"Masuk!"Tubuh Sheila didorong masuk dengan kasar ke dalam mobil. Matanya menatap tajam ke arah pria yang sejak tadi menarik paksa keluar dari tempat pesta. Ia sudah berusaha memberontak, tapi tenaga dokter itu lebih kuat darinya.BRAK!Tubuh Sheila melonjak kaget menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Paman Dokternya menutup pintu mobil dengan kencang. Matanya menatap tajam ke arah Arnes yang mengelilingi mobil dan bergerak ke bangku kemudi.Emosi jelas terlihat dari manik cokelat yang biasanya ceria. Ekspresinya dingin memandangi pria yang sudah menginjak pedal gas dalam. Kecepatan mobil dan gerak lincah setir tak membuat tubuh Sheila goyah. Tangan kecilnya memegangi dashboard erat."Apa yang kau lakukan, Paman?" tanya Sheila penuh penekanan."Aku yang harusnya bertanya, apa yang kau lakukan, hah?" Arnes balik menatap gadis itu dengan tatapan siap menerkam. Kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun, melihat bagaimana cara Sheila berpakaian malam itu. Nyaris separuh kulitn
"Shei... kamu masih ngambek?" tanya Arnes dari luar pintu kamar sang gadis.Sudah lebih dari satu menit, pria itu berdiri di sana dengan posisi yang juga masih sama. Tangannya beberapa kali mengetuk pintu pelan, tapi tak jua ada balasan dari Sheila. Tapi telinganya menangkap ada suara langkah kaki dari dalam, yang berarti ada kehidupan di dalamnya."Buka dulu pintunya, Shei. Kita harus bicara!" katanya memohon."Enggak mau!" jawabnya tanpa sedikitpun menunjukkan wajah.Dari sana, Arnes sudah tahu bahwa sang gadis masih terbawa emosi. Ia pun tak bisa menampik bahwa apa yang diperbuatnya tadi sudah di luar batas. Apalagi melihat situasi yang baru-baru ini terjadi pada Sheila."Paman ingin menunjukkan sesuatu tentang kejadian di rumah kamu!" kata Arnes memancing.Manik cokelat Sheila melirik ke arah pintu dengan tatapan penuh tanya. Ada banyak tanya tentang kejadian yang tak sempat ia ingat hari itu. Luka dan tubuhnya yang lemas membuat ingatannya tak bisa kembali penuh. Apalagi masih ad
"Aw!" seru Sheila begitu menyentuh air panas di bak mandinya.Sejak bangun tidur tadi, ia sama sekali tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Kepalanya dipenuhi dengan bayangan semalam. Mulai dari kedatangannya ke rumah, sampai sentuhan Arnes di setiap jengkal tubuhnya. Rasanya semua bak mimpi yang menjadi nyata.Tak ada yang terjadi setelahnya, tapi entah mengapa semua menjadi lain bagi Sheila. Gadis itu merasa bahwa paman dokternya juga memiliki perasaan yang sama. Terbukti dari sentuhan semalam yang tak mungkin hanya ilusi, mimpi apalagi kesalahan alkohol seperti sebelumnya."Come on, Shei! Bangun!" katanya pada pantulan gadis cantik di cermin.Tak bisa dipungkiri jika ia mulai mencintai Paman Dokternya itu. Tapi kemarahan Arnes siang kemarin, sedikit menyadarkannya. Usia mereka yang terbentang begitu jauh rasanya tak mungkin bisa dipersatukan. Apalagi jika dilihat dari status sosial keduanya. Arnes adalah seorang dokter terkenal, sementara dirinya hanya siswi biasa, tanpa prestasi.
