di jawab anggukan pelan oleh Kinan. "Kalo gitu, jangan pernah kesini sendirian." Kata Aksa. "Terima kasih ya, Pak, karna Pak Aksa nolongin aku." Lirih Kinan. "Namanya juga pacar, pasti harus menjaga pacarnya, kan?" Kata Aksa yang membuat Kinan menatap lurus ke arahnya. "Pak Aksa, itu tadi-" "Gak apa - apa kalo kamu bilang aku ini paca
Aksa ternyata selesai lebih cepat dari pada Kinan. Pria gagah itu langsung menuju ke Kantor Dinas Kesehatan setelah menyelesaikan urusannya. Sesampainya di sana, suasana masih sepi. Aksa kemudian meraih ponselnya dan mencari kontak Kinan di sana. Begitu menemukan kontak milik Kinan, ia segera mendialnya. "Assalamualaikum." Ucap Aksa ketika Kinan mengangkat panggilannya. "Waalaikumsalam. Mas Aksa dimana?" Tanya Kinan dengan suara bergetar. Nafas gadis itu pun sedikit memburu. Aksa terdiam, tak langsung menjawab karena sedikit terkejut sebab Kinan memanggilnya dengan panggilan yang berbeda. Namun, ia tetap memperhatikan suara Kinan dan suara - suara di sekitar Kinan melalui telfon. Sementara itu beberapa menit sebelumnya... "Kinanti!" Seorang pria menarik tangan Kinan begitu Dokter cantik itu lengah. "Astaghfirullah! Lepas, Ris... Lepas!" Seru Kinan yang meronta - ronta berusaha melepaskan cengkraman Faris di tangannya.Sementara itu Faris bergeming, ia terus menyeret Kinan m