"Sial!" gerutu Sheila memegangi perutnya yang mulas bukan main.
Baru kali ini ia merasa begitu kesal tinggal di rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan masa kecilnya. Harusnya ia begitu bahagia, tapi yang muncul malah sebaliknya. Sheila tersiksa karena tak lagi bisa mendengar deru mobil Arnes yang datang di malam hari. Tak ada bisa diciumnya wangi makan malam buatan paman dokternya itu.
Gadis itu memilih keluar dari kamarnya, namun rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Dengan tertatih-tatih, kakinya melangkah menuju ke arah dapur. Sayangnya, ia lupa bahwa kepindahannya hanya membawa beberapa barang, tanpa makanan.
Kulkas satu pintu itu kosong melompong. Hanya ada air mineral dan beberapa buah yang sudah busuk. Lemari dapur pun sama mengenaskannya. Jangankan beras, mie instan yang biasa ia simpan tandas entah ke mana.
"Udah laper, lagi dapet, sebel!" gerutunya meratapi nasib.
Haid hari pertama membuat tubuhnya remuk. Tak hanya itu, rasa sakit yang dirasakan kini tak hanya karena telat makan, tapi juga efek tamu bulanan yang datang tanpa diminta. Semua seolah berencana untuk menghancurkan malam pertama Sheila di rumah.
Gadis itu bergerak ke ruang keluarga, tempat di mana ia biasa menghabiskan waktunya bersama sang ayah. Bulir-bulir air mata mulai jatuh, mengingat bagaimana hidupnya terombang-ambing seminggu terakhir. Kerinduan akan sosok ayahnya mulai terasa menyiksa.
"Yah, Sheila kangen..." isaknya sembari meringkuk di atas sofa.
Tubuhnya menciut, dengan tangan memeluk diri sendiri. Masa haid di hari pertama membuat perasaannya begitu gampang terombang-ambing, tak jelas. Sebentar merasa senang, lalu marah, dan berakhir dengan kecewa.
"Sakit," rintihnya memegangi area perut.
Kram perut biasa dirasakannya saat menjelang masa menstruasi, lalu memuncak di hari pertama, seperti saat ini. Tangisnya semakin pecah karena ingat bahwa ayahnya adalah orang yang selalu menemani, bahkan mengobatinya.
Mulai dari membelikan obat, mengompres dengan air hangat, atau kadang memijat area punggungnya. Bahkan dimasa sakitnya, Sheila masih sering diperlakukan bak putri. Masa-masa itu berulang dalam kepala, memaksa air matanya untuk terus mengalir.
Matanya mulai terpejam, karena lelah menangis. Tubuhnya pun tak lagi bertenaga, hingga berpindah pun tak sanggup dilakukan. Yang ada ia makin terlelap di ruang tengah dengan televisi menyala.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Sebuah tanya memecah kesedihan sang gadis. Sosok sang paman dokter hadir tepat di depan matanya, seperti mimpi. Sheila yang tak percaya sampai menyentuh wajah pria itu dengan kedua tangannya.
"Ini sungguh Paman?" tanyanya masih tak percaya.
"Kau pikir aku hantu, hah?" balas pria itu ketus.
Ditepisnya tangan Sheila dengan kasar. Lalu tanpa ijin ia bergerak menuju ke arah dapur dan memasukkan beberapa bahan makanan ke dalam kulkas. Sementara sang gadis masih duduk manis di sofa sembari memandangi kesibukan pamannya.
"Kenapa Paman bisa masuk?" tanyanya menunjuk pintu yang harusnya sudah ia kunci.
"Aku punya kunci cadangan," jawab pria itu cepat.
"Untuk apa?" Sheila mulai penasaran.
Arnes menyusul ke ruan tengah dengan dua minuman yang berbeda jenis. Satu kotak susu untuk Sheila, sementara bir untuknya. Tak dihiraukan tatapan bingung gadis remaja yang menyaksikan seorang dokter membawa minuman alkohol.
"Paman, k-kau..." Sheila menunjuk kaleng di tangan sang dokter.
"Satu kaleng tak akan membuatku mabuk," katanya penuh percaya diri.
Dibukanya kaleng minuman di tangan, sembari membuka minuman untuk Sheila. Keduanya bertos ria, entah sedang merayakan apa. Suasana menjadi hening dengan bunyi tegukan yang mulai menyejukkan kerongkongan.