"Apa yang kau lakukan? Cepat kerjakan halaman ini, lalu kita akan lanjut ke pembahasan lain!"Dengan wajah malas, Sheila menganggukkan kepalanya. Sudah seminggu sejak kedatangan sang guru untuk melakukan homeschooling. Dan sudah seminggu pula hidupnya menjadi penuh neraka.Wanita bernama Laura itu tak hanya menyiksa dengan berbagai soal-soal sulit, tapi juga dengan sikap menyebalkannya. Setiap kali Sheila bertanya, selalu dijawab dengan ketus. Bahkan tak jarang gurunya itu memintanya mencari jawaban seorang diri melalui buku atau internet."Sorry, Miss, tapi aku belum paham!" jawab Sheila untuk kesekian kalinya. Sudah hampir dua jam keduanya berkutat di materi yang sama. Laura berulang kali meminta muridnya untuk membaca kembali bukunya. Sementara ia sendiri asyik menggeser layar ponselnya, menyelami dunia maya yang tak bisa dinikmati Sheila."Kamu gimana, sih? Bukannya dari tadi sudah baca bukunya?" balas Laura ketus.Gadis cantik itu membuang muka, kesal. Maniknya melirik jam dindi
"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Dokter Arnes?"Sheila melirik gurunya dengan jengah. Ia mulai lelah dengan pertanyaan yang sudah didengar berulang kali seharian itu. Entah apa yang membuat Laura begitu ingin mengetahui asal-usulnya, tapi hal itu membuatnya tak nyaman. Setelah kemarin ia melihat guru dan paman dokternya begitu dekat. Kini ia merasa terus diintimidasi dengan pertanyaan-pertanyaan dari Laura yang mengarah pada keluarga. Dan tentu saja Sheila tak berani menjawab karena tak ada perintah dari Paman Dokternya."Miss bisa tanya langsung pada Paman Arnes!" jawabnya ketus.BRAK!Dengan cepat Laura menutup buku tebal di hadapan mereka, lalu menatap tajam muridnya itu. Kesabarannya sudah habis, jawaban yang sama membuatnya semakin penasaran tentang siapa sebenarnya sosok Sheila yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.Wanita itu mengenal Arnes sudah beberapa tahun ke belakang. Tapi tak satupun nama Sheila terdengar di telinganya. Dan sekalinya hadir, gadis itu langsung menjadi p
"Sheila, lepas!"Arnes mendorong tubuh mungil itu hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya merah, antara marah dan malu karena sadar telah menanggapi pancingan gadis 19 tahun di hadapannya itu."Ini peringatan untuk yang terakhir kalinya, jangan pernah lakukan itu lagi atau...""Atau apa?" tantang Sheila dengan manik cokelat yang tajam.Sikap Arnes yang berubah padanya beberapa hari belakangan dan juga sikap protektifnya membuat Sheila yakin bahwa sebenarnya sang dokter memiliki perasaan pada Sheila. Hanya saja, ia belum tahu sejauh mana sang Paman Dokter berani bertindak untuk mengutarakannya. Atau memang begitulah Arnes, menyembunyikan perasaan dengan bualan tentang usia keduanya yang terlampau jauh."Apa Paman akan bersikap dingin seperti hari-hari sebelumnya? Atau memperlakukanku dengan kasar seperti yang baru saja terjadi?" tantangnya semakin berani. "Sheila, kau harus ingat bahwa usiamu dan a...""Kenapa Paman langsung setuju ketika aku minta Miss Laura berhenti?" t
"Kau mau pergi denganku?"Manik cokelat yang tadinya sayu seketika berbinar. Tubuh di atas ranjang itu beranjak, seketika tegap di hadapan Arnes yang masih berada di ambang pintu. Senyumnya sumringah, mengangguk-anggukkan kepala berulang kali, saking bahagianya."Ke mana?" tanyanya penuh harap.Arnest terkekeh melihat bagaimana perubahan drastis dari satu pertanyaannya. Ekspresi kesal di wajah Sheila musnah, diganti mentari yang biasa menghiasi paginya beberapa hari terakhir. Bahkan ditambah deretan gigi seri yang menambah keindahan gadis di hadapannya."Bagaimana bisa kau berubah secepat ini dengan satu pertanyaan saja, hah?"Tatapan mata Arnes membuat Sheila menunduk malu. Matanya melirik ke kanan dan kiri, seolah mencari jawaban yang juga tak tahu apa. Tangannya saling bertaut, dengan bibir mengerucut, tak berani menjawab pertanyaan Paman Dokternya."Jadi, kau ingin ke mana?" Arnes mengalihkan pembicaraan, tak ingin keduanya kembali beradu mulut seperti yang sudah-sudah."Nonton!"
"Paman..." panggil Sheila lembut. "Siapa yang telepon?" tanyanya lagi."Hah? Oh, ini... Kita sepertinya harus cepat berangkat, takut filmnya keburu mulai!" katanya terbata-bata.Dengan cepat pria itu menarik tangan Sheila untuk pergi sesegera mungkin. Dan tanpa banyak tanya, gadis itu menuruti semua perintah Paman Dokternya. Karena pada dasarnya, ia juga tak ingin semua rencananya malam ini gagal.Namun sayangnya, sepanjang perjalanan menuju bioskop Arnes lebih banyak diam dan termenung. Pria itu sama sekali tak menghiraukan Sheila yang bercerita panjang lebar tentang film yang akan mereka tonton."Kita mau nonton film horor?" tanya Arnes begitu keduanya mencetak tiket."Bukannya aku sudah bilang, ya?" Sheila balik bertanya dengan ekspresi keheranan. "Paman dari tadi melamun?" tanyanya kesal.Arnes kehabisan kata, karena tebakan tu benar adanya. Tapi melihat suasana yang begitu ramai, ia langsung mengalihkan perhatian dengan menarik Sheila ke arah jejeran camilan. Pria itu sepertinya