"Ehmpf!" Sheila berseru sembari memegangi perutnya yang kembali sakit.
"Ada apa?" tanya Arnes dengan wajah panik.
"Perutku kram, datang bulan pertama," jawabnya.
Pria itu mengangguk tanda mengerti. Ditenggak habis minumannya, lalu mulai beralih kepada Sheila. Tubuh bergeser tepat di sisi sang gadis. Satu gerakan darinya membuat badan Sheila rebah dengan posisi kaki lebih tinggi.
"A-apa yang Paman..."
"Posisi ini akan membuat perutmu lebih nyaman," potongnya cepat.
Untuk beberapa saat keduanya berada di posisi yang sama dengan suasana hening, karena hanya suara televisi yang terdengar lamat-lamat. Berita malam membuat sang gadis menguap beberapa kali. Namun tak demikian dengan Arnes yang masih bisa menghabiskan kaleng bir keduanya.
"Kenapa Paman minum ini? Bukankah dokter tidak..."
"Aku butuh pengalihan," katanya memotong semua rasa ingin tahu di kepala gadis muda itu.
Sayangnya jawaban itu tak menjawab pertanyaan Sheila. Ia masih diam memandangi sang paman dokter dengan wajah penasaran.
"Apa yang membuat Paman datang?" tanya gadis itu penasaran.
Untuk beberapa saat, Arnes terdiam, memikirkan jawaban yang sebenarnya sudah ada dalam kepala. Tapi tak mungkin ia berkata jujur bahwa perasaannya kacau semenjak Sheila meninggalkan rumah. Bak orang linglung, ia mondar-mandir mengelilingi rumah tanpa tahu arah.
Belum lagi rasa khawatir begitu ingat rumah itu ditinggalkan pemilik sebelumnya penuh paksa. Kemungkinan akan ada bahaya yang muncul, lalu kondisi rumah yang Arnes sendiri tak tahu keamanannya, semua itu bergelut hingga kepalanya mau pecah.
"Apa Paman merindukanku?" tanya Sheila sembari memasang wajah nakal.
Arnes tergelak mendengar pertanyaan itu. Bibirnya terangkat, menunjukkan ketampanan yang membuat Sheila terpesona, selalu. Tawa itu semakin jelas terlihat begitu sang gadis memanyunkan bibir, berlagak seolah tengah merajuk.
"Kalau bukan rindu, lalu apa?" tanyanya mulai mencecar.
"Aku takut kau kelaparan!" jawabnya seraya menjulurkan lidah, mengelak semua tebakan Sheila dengan alibi yang sempurna.
Padahal jika ditelusuri lebih dalam lagi, rindu itu nyata adanya. Karena beberapa kali Arnes masuk ke dalam kamar kosong yang tepat berada di samping kamarnya, berharap sosok gadis itu masih di sana. Namun hanya ruang dengan sisa wangi Sheila yang masih khas.
"Pembohong!" seru Sheila yang sudah beranjak duduk dengan wajah masam.
"Tukang halu!" balas Arnes menyentil kening Sheila dengan lembut.
Percakapan itu berakhir dan kembali hening. Tapi tak demikian dengan isi kepala Sheila yang tak bisa diam di dekat Arnes. Jantungnya berdegup kencang, seperti biasanya jika berada di dekat pria favoritnya itu. Dan nampaknya Arnes mulai kegerahan karena ulahnya meminum kembali alkohol yang nyaris tak pernah lagi ditenggak.
"Aku harus pulang!" katanya sebelum perasaannya semakin menjadi-jadi.
Tapi cegatan tangan mungil itu membuatnya diam di tempat. Sheila menatap lemah dengan sepasang manik cokelat yang menolaknya pergi. Jari-jari lentik itu menggenggam tangan besar Arnes, berusaha menahan.
"Aku takut sendiri," bisiknya parau.
"Tak akan ada apa-apa, percayalah!" Arnes meyakinkan dengan kedua tangan memegangi bahu gadis itu.
Mata yang berkaca-kaca nampaknya tak membuat niat pria itu menyurut. Arnes mengelus puncak kepala Sheila dan bergerak pergi. Namun baru beberapa langkah dari pintu, sesuatu terjadi.
DEP!
"Paman!" jerit Sheila dari dalam rumah yang sudah gelap gulita.
***
Follow IG @sheila_author untuk tahu update hariannya
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan